Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
BERANDA SASTRA
10 Juli 2017
IDO
Aan Mansyur
Puisi adalah seni berpikir yang diungkapkan dengan narasi simbolis nan indah. Namun, bagi M Aan Mansyur, penyair asal Bone, Sulawesi Selatan, puisi merupakan ruang bagi perasaan ragu, yang anehnya kerap menjadi jawaban bagi orang lain.
“Kalau puisi diibaratkan sebuah rumah, maka fondasi rumah itu adalah pertanyaan. Jadi, bukan bagaimana mereka memaknainya saja, melainkan juga cara dan proses di dalamnya,” kata Aan dalam acara Beranda Sastra #8 dan Kelas Kreatif di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (8/7).
Di acara itu, Aan membeberkan cara membangun sajak-sajaknya. “Saya itu rumit, sesederhana itu,” kata Mansyur yang membuat beberapa anak muda menunjukkan ekspresi bingung. Acara itu diikuti kalangan mahasiwa dan komunitas pemerhati sastra.
Aan sudah memiliki 14 buku kumpulan puisi. Belakangan ini namanya santer dibicarakan karena puisinya dipakai dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2. Di salah satu adegan, Rangga, yang diperankan Nicholas Saputra, membacakan salah satu puisinya yang berjudul “Batas” pada buku Tidak Ada New York Hari Ini.
Penggalan-penggalan sajak miliknya, setelah film itu diputar di bioskop, seakan menghipnotis pembaca. Penggalan sajaknya yang sohor, antara lain, “Persis segelas kopi tanpa gula pejamkan mimpi dari tidur/Apa kabar hari ini?/Lihat tanda tanya itu jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi”.
“Saya ini paling malas dan payah jatuh cinta, tetapi saya bisa membuat puisi cinta. Kuncinya karena saya bertanya,” kata Aan.
Aan mengatakan, dirinya bisa membangun sajak-sajak cinta justru karena dirinya mempertanyakan mengapa selalu payah untuk jatuh cinta. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah sajaksajak romantis Aan hidup.
Menurut dia, puisinya bisa diterima pembaca karena ia berhasil menciptakan ruang dari keraguannya sendiri. Ruang tersebut kemudian menjadi arena pergumulan pengalaman dan pengetahuan dari para pembaca yang berusaha mencari jawaban atas pertanyaanya sendiri.
Budaya Bugis
Aan mengungkapkan, gaya menulisnya banyak dipengaruhi oleh bahasa dan kebudayaan Bugis. Ia lahir dan besar dengan adat Bugis dan, menurut dia, bahasa Bugis merupakan bahasa yang sangat konseptual. Hal itu yang membuat dirinya terbiasa dengan puisi naratif.
“Orang Bugis akan sulit mengatakan ‘mendengar’, mereka mendeskripsikannya seperti suara yang jatuh ke telinga. Saya lahir dan besar dengan gaya berbahasa yang seperti itu,” ungkapnya.
Sebagian besar peserta yang datang ke acara tersebut tidak hanya ingin menilik cara Aan membuat sajaknya, tetapi juga penasaran pada sosoknya. Sebagian menganggap Aan orang yang serius dan misterius, tetapi ada juga yang menganggapnya humoris.
“Menarik sekali materinya, tetapi saya ke sini juga ingin tahu Aan itu orangnya seperti apa? Ternyata orangnya lucu juga saat penjelasan tadi. Jadi, enggak bosan,” kata salah satu peserta, Nur Aini Amalia (25).
Ada juga Yoga Akbar Solihin (22) yang sengaja datang karena penasaran dengan cara Aan menulis puisi. “Karena suka puisi, saya penasaran apa yang ada di kepala seorang Aan Mansyur,” katanya. (IDO)
10 Juli 2017
IDO
Aan Mansyur
Puisi adalah seni berpikir yang diungkapkan dengan narasi simbolis nan indah. Namun, bagi M Aan Mansyur, penyair asal Bone, Sulawesi Selatan, puisi merupakan ruang bagi perasaan ragu, yang anehnya kerap menjadi jawaban bagi orang lain.
“Kalau puisi diibaratkan sebuah rumah, maka fondasi rumah itu adalah pertanyaan. Jadi, bukan bagaimana mereka memaknainya saja, melainkan juga cara dan proses di dalamnya,” kata Aan dalam acara Beranda Sastra #8 dan Kelas Kreatif di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (8/7).
Di acara itu, Aan membeberkan cara membangun sajak-sajaknya. “Saya itu rumit, sesederhana itu,” kata Mansyur yang membuat beberapa anak muda menunjukkan ekspresi bingung. Acara itu diikuti kalangan mahasiwa dan komunitas pemerhati sastra.
Aan sudah memiliki 14 buku kumpulan puisi. Belakangan ini namanya santer dibicarakan karena puisinya dipakai dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2. Di salah satu adegan, Rangga, yang diperankan Nicholas Saputra, membacakan salah satu puisinya yang berjudul “Batas” pada buku Tidak Ada New York Hari Ini.
Penggalan-penggalan sajak miliknya, setelah film itu diputar di bioskop, seakan menghipnotis pembaca. Penggalan sajaknya yang sohor, antara lain, “Persis segelas kopi tanpa gula pejamkan mimpi dari tidur/Apa kabar hari ini?/Lihat tanda tanya itu jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi”.
“Saya ini paling malas dan payah jatuh cinta, tetapi saya bisa membuat puisi cinta. Kuncinya karena saya bertanya,” kata Aan.
Aan mengatakan, dirinya bisa membangun sajak-sajak cinta justru karena dirinya mempertanyakan mengapa selalu payah untuk jatuh cinta. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah sajaksajak romantis Aan hidup.
Menurut dia, puisinya bisa diterima pembaca karena ia berhasil menciptakan ruang dari keraguannya sendiri. Ruang tersebut kemudian menjadi arena pergumulan pengalaman dan pengetahuan dari para pembaca yang berusaha mencari jawaban atas pertanyaanya sendiri.
Budaya Bugis
Aan mengungkapkan, gaya menulisnya banyak dipengaruhi oleh bahasa dan kebudayaan Bugis. Ia lahir dan besar dengan adat Bugis dan, menurut dia, bahasa Bugis merupakan bahasa yang sangat konseptual. Hal itu yang membuat dirinya terbiasa dengan puisi naratif.
“Orang Bugis akan sulit mengatakan ‘mendengar’, mereka mendeskripsikannya seperti suara yang jatuh ke telinga. Saya lahir dan besar dengan gaya berbahasa yang seperti itu,” ungkapnya.
Sebagian besar peserta yang datang ke acara tersebut tidak hanya ingin menilik cara Aan membuat sajaknya, tetapi juga penasaran pada sosoknya. Sebagian menganggap Aan orang yang serius dan misterius, tetapi ada juga yang menganggapnya humoris.
“Menarik sekali materinya, tetapi saya ke sini juga ingin tahu Aan itu orangnya seperti apa? Ternyata orangnya lucu juga saat penjelasan tadi. Jadi, enggak bosan,” kata salah satu peserta, Nur Aini Amalia (25).
Ada juga Yoga Akbar Solihin (22) yang sengaja datang karena penasaran dengan cara Aan menulis puisi. “Karena suka puisi, saya penasaran apa yang ada di kepala seorang Aan Mansyur,” katanya. (IDO)
Komentar
Posting Komentar