Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Kedung Darma Romansha

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Episode Wasta Cinta Semanis Racun oleh Kedung Darma Romansha

Kedung Darma Romansha Episode Wasta Cinta Semanis Racun 1. Duda Asmara yang Pertama sudah lama Wasta membanting cinta sejak gandulan hatinya digondol bos TKI Jakarta. ia tak percaya cinta pandangan pertama sebab yang pertama selalu ada yang kedua dan ketiga. adalah Wasti penyanyi dangdut tingkat kecamatan. yang jika tersenyum, seluruh mata ambruk dan lampu-lampu padam. yang jika bergoyang, waktu seakan mabuk di mata malam. itu kali pertama Wasta disenggol cinta pandangan pertama. bahwa ia selalu membayangkan menabok bokong sang idola ketika memainkan kendangnya. bahwa ia merasa bergairah dan seakan-akan hati Wasti berada dalam tabokan tangannya yang lajang jalang. dunia selebar kendang miliknya. tapi hatinya selebar mata sang idola. 2. PDKT setiap kali Wasti pulang membawa keringatnya Wasta menawarkan punggungnya untuk dinaiki Wasti. ia berharap kemurahan hatinya diterima Wasti dan punggungnya tak lagi menanggung angin merah. maka sekali lirik, longsor