Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Dedy Tri Riyadi
Yusuf Membuka Pagi
Yang lebih gugup dari kuncup waktu
muntup semakin cepat. Dengan irama
semenjana – langkah-langkah pedansa.
Ia muncul tiba-tiba, dengan kerak warna
matahari tua. Disapukannya suara pada
segala yang masih mengantuk. Dibelai
sekali lagi bagian yang terkulai – Bangun,
dan bergeraklah! Goyangkan kecemasan.
Lenturkan ketakutan. Hidup harus dibangun
dengan sepenuh kesadaran. Ini bukan
soal tari dan nyanyi – sebab ia hanya
meniupkan ruh pemberani, lalu pergi
dan meninggalkan ketukan-ketukan itu
di dadamu begitu saja. Sampai kau merasa
ini dunia tumbuh tak seperti biasa.
2016
Yusuf Belajar Ilmu Falak
Ia sadar, dirinya bukan sebuah radar –
tak bisa menangkap jejak mereka
yang terbang dan berputar di atas kota.
Ia tahu, dirinya juga bukan teropong itu –
tak ada meteoroid menjejas kulit langit.
Ini Detroit! Di mana awan sulfur dan
karbondioksida mengatur sejumlah rencana:
mempertebal awan dan melebatkan hujan,
atau menggelapkan pertemuan dengan
percakapan tentang angka – sekian menit,
sekian detik, dan hidup yang makin sulit,
makin pelik. Karena itu, ia belajar ilmu falak –
meyakinkan diri; pada setiap yang berjalan,
ada sebuah sumbu pusat agar kau tak melesat,
lalu tersesat masuk ke lubang hitam.
2016
Yusuf Memandang Gunung Biru
Memandang gunung biru, ia mengingat
kesedihan itu; orang-orang dalam perahu,
badai mengamuk di hari ketujuh.
Gunung biru dengan salju putih,
membuat rindu makin perih – pada
lengking satwa di padang belantara.
Gunung biru dengan salju putih di atasnya,
seperti harapan yang terkumpul di atas
berladang-ladang kapas di Selatan.
O, kebebasan! Betapa payah
ia bayangkan mendaki gunung
biru itu, hingga keringat dan air mata
turun ke janggutnya yang telah memutih.
2016
Suatu Sore Bersama Yusuf
Suatu sore bersama Yusuf
adalah cerita yang berayun
dari selatan:
sebuah kota dengan nama
mirip kapas dan kegelapan,
sebuah jembatan biru membentang
dan sepotong emas dalam lagu tahun 40-an.
Suatu sore bersama Yusuf adalah
pepohonan yang ditiup angin ke utara:
tapi, dunia telah punya nama.
Dan di mana pun kau berada, tak ada
yang sia-sia. 2.000 tahun yang lalu,
katanya, menjelang sore seperti ini,
Maria menghentikan langkahnya
di lantai bawah penginapan. Ia tak
bisa lagi menawar sebab dunia
adalah hal-hal tak wajar
dan tak hendak bersabar.
2016
Kain
Diselubungi kain atau tidak,
malam adalah bunyi.
Gelap turun mengalun,
bintang pendar seperti suara gesekan pelan
di dawai-dawai gitar.
Jika kau ingin bernyanyi saat ini,
Yusuf telah bersiap dengan seruling.
Bunyi tipis nan nyaring itu
akan meliukkan sepi di sekelilingmu.
Sepi yang membuatmu berpikir –
di balik setiap peristiwa yang terjadi,
ada yang selalu ditutupi.
2016
Seperti Ibu Berkata pada Anaknya
Seperti ibu berkata pada anaknya,
Yusuf bicara – Mendekatlah dan
dengarkan petuah lama, ”Hati yang
tenang, seperti air yang jernih.”
Ia mengundang seribu burung,
segala yang melata dan haus,
segala yang memangsa di padang tandus.
Seperti anak meminta pada ibunya,
Yusuf merajuk – Perdengarkan itu
dan dekatkan mereka yang saling bertarung.
Agar pada suatu petang, di sebuah padang,
hilang segala beban curiga. Mereka hanya
ingin menyegarkan diri. Membebaskan hidup
yang sudah seperti dalam sangkar ini.
2016
Gypsy
Biarkan aku menghiburmu – kata perempuan
beraroma mawar pada Yusuf – ketika Juni
tak memekarkan kembang, dan bintang seakan
pudar.
Ia menari.
Memukul tamborin.
Menghentakkan kaki.
Mengusir rasa sakit dari kulit bumi.
Kuberi kau suara – Yusuf meniup
saksofon – supaya tak lekas lalu kegelisahan
manis ini dari bibirku.
Biarkanlah semua bersatu jadi kota,
supaya kata tinggal diam dan jiwa-jiwa pengembara
pulang. Menghangatkan kembali rindu.
Menyengatkan kembali duri mawar itu.
2016
Suara Yusuf
Suara Yusuf itu sesobek jubah.
Ini bocah harus digusah!
Ada batu meluncur. Membentur dinding sumur.
Pada riuh pekan raya,
rantak gertak pencari budak.
Dua puluh perak, Tuan Potifar!
Dalam teduh kelambu, suara Yusuf itu lirih lagi merdu
– Marilah kita tidur, budakku.
Di hadapan mahkamah, suara itu
kukuh jadi tuduhan – Orang yang kaubawa
hendak mempermainkanku!
Di dalam penjara, suara itu hanya mimpi
juru roti & juru minuman. Ia harapan orang-orang terbuang,
juga kenangan bagi mereka yang telah dimenangkan.
Pada tujuh tahun bertahta, ia adalah kelaparan
panjang yang mengadang, sekaligus gugus
lumbung gandum – Kau akan gelisah dengan tenang.
Hanya di karung Benyamin,
suara itu pecah jadi piala tangisan.
Piatu yang merindu bapaknya.
2017
Jerit Detroit
Sejak kau tak hadir, kota ini jadi fakir,
meminta kenangan kembali lahir dari
Cadillac Square sampai Eastern Market.
Jejas pada tanda batas kecepatan
tak mampu menahan gegas kepergianmu,
seperti jerit hanyalah marka dan tak bisa
gambarkan sakit sesungguhnya.
Monumen tentara dan pelaut mendapat
bosan tanpa kepastian dari menunggu,
dari langit biru kelabu, pada hembus
napas padat dan berat sebuah avenue –
seperti seseorang bertanya memastikan;
Kaukah itu? Karena matanya telah rabun
jauh, karena malam telanjur jatuh. Dan
karena Tuhan telah lama meninggalkan
kota ini, kau tanggalkan pesan berhati-hati
pada sebuah tanda peringatan di taman –
jika kau masuk, tanggung sendiri risikonya!
Tapi kota ini telah piatu, sejak kau menutup
pintu darinya. Hanya bengkel oto dan deretan
gudang pusa meminta kenangan itu muntup.
2017
Dedy Tri Riyadi adalah seorang pekerja iklan, tinggal di Jakarta. Kumpulan puisi terbarunya berjudul Pengungsian Suara (segera terbit).
Yusuf Membuka Pagi
Yang lebih gugup dari kuncup waktu
muntup semakin cepat. Dengan irama
semenjana – langkah-langkah pedansa.
Ia muncul tiba-tiba, dengan kerak warna
matahari tua. Disapukannya suara pada
segala yang masih mengantuk. Dibelai
sekali lagi bagian yang terkulai – Bangun,
dan bergeraklah! Goyangkan kecemasan.
Lenturkan ketakutan. Hidup harus dibangun
dengan sepenuh kesadaran. Ini bukan
soal tari dan nyanyi – sebab ia hanya
meniupkan ruh pemberani, lalu pergi
dan meninggalkan ketukan-ketukan itu
di dadamu begitu saja. Sampai kau merasa
ini dunia tumbuh tak seperti biasa.
2016
Yusuf Belajar Ilmu Falak
Ia sadar, dirinya bukan sebuah radar –
tak bisa menangkap jejak mereka
yang terbang dan berputar di atas kota.
Ia tahu, dirinya juga bukan teropong itu –
tak ada meteoroid menjejas kulit langit.
Ini Detroit! Di mana awan sulfur dan
karbondioksida mengatur sejumlah rencana:
mempertebal awan dan melebatkan hujan,
atau menggelapkan pertemuan dengan
percakapan tentang angka – sekian menit,
sekian detik, dan hidup yang makin sulit,
makin pelik. Karena itu, ia belajar ilmu falak –
meyakinkan diri; pada setiap yang berjalan,
ada sebuah sumbu pusat agar kau tak melesat,
lalu tersesat masuk ke lubang hitam.
2016
Yusuf Memandang Gunung Biru
Memandang gunung biru, ia mengingat
kesedihan itu; orang-orang dalam perahu,
badai mengamuk di hari ketujuh.
Gunung biru dengan salju putih,
membuat rindu makin perih – pada
lengking satwa di padang belantara.
Gunung biru dengan salju putih di atasnya,
seperti harapan yang terkumpul di atas
berladang-ladang kapas di Selatan.
O, kebebasan! Betapa payah
ia bayangkan mendaki gunung
biru itu, hingga keringat dan air mata
turun ke janggutnya yang telah memutih.
2016
Suatu Sore Bersama Yusuf
Suatu sore bersama Yusuf
adalah cerita yang berayun
dari selatan:
sebuah kota dengan nama
mirip kapas dan kegelapan,
sebuah jembatan biru membentang
dan sepotong emas dalam lagu tahun 40-an.
Suatu sore bersama Yusuf adalah
pepohonan yang ditiup angin ke utara:
tapi, dunia telah punya nama.
Dan di mana pun kau berada, tak ada
yang sia-sia. 2.000 tahun yang lalu,
katanya, menjelang sore seperti ini,
Maria menghentikan langkahnya
di lantai bawah penginapan. Ia tak
bisa lagi menawar sebab dunia
adalah hal-hal tak wajar
dan tak hendak bersabar.
2016
Kain
Diselubungi kain atau tidak,
malam adalah bunyi.
Gelap turun mengalun,
bintang pendar seperti suara gesekan pelan
di dawai-dawai gitar.
Jika kau ingin bernyanyi saat ini,
Yusuf telah bersiap dengan seruling.
Bunyi tipis nan nyaring itu
akan meliukkan sepi di sekelilingmu.
Sepi yang membuatmu berpikir –
di balik setiap peristiwa yang terjadi,
ada yang selalu ditutupi.
2016
Seperti Ibu Berkata pada Anaknya
Seperti ibu berkata pada anaknya,
Yusuf bicara – Mendekatlah dan
dengarkan petuah lama, ”Hati yang
tenang, seperti air yang jernih.”
Ia mengundang seribu burung,
segala yang melata dan haus,
segala yang memangsa di padang tandus.
Seperti anak meminta pada ibunya,
Yusuf merajuk – Perdengarkan itu
dan dekatkan mereka yang saling bertarung.
Agar pada suatu petang, di sebuah padang,
hilang segala beban curiga. Mereka hanya
ingin menyegarkan diri. Membebaskan hidup
yang sudah seperti dalam sangkar ini.
2016
Gypsy
Biarkan aku menghiburmu – kata perempuan
beraroma mawar pada Yusuf – ketika Juni
tak memekarkan kembang, dan bintang seakan
pudar.
Ia menari.
Memukul tamborin.
Menghentakkan kaki.
Mengusir rasa sakit dari kulit bumi.
Kuberi kau suara – Yusuf meniup
saksofon – supaya tak lekas lalu kegelisahan
manis ini dari bibirku.
Biarkanlah semua bersatu jadi kota,
supaya kata tinggal diam dan jiwa-jiwa pengembara
pulang. Menghangatkan kembali rindu.
Menyengatkan kembali duri mawar itu.
2016
Suara Yusuf
Suara Yusuf itu sesobek jubah.
Ini bocah harus digusah!
Ada batu meluncur. Membentur dinding sumur.
Pada riuh pekan raya,
rantak gertak pencari budak.
Dua puluh perak, Tuan Potifar!
Dalam teduh kelambu, suara Yusuf itu lirih lagi merdu
– Marilah kita tidur, budakku.
Di hadapan mahkamah, suara itu
kukuh jadi tuduhan – Orang yang kaubawa
hendak mempermainkanku!
Di dalam penjara, suara itu hanya mimpi
juru roti & juru minuman. Ia harapan orang-orang terbuang,
juga kenangan bagi mereka yang telah dimenangkan.
Pada tujuh tahun bertahta, ia adalah kelaparan
panjang yang mengadang, sekaligus gugus
lumbung gandum – Kau akan gelisah dengan tenang.
Hanya di karung Benyamin,
suara itu pecah jadi piala tangisan.
Piatu yang merindu bapaknya.
2017
Jerit Detroit
Sejak kau tak hadir, kota ini jadi fakir,
meminta kenangan kembali lahir dari
Cadillac Square sampai Eastern Market.
Jejas pada tanda batas kecepatan
tak mampu menahan gegas kepergianmu,
seperti jerit hanyalah marka dan tak bisa
gambarkan sakit sesungguhnya.
Monumen tentara dan pelaut mendapat
bosan tanpa kepastian dari menunggu,
dari langit biru kelabu, pada hembus
napas padat dan berat sebuah avenue –
seperti seseorang bertanya memastikan;
Kaukah itu? Karena matanya telah rabun
jauh, karena malam telanjur jatuh. Dan
karena Tuhan telah lama meninggalkan
kota ini, kau tanggalkan pesan berhati-hati
pada sebuah tanda peringatan di taman –
jika kau masuk, tanggung sendiri risikonya!
Tapi kota ini telah piatu, sejak kau menutup
pintu darinya. Hanya bengkel oto dan deretan
gudang pusa meminta kenangan itu muntup.
2017
Dedy Tri Riyadi adalah seorang pekerja iklan, tinggal di Jakarta. Kumpulan puisi terbarunya berjudul Pengungsian Suara (segera terbit).
Komentar
Posting Komentar