Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Di Dalam Lubang Cacing oleh Alpha Hambally

22 Juli 2017

Alpha Hambally


Di Dalam Lubang Cacing

Tak pernah kusadari, aku sendirian di balik hitam
sambil menyingkap gugusan galaksi. Ada banyak
bintang yang menyusun tatanan rasi ke dalam sepi.
Ada banyak rasi yang harus kulintasi agar aku tetap
berwarna kelam, dan terus melihat ke dalam diri
sendiri.

Di balik hitam itu, aku bayangkan harapan ada
sebagai hamparan padang yang dilalui oleh sungai
kehijauan, yang di dasarnya ada terbenam rumput,
pohon, kicau burung dan pelangi. Pelangi dan air
sungai itu bisa kupakai untuk mencuci kelelahan
perjalanan ini. Kurasakan pula arus dan dinginnya
mengalirkan wajahku ke laut jingga yang mendidih,
yang merebus zat-zat kimia bersama lada, palawija,
serta bebijian lain yang akhirnya menguap sampai
langit menggumpal dan awan berjelaga mulai
melepaskan hujan sepia dengan mineral yang
memberi sayap untuk serangga, serta membawaku
terbang, kembali ke balik warna hitam.

Hitam itu pun pernah membawaku ke jutaan
tahun yang telah lewat, bersama jarak yang terus
datang dari seluruh penjuru dan waktu. Ujung serta
pangkalnya tak mampu lagi diukur, bahkan oleh
cahaya, hingga apa yang kulalui hanya akan lebur di
ruang hampa. Satu per satu bintang yang pernah
kuhisap mulai melupakan nama mereka. Kuajak
mereka melintasi kembali lembah curam berkabut
di dalam isi perut mereka, isi pikiran mereka, dan
masa lalu yang selalu memberi mereka ruang untuk
berkuasa.

Tapi pada akhirnya, kusadari aku masih sendiri,
menguntit Venus yang masih berkedip di ketinggian
lazuardi, menguping suara yang datang dari dimensi
yang berbisik bahwa mati ialah ketika aku terjaga
pada suatu hari dengan sayap kecil yang menabur
benih untuk bumi. Namun aku tak pernah percaya,
karena aku tak pernah terjaga, karena aku tak pernah
sampai ke sana.

2017



Kotak Korep Api di Atas Meja Makan

Kau melihat aku tergeletak malas di atas
meja makan, enggan hidup, percuma,
pekerjaanku hanyalah menunggu, namun
masih kusimpan semua isiku untukmu,
kuperlihatkan pula semua rahasiaku, saat
matamu datang mengintip tanpa pernah
kurasakan ada jarimu memegang pangkalku,
dan menggosok kepalaku ke dunia yang
kelam, untuk menciptakan duniamu yang
terang, sehingga aku tak tahu arti hidup,
selain melihat cahaya lainnya mengucapkan
selamat tinggal, berpergian jauh melupakan
dari mana mereka datang, supaya bebas ke
mana akan pergi, yang membuatku semakin
tahu bahwa semakin jauh api dari hidupku
semakin kau membenamkan mimpiku –
yang hanya jadi napak tilas cahaya di
tanganmu. Namun sesungguhnya aku ini
rumit, kau tak akan mengerti, ternyata aku
lebih gembira seperti ini; dulu aku lebih
membencimu ketimbang ini, dulu ketika kau
nyalakan aku, aku pikir aku berguna, tapi
dalam pijaran itu tiba-tiba terlintas di
pikiranku, jika hanya sebentar dan sesekali,
untuk apa aku berada di atas meja yang kau
singgahi tiap pagi.

2017

Alpha Hambally lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Desember 1990. Alumnus Jurusan Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Puisinya termuat, antara lain, dalam antologi Pelabuhan Merah (2015).




Aji Ramadhan

Luntur

Hujan melunturkan tangan ungu menjadi merah milik penari.

Kalian melihat partitur gerak penari berubah. Penari bergetar
menggelar lenggokan demam di depan kalian.

Hujan bertambah deras melunturkan
kaki ungu menjadi merah milik penari pada sekuen lompatan.

”Aku menyiapkan anak panah berlumur hujan.”

Kalian tak membahas ungkapan penari.

Ketika hujan tak mampu melunturkan jantung ungu menjadi
merah milik penari, maka tubuhnya membuncah.

