Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku oleh Hasan Aspahani



Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku

Kamusku Sudah Besar

WAH, kamusku sudah besar sekarang, berat sekali
Aku malu, tak bisa menjunjungnya tinggi-tinggi…


Aku Tersesat di Kamus Besarku

MULUTKU tak cukup besar untuk menelan seluruh kamus besarku
Para penyusun kamus besarku tidak selapar lidahku yang liar
Aku makan kata-kata yang mentah, yang busuk, yang mati, yang
pernah hilang, yang tak disukai, dan yang tak baik dan tak benar.

Kamus besarku disiapkan oleh para juru masak yang pintar
Mereka berdiam di ruang yang sejuk, dan berdebat dengan baik
dan benar, dengan bahasa buku baku di lidah yang penuh gelar.

Kamus besarku semakin lama semakin besar, mulutku semakin bego
Aku tak pernah diajari untuk mengunyah kata dengan baik dan benar
Lidahku lidah ular, yang fasih mendesis dan mengendus, tapi tak
dilatih untuk mengucapkan kata-kata serapan, dari bahasa asing,
bahasa yang hidup di kepalaku, di jalan-jalan kotaku, di televisiku,
di mana-mana, dan mereka terus-menerus memusuhiku.

Aku tersesat di kamus besarku dari kejaran bahasaku yang lapar
Jalan-jalan di kamus besarku melingkar, mengikat kaki-lidahku
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku sedang ada di mana?
Kenapa tak ada aku, tak bisa kuucap diriku, dengan kamus besarku?


Lidahku Menggali Kuburku

SETIAP kali datang ke kamus besarku aku merasa berziarah
ke makam kata-kataku, dan lidahku juga telah terkubur di sana.

Kata-kata yang berseru dalam dalam kuburan-lema: kenang,
kenanglah kami. Ucapkan lagi kami, kaulah lagi yang beri
arti bagi 4-5 ribu kata…

Kata, dari mana lagi kau mencuri kata? Dari penyair yang
pencuri itu? Yang hanya tangkas bertangkis kata itu?

Aku sedang menghitung mundur, mati seribu tahun lagi, tapi
selalu lupa aku sudah sampai pada bilangan keberapa.

Setiap kali datang ke kamus besarku aku seperti berziarah
ke makam kata-kataku, dan lidahku menggali kuburku di sana.


Kata-kata yang Tak Ingin Kuucapkan

KAMUS besarku adalah tempat sampah yang memungut dan
menampung kata-kataku, kata-kata yang tak ingin kuucapkan.
Sejak menjadi warga negara bahasaku sendiri aku terus belajar
untuk bisa diam. Tapi diam ternyata juga perlu kata-kata. Diam
juga perlu menguasai bahasa.

Kamus besarku adalah tempat sampah di pojok pikiranku, kata-
kataku di sana membusuk, melapuk, di situ diamku lalu tumbuh menjadi pohon aneh yang mulut-mulut di daunnya berebut
berbicara, aku tak bisa menangkap apa-apa dari keributan itu –
kecuali kecuali.


Mereka Bilang Aku Bebal

AKU besar tidak dibesarkan
oleh kamus besarku.

Aku dipungut oleh kamus
besarku sebagai anak bengal.

Dan mereka bilang aku bebal.

Aku anak liar yang dibujuk oleh
guru-guru untuk melatih lidahku
berbicara dalam bahasa buku-buku,
bahasa guru-guru.

Sejak saat itu aku selalu
berhati-hati berkata-kata.

Kata-kata dari masa kecilku tak
lagi seriang dulu, ketika mereka
bebas bermain bersamaku.

Kami kini lebih banyak diam.

Kamus besarku sering memeriksa lidahku.
Mereka mencurigai aku menyimpan
rencana jahat di sana.

Pernah aku meminta sebuah kata
untuk kuucapkan, sekadar untuk
memberi tahu mereka apa yang
kuinginkan, tapi mereka bilang,
pakai saja kata yang sudah ada.

Aku mau bilang, banyak kata yang
tak ada padamu, wahai, kamus besarku.


Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota

KAMUS besar adalah kota kata-kata
Pada hari Minggu aku mencari ayah ke sana

Ayah adalah kata yang tak bertanggung jawab
Ditinggalkannya aku pada sebuah puisi yang tak selesai

Aku hidup bersama bahasa ibu yang lebih banyak diam
Aku anak yang tak jelas: yatim bukan piatu bukan

Hendak mengemis, tampangku buruk ketimbang memberi maras
Hendak menangis, orang bilang airmataku sandiwara palsu
Hendak marah, kata-kata kasar sudah habis di media sosial

Hidupku dimulai dengan puisi yang tak tahu harus kuapakan
Dengan puisi yang belum rampung,
Jadilah aku anak bahasa yang bingung
Suatu hari aku pernah bertanya:
”Ibu, apakah benar namamu Pertiwi?”
Ibu tetap saja dengan bahasanya yang diam itu
Ia juga tak berkata apa-apa ketika aku pamit meninggalkannya
Aku pergi ke kota, kota kata-kata
pada hari Minggu, mencari ayah
yang kabarnya berjualan kata di sana,
di kaki lima.

Catatan:
memberi maras (bahasa Banjar): raut wajah atau keadaan seseorang yang membangkitkan
rasa kasihan pada orang yang melihatnya.



Bisakah Kamus Besarku Membantuku Menyelesaikan Teka-Teki Silang Ini?

Mendatar:
1. Nama tanaman dari mana berasal angin
pada kata minyak angin.
2. Kata yang tak pernah dipakai oleh penyair
manapun dan sangat membenci kata yang selalu
dipakai oleh semua penyair.
3. Kolom rahasia pada paspor yang tak pernah
diketahui oleh petugas imigrasi dan bahkan oleh
pemilik paspor tersebut.
4. Apa yang berada di antara inflasi dan deflasi.
5. Istilah untuk adegan yang tak pernah ada dalam
skenario, lalu dipotong oleh editor, tapi tetap saja
muncul ketika film itu ditayangkan.
6.Istilah psikologi ketika kita merasa berada
di sebuah seminar motivasi dan ingin mencekik
sang motivator yang sedang memotivasi kita itu.
7. Involusi agama.
8. Cabang linguistik yang mempelajari omong kosong.

Menurun:
1. Metode untuk mengukur sudut sesal antara titik
benci dan titik cinta di hati lelaki yang tak pernah
menyatakan perasaannya dan perempuan yang tak lagi
bisa menunggu.
2. Mimpi kering.
3. Berita yang ditulis oleh wartawan fiktif, berdasarkan
wawancara fiktif, dengan narasumber fiktif.
4. Penyair yang mengulang-ulang formula sajak-sajaknya,
dan tak sadar bahwa dia telah memplagiat dirinya sendiri.
5. Amnesia massal.
6. Manusia terakhir dari sebuah suku bangsa yang
nyaris punah.
7. Kerakusan struktural.
8. Kata yang tak sempat diucapkan oleh tiada, kepada
hujan, kepada awan, kepada kayu, kepada api, kepada abu,
dan kepada penyair yang menjadikan mereka puisi.
9. Teka-teki yang tak tepat dan tak berjanji.


Hasan Aspahani lahir di Sei Raden, Samboja, Kutai Kartanegara, 1971. Bukunya antara lain Chairil: Sebuah Biografi (2016), dan Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering (2016) yang terpilih sebagai buku terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi