Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Semesta Karatsu oleh Ahmad Yulden Erwin

25 November 2017 Ahmad Yulden Erwin Pintu Ada satu pintu, bila dibuka, diriku akan ikut terbuka. Ada satu pintu, bila ditutup, diriku akan tetap terbuka. Ada satu pintu dalam diriku.  Jalan Lain Musashi 1 Berkerut kening Daruma Menatap sepasang angsa Termenung di sisi telaga 2 Patung dewa pedang Memandang angkasa – Tersenyum pada musuhnya 3 Buddha tertawa Menatap pralaya Dua ayam jantan 4 Burung pingai tertancap pedang – Sebuah lukisan tinta, tertanda Fudo Myo-o (dewa pedang) – 5 Ia letakkan pedangnya Ia raih kertas, kuas, dan tinta – Pelikan menatap angkasa Semesta Karatsu 1/ Tak ada kilat atau tanda api Kecuali hangus pasir Atau cemas yang lingsir Saat kutatap prana berayun di dinding Cawan itu, sebelum percik dingin Bermain dalam mataku, menduga-duga Taksa pada rumpun bambu Atau padang yang jauh, tentu, Kau tahu, waktu bisa setipis embun Atau haru yang rimbun, tetapi kita Tak mampu menolaknya, semesta hadir B

Asma Kinarya Japa karya Gunawan Maryanto

Gunawan Maryanto 18 November 2017 Asma Kinarya Japa Nama-namamu Menjadi Doaku 1 Dukamu tidak abadi, kan? Itu hanya terjadi dalam sebaris puisi Atau igauan seorang majenun Namamu barangkali, dalam ingatanku Sungguh aku tak ingin jatuh cinta Udara memburuk Cahaya meredup Ia terlalu mencemaskan 2 Ambil wayang itu, Nak Raksasa hutan yang sedih Atau punakawan yang jenaka Nanti kita mainkan dan Kelir kita bentang Untuk malam kita yang tak panjang Sudah kautemukan mereka dalam kotak? Upacara akan segera dimulai Nama-nama mesti diruwat Ya, namamu juga Agar suatu kali kita bisa bermain lagi 3 Odong-odong kita telah siap Lampu-lampumu menyala Lampu-lampuku menyala Inti malam tengah kita masuki Entah siapa duluan sampai 4 Seminggu kaukenakan baju-bajuku Untuk duduk di samping gudang Maaf aku tak bisa menemanimu Akhirnya kematian yang datang Ringan membawamu pergi Tak kubaca isyarat rindumu Orang lain yang menemukannya 5 Tiga puluh tahun membatu R

Patah Bingkai, Sabai oleh Esha Tegar Putra

11 November 2017 Esha Tegar Putra Patah Bingkai, Sabai Sudah kubenam betung itu dalam-dalam, Sabai di lubuk larangan di tempat seribu telur ikan puyu menetas dalam semalam kuperam betung saat bulan disungkut awan dan betung kubangkit dua puluh tujuh malam berikutnya. Tapi mengapa layanganku tetap patah bingkai? Tidak kutakut mata pisau mengena paha marekan ganih kubalut pada telapak tangan. Kubelah betung. Kuraut. Pelan. Serupa menggusuk kuduk kuda tiga mantera kubaca tiga mambang kupanggil serta angin mulai berpusar tiga mata pula. Patah bingkai, Sabai. Layanganku tetap patah bingkai. Ia terbang tenang di angin sedikit kibaran ekornya seakan terus berseru “Benang jangan dipuntal!” Mahali, 2017 Tak Sampai-sampai Kupiuh dendang terbaik itu, Sabai di atas kereta terakhir sebelum corong-corong toa stasiun mengurangi gemanya pulang dihimbaukan berulang-ulang lampu-lampu pudur teratur dan jam malam membikin ingatan jadi pandir. Terus aku masuk

lapislazuli bengali karya Ramon Damora

4 November 2017 Ramon Damora lapislazuli bengali biru sehelai ibunya mengapung di buthidaung sirah merona selembar adik bayi teramat cantik terkulai ngambang sepanjang benang darah ditenun kembali sungai naf dan rahang-rahang rakit pun menjahit gelora rakhine utara namun satu per satu pengungsi aus, putus, seperti butir-butir kancing jatuh dari seragam serdadu gergasi di barak tangsi semua muara mengulur seutas demi seutas bangkai gugur di pepohon lagoon, membuah buih yang putih, memberi arti pada setangkai mati maut menyumbang sedu sedan dengan menimbun kematian di ranjang pelaminan sungai yang senantiasa lengang landai sisa-sisa perahu pelarian kadang jadi betapa ringan terbang serendah bayang bayang, seindah layang layang, menggores batas batas langit bangladesh di lazuardi sebongkah tubuh bocahnya tergantung anggun berayun-ayun gerun bagai seuntai kecubung kelabu lapislazuli bengali telanjang, yang tembuspandang: dia tak hendak turun, bel