Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Tilas Harimau karya Fariq Alfaruqi

24 Februari 2018 Fariq Alfaruqi Tilas Harimau – untuk Raden Saleh Kenapa kau biarkan air muka pagi tempias mengasihani torehan luka di sekujur tubuhku lambang tuah yang ditikamkan oleh seribu ekor maut, sebelum aku memangsanya satu demi satu. Lihatlah bagaimana ulur tangan cahayanya, justru menumpas denyar gulita dari liang petilasanku tentu juga merampas kilat-kilau ilahiah yang bersemayam dalam relung suluk moyangmu. Dengan udara seiris limau dan warna seragi kamboja hendak ia tiriskan juga, derau cuaca pada pakis dan akasia lembap waktu pada lumut dan batu. Oh, hutan sungsang rimba suling masih ada lagikah lurah, lereng, atau tebing yang lena kelabu, bakal menyempurnakan belangku yang haru biru, menyimpan kubur aib leluhurmu. Jikalau sorot mata fajar budi itu kau biarkan menghalau hantu gunung, arwah lembah makhluk bingung, penghuni sekalian belantara lenyah. Sementara di setiap penjuru pintu jalan menuju ulu hati tali jantung belantara ini kaum pembur

Mitos Hari-hari karya Indra Tjahyadi

17 Februari 2018 Indra Tjahyadi Mitos Hari-hari Senin Habis pekan. Senin yang membara membakar kulitmu perempuan. Kekurusan apakah yang membawamu pada kerja pada keriuhan hidup dan sunyi benda-benda? Rumah terlalu riuh terlalu gerah bagi kata bagi istirah. Di punggung kaurajah sebuah ingatan dari dendam dari ketandusan. Kota begitu lapang bagi hibuk bagi penat bagi kesendirian. Gedung-gedung dibangun dan diruntuhkan. Aku berbicara dengan langit dengan kekosongan. Kelak menjadi tanda bagi doa bagi dosa bagi kemampusan. Selasa Sempat bibirmu membakar sebelum akhirnya runtuh, menjadi abu dalam kelu. Kiranya benar, Selasa adalah selasar bagi sunyi bagi rindu. Di udara, angin ngambang melarungkan perahu-perahu gaib dari kegerahan tak tentu. Kanak-kanak bermata kemarau menggerogoti nafasku. “Lautmu, Kekasih, lautmu adalah nujum bagi teluh dan sedu.” Di bawah kutuk kuburan kutempuh segala sedih segala pilu. Kemurungan menjelma tengkorak tanah – meretak pada jejak. Mengga

Dodoku Ali karya Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor Dodoku Ali Kutulis gazal untuk pagi terakhir Dan kuberikan padamu sebagai amsal Tiba-tiba angin berhenti menderu Dermaga lengang di antara kita Kutulis rubaiyat untuk camar kecil Kutulis di atas permukaan selat Darahku yang beku kembali mencair Ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi 2014 Siapakah Siapakah yang menyiramkan hijau Ketika punuk bukit kembali bersemi Siapakah yang menumpahkan biru Ketika ombak berkejaran dengan sunyi Siapakah yang menggambari langit Dengan kuas sehalus awan pagi Siapakah yang mengukir udara Dengan pahat selentur jemari 2015 Sesungguhnya Andai jemariku mengelus rambutmu Aku hanya mengelus rambut waktu Andai hanya mengelus rambut waktu Sesungguhnya aku mengurai rahasia rindu Andai mengurai rahasia rindu Aku hanya mengungkapkannya lewat lagu Andai hanya mengungkapkannya lewat lagu Sesungguhnya aku telah memeras seluruh jiwaku 2015 Anjung Cahaya Ketika sunyi menyeberangi selat Aku s

Perjalanan Menuju Mars karya Irwan Segara

3 Februari 2018 Irwan Segara Perjalanan Menuju Mars Pada langit matamu Kulihat sebuah kota dibangun Di planet merah yang murung Aku melayang Kutinggalkan rahim yang melahirkanku Kutinggalkan putih awan Kutembus gelap dan hampa Kupijak kerlip bintang Bumi biru menjauh Gugusan pulau-pulau Gedung-gedung pencakar langit Mobil-mobil tercepat Dan ponsel-ponsel terbaru Bagian dari tubuhmu Dunia kecil Yang merenggut dan mengirim sinyal Pada pikiranmu Menjauh Dunia maya yang dibangun Dalam dunia nyata menjauh Suara-suara bising penduduk Bumi Mengucap salam terakhir Bayang wajah seorang ibu Bayang wajah seorang bocah Silih berganti dalam kitab kenangan Yang terbuka dan tertiup angin nasib Berpisah adalah melepas dan Mencintai dari kejauhan Detik-detik bergeser Pada jam yang mengikat nadimu Segala peristiwa Jadi tugu yang dipahat Dalam goa ingatan Duka ini milik siapa Keheningan ini milik siapa Kedalamannya mengubur degup jantungku Dingin dan kelam M