Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Zelfeni Wimra: mantra pengurai plastik

29 September 2018 Zelfeni Wimra mantra pengurai plastik wahai raja bara yang bersembunyi dalam nyala segala cinta aku menyeru-merayumu datang dan menarilah aku tengah jatuh cinta pada seorang plastik antik melekat dan jilatlah kulit cantik yang membungkus tubuhnya mengepung rumahnya mengurung lekuk periuk nasinya menyungkup galon air minumnya menyelimuti bumbu dapurnya menyumbat saluran jambannya lalap dan kunyah ia sampai usai agar kasih ini sampai pada leher, telinga, lengan, dan jemarinya bakarlah bunga-bunga plastik yang semerbak di ubun-ubunnya puisi-puisi dan laporan penelitian yang ia tulis dari pena plastik koran-koran yang ia siarkan di atas lembaran plastik setelah ia mencair, santap pulalah ini bangkai satukan kami menjadi gelas plastik yang memuai demi wadah kopi para pencinta wahai panas yang menyala dalam semua gelora bantu aku menyepuh diri ini jatuh cinta yang pelik uratku menjadi tulang tulangku menjadi plastik 2018 peti mati plastik buyut kakek n

RAMOUN APTA: Rahasia dari Perut Dapur

22 September 2018 RAMOUN APTA Rahasia dari Perut Dapur Setelah dipanggang, caluk mekar Bagai rengkah mawar. Kugerus ia Garpu demi garpu. Kutabur ia ke dalam gelimang cabai, bawang Dan tomat yang digoreng dengan minyak kelapa. Lalu kumasukkan potongan-potongan daun kangkung, Kusiram dengan sedikit air dari perut sumur. Setelah matang, caluk kangkung Kulemparkan ke lidahku. Di lidahku, kurasakan serbuk itu pecah Lumer ke seluruh lidah, membentur gusi, Mengoyak langit-langit, Mendedah anak lidah, Bagai gelepar udang Yang berlarian mengejar ombak. Belut Hijau dari Perut Rawa Kau adalah raja ikan dalam daftar menu makanan sungai. Kau dihidang bersama cabai hijau yang digiling setengah enggan. Kusantap kau di hari hujan, deruk tulangmu menawarkan asin lautan. Juru Masak Orang Melayu Akan datang seseorang Berkopiah hitam Mengaku juru masak Datang mengetuk pintu rumah. Dan kepada orang itu Kelak burung ruak-ruak Akan berhamburan bahagia Mengepak-ngepakkan sayap mereka. Burun

Esha Tegar Putra: Pada Tilam Bergabuk

15 September 2018 Esha Tegar Putra Pada Tilam Bergabuk Pada tilam bergabuk selimut lama sulam bulu domba telah aku sematkan lagu suci itu. Di luar, hujan menjadi berulang kali menjadi dingin benar tak tertanggungkan derik kulit serangga tersengat listrik dan suara anjing mengibaskan tubuh basah dalam bergelung kurapalkan sekstet tua dari panel batu kuburan lama: “kavaleri berkuda merundung kota mengupak pintu mengumban jendela memukul-mukul pangkal menara langit adalah tiga ribu mambang terbang dengan jubah hitam menjuntai dingin mempertegas karat pada cawan tembaga adakah yang menggigil-runtuh selain isi dada kita?” Pada tilam bergabuk selimut lama sulam bulu domba kusematkan lagu kurapalkan sekstet tua itu dingin mendesak terus ke liang dada. Di luar, air turun hitam rumah kelam menara kelam pohon dan segala seakan tenggelam. Sarajevo, Juli 2018 Di Ketinggian Alifakovac Dan aku melihat kota lama dari ketinggian, Fadila cerek tua, talam tua, cangkir tembaga tua bau

Kurnia Effendi: Di Bawah Bayang-bayang Jokpin

8 September 2018 Kurnia Effendi Di Bawah Bayang-bayang Jokpin Aku dan bayang-bayang berjanji Untuk tidak saling membayangi Pada malam pekat aku berlari cepat Menyeberangi mimpi ke tepi pagi Bernaung bayang-bayang gedung Kunanti matahari melewati jalusi Aku dan bayang-bayang akan bersulang Mencari waktu untuk saling menghilang Saat matahari mencapai titik kulminasi Aku menari-nari tanpa mengangkat kaki Bayanganku kecewa ditipu arah cahaya Kusembunyikan di bawah telapak kaki Bayang-bayang pun menghampiri petang Sejak itu aku tak lagi bisa dipandang orang Jakarta, 2018 Testamen Afrizal, Secangkir yang Lalu Pagi meledak sebelum pukul dua. Pagi yang kutunggu sejak halaman pertama. Sebuah lagu lama terlunta. Kusebut nama ibu dengan bibir membeku. Jauh aku dibawa kelu, radio yang menyiarkan almarhum biduan tanpa lagu baru. Kuraba Rabu, secangkir yang lalu. Kegelisahan kusimpan dalam cermin waktu, tumbuh seperti kuping terwelu. Bau kopi melucuti pagi yang melangkah telanjang dengan bo

Beni Setia: Aerobik pada Usia 60-an

1 September 2018 Beni Setia Aerobik pada Usia 60-an selalu aku proyeksikan angan-angan pada lahan, kanan perempatan, agak di luar kota tempat rumah dan pertokoanku nanti dibangun saat di lahan itu dibangun rumah, aku menggeser lahan impianku agak ke dalam. kini, pada usia 60-an, aku terantuk di lahan sangar di tepi sungai mungkin kesampaian: mewakafkannya bagi warga, serta aku sendiri si yang pertama kali dimakamkan di lahan pekuburan baru bagi warga mungkin hanya bisa beli 2 x 1,5 m tanah kuburan, di seberangnya – dekat perdu pandan 2018 Bermain Layangan di Malam Hari waktu adalah suitan angin pada daun-daun serta ranting mangga, saat musim kemarau serta semua membentang benang di bilah bambu yang direntang – untuk melekatkan kertas minyak waktu adalah yang menggetarkan kertas layangan dan semua angan-angan serta impian kanak itu: luruh. bergelimpang di tanah lapang yang senyap (satu saat, usai rembang, kau coba memungutinya) mencermatinya satu-satu, seperti menyesapi p