Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Dedy Tri Riyadi

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman karya Dedy Tri Riyadi

24 Maret 2018 Dedy Tri Riyadi 101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman “Perlu seratus cahaya untuk kesadaran agung.” – Chakrasamvara Paman sudah mati, dan aku tak ingin mengenangnya. Tak ingin terjebak dalam gelap kenangan itu. Penjara pengap penuh coret dan hitungan akan waktu. Karenanya aku nyalakan 101 lampu lemak yak. Tidak. Aku tidak pernah takut Paman datang dengan muka cemberut dalam mimpiku. Aku hanya tak ingin kegelisahan jadi tuhan (dalam Genesis, Ia berjalan di taman sambil berteriak pada Adam dan Hawa dalam semak). Tak perlu ada ziarah. Paman sudah mati, dan aku tak sedang ingin menyapanya. Aku nyalakan 101 lampu lemak yak bagi perjalananku ke Shangri-La (di sana, tak ada Paman atau kenangan akan dia). Meski aku tahu, cahaya dari 101 lampu lemak itu tak bakal sampai di kaki Kun Lun. 2018 Kau Mati dan Hidup Kembali dalam Doa Kami Tenang. Aku akan berdoa, meski tak tahu: arwahmu sedang berjalan di Hunza atau sampai di Sinchuan.

Yusuf Membuka Pagi oleh Dedy Tri Riyadi

15 Juli 2017 Dedy Tri Riyadi Yusuf Membuka Pagi Yang lebih gugup dari kuncup waktu muntup semakin cepat. Dengan irama semenjana – langkah-langkah pedansa. Ia muncul tiba-tiba, dengan kerak warna matahari tua. Disapukannya suara pada segala yang masih mengantuk. Dibelai sekali lagi bagian yang terkulai – Bangun, dan bergeraklah! Goyangkan kecemasan. Lenturkan ketakutan. Hidup harus dibangun dengan sepenuh kesadaran. Ini bukan soal tari dan nyanyi – sebab ia hanya meniupkan ruh pemberani, lalu pergi dan meninggalkan ketukan-ketukan itu di dadamu begitu saja. Sampai kau merasa ini dunia tumbuh tak seperti biasa. 2016 Yusuf Belajar Ilmu Falak Ia sadar, dirinya bukan sebuah radar – tak bisa menangkap jejak mereka yang terbang dan berputar di atas kota. Ia tahu, dirinya juga bukan teropong itu – tak ada meteoroid menjejas kulit langit. Ini Detroit! Di mana awan sulfur dan karbondioksida mengatur sejumlah rencana: mempertebal awan dan melebatkan huja