Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Peladang Kata, Antologi Reuni Puisi Diluncurkan

Oleh COKORDA YUDISTIRA Guru dan pengasuh Sanggar Cipta Budaya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Denpasar GM Sukawidana (ketiga, kanan) bersama sejumlah penyair yang pernah diasuhnya di Sanggar Cipta Budaya SMP Negeri 1 Denpasar, yakni Aan Almaidah Anwar (kanan), Oka Rusmini (kedua, kanan), Chandra Yowani (ketiga, kiri), Sri Rwa Jayantini (kedua, kiri), dan Wulan Dewi Saraswati (kiri) dalam acara peluncuran dan apresiasi buku reuni puisi “Peladang Kata” di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Minggu (24/2/2019) malam. KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA DENPASAR, KOMPAS – Buku kumpulan puisi dari tujuh penyair alumni Sanggar Cipta Budaya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Denpasar, Bali, yang berjudul Peladang Kata, diluncurkan di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Minggu (24/2/2019) malam. Antologi reuni puisi “Peladang Kata” juga menjadi sebentuk penghormatan para penyair tersebut kepada guru dan pengasuh Sanggar Cipta Budaya, GM Sukawidana. Tujuh penyair yang karyanya ada di

Beberapa Soal Ujian Nasional Mata Pelajaran Kesetiaan yang Diam-diam Kuikuti tanpa Sepengetahuan Engkau oleh Hasan Aspahani

Hasan Aspahani Beberapa Soal Ujian Nasional Mata Pelajaran Kesetiaan yang Diam-diam Kuikuti tanpa Sepengetahuan Engkau: Sapardi Djoko Damono 1. Apakah ada alasan lain bagimu untuk senantiasa mendoakan kekasihmu selain karena engkau mencintainya meskipun ia bukan lagi kekasihmu? a. Aku mendoakan dia karena dia adalah kelelawar yang berkembang biak dan hatiku adalah goa yang menikmati siksa dari jerit menjelang senja dan gema- gema yang mempertebal rasa sakit itu. b. Aku mendoakan dia sebagai pohon nyiur di pantai yang condong tapi tak tumbang dan dia adalah ombak yang tak berhenti menghantam dan yang dulu mendamparkanku di pantai itu. c. Aku mendoakan dia seperti penjual kue putu yang membunyikan piul kecil di sepanjang gang dan berharap dia mendengar dan membayangkan harum pandan dan manis gula jawa yang dulu sering kami nikmati bersama. d. Aku mendoakan dia seperti rasa syukur ketika menerima gaji pertama dan cinta adalah apa yang kusisihkan untuk anak-anak panti asuhan

Pengayuh Rakit oleh Inggit Putria Marga

Inggit Putria Marga Pengayuh Rakit sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya. tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah meski sepentil. sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya bebe

Seperti Pohon Tua oleh A Muttaqin

A Muttaqin Seperti Pohon Tua Seperti pohon tua, tinggi dan tua, kau diam dalam sunyi, sendiri menunduk ke bumi, seperti nabi, atau sufi, atau orang-orang suci. Seperti pohon tua, kau melahirkan petapa, melahirkan Buddha burung-burung yang merdeka, juga semut yang tak lelah bekerja. Seperti pohon tua, akarmu menancap ke bumi, daun-daunmu merambah langit, jin-jin memelukmu bagai jelmaan kekasih gaib. Seperti pohon tua, kepadamu Tuhan menitipkan tiga rupa sabda untuk kau olah menjadi bunga, menjadi biji, menjadi buah-buah. Seperti pohon tua, di daunmu sepi bekerja, matahari ialah kekasih sejatimu yang kau cintai selapang berkah, setulus doa-doa. Seperti pohon tua, kau karib dengan udara, oksigen, serta karbon dioksida di mana cintamu yang lembut terpaut di tiap-tiap denyut. (2019) Mengerjakan Cinta Semoga cinta dan cium dan kangenku selalu tercurah kepadamu. Kau yang teberkahi, terjaga dari segala duli, buih dan birahi. Kepadamu langit membuka diri

Kampung Kongsi oleh Wayan Jengki Sunarta

Wayan Jengki Sunarta Kampung Kongsi di belakang Rex Bioscoop di pusat Kota Sabang sehampar kampung kumuh merayakan hidupnya kuli pelabuhan dari berbagai penjuru mengadu peruntungan di situ merajut harapan menebar jala jalan sempit dan rusak lorong-lorong usang menjadi napas sesak memberkati kampung angin garam mengibarkan pakaian bergelantungan di loteng-loteng papan lelaki tua bermain catur di beranda perempuan menjemur ikan asin Kampung Kongsi seperti petak catur prajurit dan raja seolah tampak sama mengarungi hidup yang tak terduga Vihara Buddha Dharma Om Mani Padme Hum aroma hio di sudut Kota Sabang menuntunku memasuki vihara dua patung singa depan gapura penuh kasih menyapa sepasang naga melingkari wadah dupa begitu jernihkah langit? cahaya senja menerangi celah kelam setiap jiwa Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta keheningan mengambang di udara sayup-sayup kudengar sabda Siddhartha: ke mana perginya api yang padam? petang datang memb