Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Erich Langobelen

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Kuping Panci oleh Hasta Indriyana

19 Agustus 2017 Hasta Indriyana Kuping Panci 1. Setiap kali memegang gagang Kuping panci aku teringat Kunti Membaca mantra pada Batara Surya Kemudian Dari kupingnya lahirlah anak Sulung, senapati ulung Kurawa Yang tak mengenal lima adiknya Kemudian Di ujung sebuah sayembara ia Dibawa minggat Duryudana Menjadi raja di Angga Seusai mematahkan anak panah Yang dipelesatkan Arjuna Orang mengenalnya sebagai Pangeran sakti, anak sais pedati Yang lahir dari cuping kuping Kunti 2. Ketika panci diam Aku bayangkan Gendari memotong Segumpal daging menjadi seratus iris Memasukkannya lalu meniris Dalam bara bercampur seratus macam Bumbu dan garam Ibu yang gelap Menumbuhkan anak-anak gelap Yang gelagapan menghitung nasib Menimbang-nimbang kebaikan Nun, busur Arjuna melepas Memelesap anak panah Membujur ke langit Meluncur ke dada Kakaknya sendiri Dua ibu menangis Segala ibu bersedih menyaksikan Anak-anaknya tidur membujur Di medan tempur Tumpas d

Apostolos oleh Erich Langobelen

18 Februari 2017 Erich Langobelen Apostolos : untuk Subagio Seharusnya dalam berlayar Tak perlu mereka memiuhkan ketakutan Pada lerai angin ataupun musim Dan mendaraskan Pater Noster atau Mea Culpa Dengan liat lidah seorang mempelai Namun fasih menusukkan kelat lembing ke uluhati ”Akankah ada pagi Di ujung mata ini?” Telah pecah cahaya di langit Dan ada yang tak kembali dari angin ”Maka berdoalah Jika doa bisa menceritakan dengan amat hati-hati Berita yang lain daripada kesepian kepadamu, Seperti ujung sebuah lagu yang merdu tetapi pilu!” Sebab tubuh gerimis yang dingin Sejak subuh dikikis Kaki malam yang hitam Dan 99 ganggang remang Kolong langit yang gelap Dan setiap siasat yang menyesak Ketika batuk menjelma Ombak yang pecah dalam dada Telah menyiratkan peperangan Dan menelurkan kehilangan ”Mungkin pernah didengar di sini, Laut tempatMu berbagi. Atau hidup atau mati. Tapi kami menagih janji Dalam kitab tua ini.” Kemudian riak air yan