Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Setelah Petang oleh Adimas Immanuel

29 April 2017 Adimas Immanuel Setelah Petang ”Pulanglah, berdamailah,” kata sebuah suara petang ini. Suara yang terbang rendah setelah angin kota bersijingkat ke arah hutan dan wangi cemara tak menghapus bau hangus jalanan. Penciuman kita telah tahu ada yang selalu terbakar dalam perjumpaan dan perpisahan. Setelah petang kenangan tentang rumah adalah rawa muncul dan membenamkan kegamangan orang jauh: ingatan tentang ranjang tua, gonggongan anjing, foto ayah-ibu, piring-piring beling, akuarium, kelokan gang sempit, lampu jalan dan kau. Wajahmu berkelebat seperti arwah para jagal selepas jam tidur kota, menghantui kesadaranku dengan kelebat cita, harap, doa dan putus asa: kau telah menjadi dongeng sebelum para pencerita menemukan kata pembuka kau telah menjadi jendela yang setia menantiku pulang untuk mengaku terluka Kebangkitan Setelah hari Sabat lewat, Kau bergegas menuju suatu tempat. Seolah di situ kepastian menunggu tapi kau tahu: tak ada yan

berakhir pada cahaya oleh Triyanto Triwikromo

22 April 2017 Triyanto Triwikromo berakhir pada cahaya kita bermula dari tiada. berakhir pada cahaya akulah kitabmu “aku perlu kitab,” kataku “akulah kitabmu,” katamu frasa orang menangis “sesekali aku akan menjelma kesedihan di mata kucing itu,” katamu, “sesekali aku akan bersembunyi di frasa orang-orang yang menangis. sesekali aku akan menjadi salju beku di keheningan rambutmu.” satwa rumpang maka kau pun mengerti aku hanyalah satwa rumpang. sel-sel di tubuhku tak sempurna. percintaanku denganmu tidak sepadan. aku sonet kau suwung tak terindera. aku pengemis kau pemilik senja. aku masa lalu kau surga. aku konon kau berita. aku jendela kecil kau pintu yang menelan seluruh keindahan dunia tidur di tepi sungai “tidurlah dahulu,” katamu, “tidurlah di tepi sungai. berbaringlah di bawah daun-daun yang gugur. bermimpilah di dalam lembut nyanyian burung-burung yang terusir dari tanah terpencil.” “aku ingin terjaga sepanjang waktu,” kataku, “aku ingin me

Tangga Naga oleh Kiki Sulistyo

15 April 2017 Kiki Sulistyo Tangga Naga : Hanafi tak bisa kausebut ia menara meski ia menjulang dan kau merasa berada di dasar jurang, merahnya yang redam menimbulkan bunyi-bunyi masa silam dongeng perihal sungai kembar kiri-kanan, memisahkan kesedihan dari biji-bijinya; airmata para penyadap yang lengket di hutan-hutan karet tak bisa kaupanjat ia meski tubuhmu secepat induk kera ia lentur dan kenyal hingga tiap yang membentur akan terpental, caputnya berpaling ke kiri, siripnya berdiri seperti menolak mati. dari mulutnya terjulur daging api menyulut suara-suara yang lama ditimbun sunyi dari dasar jurang kausaksikan sesungguhnya ia adalah tangga, jalan satu-satunya menuju dunia di atas sana sebentang daratan di mana kembaranmu mengembara mencari rumah di celah-celah sempit kebun sawit (Kekalik, 2017) Patung Burung ratu burung pilu, tunjukkan padaku langit yang satu kanvas orang dulu, batas-batas baru pada gua batu tebing miring runtuh saat kening mu

Estatua de la Santa Muerte oleh Warih Wisatsana

8 April 2017 Warih Wisatsana Estatua de la Santa Muerte Kami kenakan topengmu sepanjang jalan ini dalam arakan nyanyian dan pujian bagi si mati Bukankah hidup begitu menjemukan Siang malam bergegas siang malam menderas selalu seperti sungai sungai berakhir begitu saja di lautan Maka biarkan si mati menari riang tak henti hingga dini bersama maut terkasih yang merindu dirimu Si mati yang kini berdiam dalam diri kami berdendang beriringan bersulang memuja petang terbang melayang seringan burung enggang melintasi hutan pualam malammu yang hilang berseru pada pohonan agar rindang meninggi berseru pada bunga liar agar mekar mewangi Sebab tak ada yang sesenyap tatap gaibmu kami rayakan dirimu sepanjang jalan tanpa kias kata dan ucapan selamat pagi tanpa kilau cermin pelipur umur yang percuma Kepada anak yang terisak dilupakan ibunya kami kekalkan dentang lonceng tua di tikungan berulang bertepuk tangan berbagi salam mengusap linang muram di pipinya y

Deviasi Bahasa Puisi

Bahasa 8 April 2017 Bagi penyair, ada kewenangan istimewa dalam memperlakukan bahasa yang dikenal sebagai deviasi bahasa. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2003) dijelaskan bahwa pemahaman bahasa dalam konteks media puisi tidak sama dengan pemahaman terhadap bahasa yang hidup dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa sastra berbeda dengan bahasa pidato, buku teks, atau karya ilmiah. Bahasa dalam puisi sering menyimpang dari kaidah atau ketetapan tata bahasa yang normal. Penyimpangan ini dalam linguistik disebut deviasi bahasa. Penyimpangan itu diperbolehkan demi visi puisi sang penyair kesampaian. Beberapa pemanfaatan deviasi bahasa tersua pada struktur kalimat dalam larik (1) menepis sedih ia dalam kalut ( menepis mendahului subjek dengan maksud untuk mengedepankan predikatnya; (2) biarkan bumi semakin bergesa (mestinya kata bergesa bertulis tergesa-gesa; (3) seribu api —tata urut frasa ini tampaknya ingin menjelaskan bahwa panasnya api

oleh Wayan Jengki Sunarta

1 April 2017 Wayan Jengki Sunarta Yanwa Tanarsu Dirimu ada dalam diriKu Kita saling melengkapi Serupa madu pada sari bunga Seperti bintang dalam galaksi Lalu, mengapa kau berjalan tak tentu arah Langkah letihmu telah mengikis waktu Dalam labirin itu kau serupa Minotaur Berapa tumbal lagi kau inginkan untuk sampai pada kesejatian Sejak kau dilahirkan kegelapan telah mengintai dan mengujimu Namun, kau cuma menebar senyum Itulah sebabnya Aku mencintaimu Kau ingat? Seekor monyet siluman menjilati ari-arimu, lalu perutmu digerogoti cacing-cacing desti Kau nyaris sekarat Sebilah keris kecil milik dukun sakti merasuki keningmu begitu hangat Dukun itu mati usai menyembuhkanmu Kau berutang padanya Dan, karma bekerja dalam dirimu Dukun yang lain memberimu sekeping uang kepeng ketika kau menangis meraung di siang lengang Dukun itu juga mati usai menghiburmu Dan, roda karma terus berputar dalam dirimu Sebagai kawan seperjalanan, kematian begitu mengakrabimu