Jantung ungu menyerang penari.

Tapi penari begitu cerdik membidik dan melepas anak panah
berlumur hujan ke tubuhnya, ke jantung ungu.

Tancapan anak panah berlumur hujan melunturkan
jantung ungu menjadi merah. Partitur gerak penari membakar
amsal dirinya,
meski terlihat berkilat di depan kalian.

Surakarta, 2017



Bukit

Kau jangan bersujud padaku. Lekas berdirilah dirimu. Kau belum
mengenal utuh wajahku. Kau belum mendengar
lima kata luka yang pernah aku peroleh dari penjelma api. Larilah
menjauhi aku, menjauhi bukit yang telah mengabarkanmu
tentang ganasnya penjelma api.

Lima kata luka menggelangi tanganku. Kau jangan penasaran
mencari aku bila bukit terbakar. Percayalah, aku
beritus malam menuju ke ruang besar. Aku akan beritus siang
setelah ruang kecil mendekatiku. Kau perlu tengok ke atas langit
setelah menjauhi bukit:

”Sepasang mata tak mampu menghadapi matahari,
tapi sepasang mata mampu menghadapi bulan.”

Penjelma api akan kembali menengok dan menjawil utuh
wajahku di bukit. Dan kau jangan sampai diketahui
oleh penjelma api. Hentikan tangismu. Kenanglah pemberianku
sejumput rambut untukmu. Berbisiklah ke atas langit sebelum
dirimu kenyal:

”Suram mengetahui ramalan seram. Bahagia mengetahui ramalan
tenteram. Bimbang tak mengetahui ramalan apa pun.”

Bukankah sikap kita memutuskan
bagaimana memaknai ramalan di bukit?

Surakarta, 2017



Menyesap Tebu

Kau menyesap tebu di waktu malam. Timbul
manis di ujung lidahmu. Habis ludah kau buang
sepah. Seperti niat lain yang
mencawani mulutmu atau melipati matamu.

Kau mulai cergas menimbang dan bernas
menguruk hati biang rusuh.

Kau terang mengetahui berapa
gerangan biang rusuh menghadap bulan. Lekas
ganti, bila kau menyesap tebu kedapatan sepat.

Dan kau jangan menghirau ketika biang rusuh
berani menanggal bulan. Justru kau
perlu membagi tuangan sari tebu kepada bulan.

Di waktu malam, bulan dengan keadaan mabuk
mengunjungi ujung lidahmu.

Kau menghormat dan mendikte bulan tentang
gurau pisau membelah tebu: ”Hasrat
dipupur. Pandai disiasat. Kilah dicuriga.”

Bulan pun mengejar biang rusuh setelah kau
tuang sari tebu ke dalam mulutnya. Biang rusuh
kabur dari kejaran bulan
setelah lubang giginya penuh nyiuran gula tebu.

Surakarta, 2017



Tanda

Tanda alam diproses hingga diterka oleh penyair: Pantulan bulan
di kolam, katak, dan musim semi.

Sebelum katak mencemplungkan diri ke kolam, penyair merasa
berada di kawasan magis. Penyair tak lagi merasa
berada di dekat kolam.

Penyair mengetahui katak mengabadikan rindu
terhadap pacarnya yang mati tadi pagi, sebab kereta melindasnya.

Pantulan bulan secara bulat ingin
mengawini kolam. Sebab pantulan bulan lantang
menentang katak. Pantulan bulan memang
membenci dan menuduh katak
ketika mengumpulkan semua kenekatannya di lanskap kolam.

Ternyata musim semi lebih netral
menimbang bulan dan katak. Dan musim semi diraba
oleh penyair sebagai keniscayaan tak memihak
pada makhluk semesta.

Sebenarnya, penyair juga meraba kolam: Hidup air tak berfaedah
bila ada kelahi dalam sangkar bersama.

Apa daya bagi kolam yang telah menjadi tempat gejolak antara
katak dan pantulan bulan.

Hasil tanda alam diproses hingga diterka oleh penyair: Katak
menganggap kolam sebagai alat kirim pesan buat pacarnya
di surga, sedang pantulan bulan merasa
harus menyingkir sebelum katak mencemplungkan diri ke kolam.

Surakarta, 2017


Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Belajar desain interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012) adalah dua buku puisinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi