Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Membaca Susi untuk Ayu di Payakumbuh oleh

Riki Dhamparan Putra Membaca Susi untuk Ayu di Payakumbuh Susi yang sekarat Tak akan tamat karena puisi mengunjungimu di Payakumbuh Marilah kita ucapkan salam Kita jamu dengan sekepal lumut masik batih jerami getar sayap kumbang papan Andai andai-andai Andai anai-anai yang memahat tangga ke rumah gadang lama itu melepas bebannya Apakah Susi akan runtuh Tentu Susi tak akan runtuh Kecuali kita hanya punya satu leluhur saja yang jenaka Ialah yang menukar besi jembatan dengan mayat pekerja rodi kegembiraan dengan riwayat perang sawah ladang dengan potongan bambu berani mati Bagi leluhur yang seperti itu hanya ada satu pembebasan saja di dunia : lagu puja kepada bunga-bunga Untunglah tanah ini tak pernah kekurangan kata-kata Kata-kata tak pernah selesai Tiap orang bagai gelanggang bagi menempa kata-kata yang tak selesai-selesai Tapi aku masih saja ragu semua itu bakal mengantarku padamu Apakah engkau akan rela bila kukata batang Agam bukan lagi batang Agam

Pulang ke Tengah Sawah

Boy Riza Utama Pulang ke Tengah Sawah Ancaman akan dikutuk sebagai cimolok Yang merangkak dari tembok ke tembok Tak melurutkan keinginannya buat pulang Menghapus garis silsilah yang disandang Ia kini di tengah sawah, menjangkau pokok Jambak yang putiknya malu-malu buat rontok Sebab angin, di pusat pengekangan ini, jarang Datang sebagai badai – peruntuh batang gadang Menyusuri garis-garis pematang, matanya bersirobok Papan-kayu para pelancong yang sudah menjadi pondok “Apakah yang pasti, selain ketakutan tiba mengadang,” Ia bertanya, “Sebab sungai diampang, rimba ditebang?” Enam dasawarsa lalu, berpitawatlah miang seonggok, Ikan-ikan merah dalam jala rambang habis tercokok Demikianlah nasib yang ditimpakan kepada pembangkang Begitu dangkal pemahaman berujung sebagai orang-buang Di tengah sawah itu memang tak lagi ada rumah bercolok – Hanya tinggal betung-betung pembatas ke luar menjorok : Hamparan derita, ketipak maut, hidup alang kepalang Sejak satu imbauan

Di Halaman 55 oleh

Acep Zamzam Noor Di Halaman 55 Di halaman ini akan kumulai lagi Menghitung kata dan menyaringnya Di ruang kosong ini akan kuulangi lagi Menyusun bunyi dan memainkannya Di bilangan tahun ini akan kumulai lagi Menjumlah usia dan mengendapkannya Di angka rawan ini akan kuulangi lagi Menyerap waktu dan memaknainya 2015 Tak Pernah Kutarik Bulan Tak pernah kutarik bulan Ke arah subuh. Tak pernah kuulur Layang-layang malam Meninggalkan langit tak utuh Kenangan kadang melintas Ingatan kadang terhenti Kadang aku mengerti batas Tapi rindu tak mau tahu Bulan adalah layang-layang malam Ditarik dan diulur benang gaib Mengitari ruang dan waktu Subuh adalah gema yang mengendap Ketika suara azan bersahutan Dari masjid-masjid yang kini jauh 2016 Pesan dan Gambaran Bagi seorang penyair Pucuk daun adalah pesan Yang disampaikan ujung akar Dari kedalaman tanah Bagi seorang pelukis Paras bunga adalah gambaran Yang diungkapkan musim Saat kuning menjadi kes

Kenangan Aroma Honje oleh Nermi Silaban

Nermi Silaban Kenangan Aroma Honje – untuk Rasmi Naibaho Kaubekali aku ingatan tentang hikayat Si Mardan sebab dalam angan remajaku tersimpan cetak-biru suatu kota. Sebuah kereta bersiap pergi dan penantianmu di sana akan berulang: kabut pagi, hujan, kemarau, ekor meteor, rumput liar, dan bunga-bunga kebun yang rekah dan layu. Tak banyak yang kubawa, hanya keteguhan dan kenangan, meski telah kugenggam secarik tiket, kadang derit rem kereta, lengking peluit membuat rencanaku bergetar. Hari demi hari di sini tak sama saat berada di dekatmu, banyak hal yang tak akan kauduga, bahkan mungkin mencemaskanmu saat sirene gegana dan gempa laut menimbulkan berita pagi. Semoga kau dapat mengerti, bahwa kita hidup di sisi takdir setiap orang, seperti halnya daunan di suatu pohon, beberapa gugur tersapu angin, sementara kita masih bertahan pada jarak ini. Kutunda pulang, kalender berkali usang, aku abaikan setiap seruan stasiun, dan gemuruh pesawat, terus berulang dari tahun k

Di Sebuah Ladang oleh Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad Di Sebuah Ladang Malaikat yang belum bernama menghempaskan sayapnya yang berat ke ladang itu. Sedetik kemudian sunyi jadi besi. Tapi dua teriak anak menembusnya – tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela, mungkin tanda yang mereka pasang untuk ibu yang tak pulang setahun lalu lari dari malam yang tuli, sunyi yang besi, hitam yang rata, di atas dusun – Berikan kembali kitiran kami. Berikan kembali kitiran kami. Kulihat malaikat itu menutup matanya. Ayo, nak, teriak lagi, kataku. Tapi mereka diam. Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi. Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus. Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak. ”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya) ”tapi aku tak mau kau memanggilku.” 2018 Matahari Pergi Matahari pergi dan kota jadi trapesium hitam Aku akan meninggalkannya, dari sudut yang tak lurus dengan kaki sakit. Di tepi plasa ini yang tampak hanya bar d