Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Wayan Jengki Sunarta

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Kampung Kongsi oleh Wayan Jengki Sunarta

Wayan Jengki Sunarta Kampung Kongsi di belakang Rex Bioscoop di pusat Kota Sabang sehampar kampung kumuh merayakan hidupnya kuli pelabuhan dari berbagai penjuru mengadu peruntungan di situ merajut harapan menebar jala jalan sempit dan rusak lorong-lorong usang menjadi napas sesak memberkati kampung angin garam mengibarkan pakaian bergelantungan di loteng-loteng papan lelaki tua bermain catur di beranda perempuan menjemur ikan asin Kampung Kongsi seperti petak catur prajurit dan raja seolah tampak sama mengarungi hidup yang tak terduga Vihara Buddha Dharma Om Mani Padme Hum aroma hio di sudut Kota Sabang menuntunku memasuki vihara dua patung singa depan gapura penuh kasih menyapa sepasang naga melingkari wadah dupa begitu jernihkah langit? cahaya senja menerangi celah kelam setiap jiwa Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta keheningan mengambang di udara sayup-sayup kudengar sabda Siddhartha: ke mana perginya api yang padam? petang datang memb

Setrika Arang oleh Wayan Jengki Sunarta

6 Januari 2018 WAYAN JENGKI SUNARTA Setrika Arang ayam jago itu masih bertengger di situ menunggu tanganmu memasukkan bara hidup membosankan dimulai mondar-mandir dari pakaian satu ke pakaian lain dari kenangan satu ke kenangan lain mungkin suatu waktu tanganmu akan berhenti pada lipatan saku baju memeriksa rahasia yang sembunyi di ujung setrika arang yang setia hanya ayam jago begitu sabar menunggu tanganmu ia berkukuruyuk dari masa lalu berharap dunia tidak sekelam abu dalam setrika 2017 Kamera tak ada yang lebih indah selain matamu, kamera gambar-gambar tak kukenal membentang bagai fatamorgana pohon-pohon bercahaya seakan dilahirkan matahari pagi seorang bocah duduk di atas bongkah batu menatap sungai yang mengalir ke dalam dirinya aku tak mengenali mataku lagi semua muncul begitu saja serupa bayang-bayang di penghabisan siang tak ada yang lebih indah selain matamu, kamera kucipta gambar dari kelam agar mereka paham apa yang semayam

oleh Wayan Jengki Sunarta

1 April 2017 Wayan Jengki Sunarta Yanwa Tanarsu Dirimu ada dalam diriKu Kita saling melengkapi Serupa madu pada sari bunga Seperti bintang dalam galaksi Lalu, mengapa kau berjalan tak tentu arah Langkah letihmu telah mengikis waktu Dalam labirin itu kau serupa Minotaur Berapa tumbal lagi kau inginkan untuk sampai pada kesejatian Sejak kau dilahirkan kegelapan telah mengintai dan mengujimu Namun, kau cuma menebar senyum Itulah sebabnya Aku mencintaimu Kau ingat? Seekor monyet siluman menjilati ari-arimu, lalu perutmu digerogoti cacing-cacing desti Kau nyaris sekarat Sebilah keris kecil milik dukun sakti merasuki keningmu begitu hangat Dukun itu mati usai menyembuhkanmu Kau berutang padanya Dan, karma bekerja dalam dirimu Dukun yang lain memberimu sekeping uang kepeng ketika kau menangis meraung di siang lengang Dukun itu juga mati usai menghiburmu Dan, roda karma terus berputar dalam dirimu Sebagai kawan seperjalanan, kematian begitu mengakrabimu