Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Fariq Alfaruqi

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Tilas Harimau karya Fariq Alfaruqi

24 Februari 2018 Fariq Alfaruqi Tilas Harimau – untuk Raden Saleh Kenapa kau biarkan air muka pagi tempias mengasihani torehan luka di sekujur tubuhku lambang tuah yang ditikamkan oleh seribu ekor maut, sebelum aku memangsanya satu demi satu. Lihatlah bagaimana ulur tangan cahayanya, justru menumpas denyar gulita dari liang petilasanku tentu juga merampas kilat-kilau ilahiah yang bersemayam dalam relung suluk moyangmu. Dengan udara seiris limau dan warna seragi kamboja hendak ia tiriskan juga, derau cuaca pada pakis dan akasia lembap waktu pada lumut dan batu. Oh, hutan sungsang rimba suling masih ada lagikah lurah, lereng, atau tebing yang lena kelabu, bakal menyempurnakan belangku yang haru biru, menyimpan kubur aib leluhurmu. Jikalau sorot mata fajar budi itu kau biarkan menghalau hantu gunung, arwah lembah makhluk bingung, penghuni sekalian belantara lenyah. Sementara di setiap penjuru pintu jalan menuju ulu hati tali jantung belantara ini kaum pembur

Berburu Kijang Pincang oleh Fariq Alfaruqi

25 Februari 2017 Fariq Alfaruqi Berburu Kijang Pincang Kalau sudah lepas kijang ke rimba padang datar akan kupinta untuk segera melupakan bercak jejaknya selayaknya rahasia yang dikubur dalam mulut para pendusta. Dengan semak ilalang, aku kaburkan segala gelagat yang mampu diringkus oleh udara bau amis dari robekan tungkainya yang luka suhu ketakutan yang menguar sebagai panas-dingin tubuhnya. Jalinan akar, tanah gambut, tebal rumput serta lembab lumut adalah serikatku bakal peredam rintih, erang, engah juga gemerincing rasa bersalah pada pincang langkahnya. Agar pengintai bermata elang pun silap membidik bayangannya pengendus berhidung anjing pun kalap melacak persembunyiannya. Kalau sudah melintas kijang di ambang pintu rimba aku katupkan segala celah bagi cahaya dan membiarkan gelap menaunginya. Perburuanmu telah usai sebelum tunai ujung tombak tak akan pernah tertancap anak panah tak bakal sempat melesat. ”Tapi jerat mana yang digulung sebelum