Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Mengukur Dalamnya Lautan oleh Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor
Puisi
1 Juli 2017

Mengukur Dalamnya Lautan

Kabut yang membayang pada lindap wajahmu
Bercerita tentang bagaimana rasanya ditinggalkan
Embun pagi yang menggenang pada lamur matamu
Berkisah mengenai kehilangan demi kehilangan

Kau sempat mengira dunia akan runtuh subuh tadi
Padahal azan hanya membangunkanmu dari mimpi
Kadang kau percaya bahwa semua akan baik-baik saja
Walau tahu kemunafikan semakin berkuasa di bumi

Ombak pasang yang mengasuh keheningan hatimu
Bercerita tentang bagaimana hikmahnya diasingkan
Angin topan yang mengasah ketetapan langkahmu
Berkisah mengenai kepasrahan demi kepasrahan

Mungkin kau tengah sibuk mengukur dalamnya lautan
Ketika orang-orang saling menggunting dalam lipatan
Atau malah sedang khusyuk menulis puisi-puisi sepi
Ketika mereka berebut bangkai saudaranya sendiri

2016


Episode yang Berulang

Matamu seperti pecahan kristal yang tertimbun aspal
Aku membayangkannya saat rembang petang mulai turun
Sepasang cahaya biru berkelebat di tengah kebisuan malam
Dan sejumlah kafe melatarinya dengan lampu-lampu redup

Paduan suara terdengar murung dari balik dinding katedral
Ketika suhu udara menerjemahkan dirinya bagian dari amsal
Sendiri aku berjalan menyusuri trotoar dan lapangan berbatu
Melintasi jembatan, lampu merah serta sudut-sudut masa lalu

Kembali aku menemukan matamu di balik etalase toko permata
Dan terbayang sebuah pulau kecil yang tak termuat dalam peta
Segera kukenakan mantel bulu sambil bergegas menuju halte

Di penghujung musim ada yang diam-diam meniup terompet
Perpisahan. Mataku semakin menyempit seperti terowongan
Gemetar melihat sepasang cahaya biru di tengah kegelapan

2016


Sehabis Gerimis

Kau mungkin masih ingat sehabis gerimis pagi itu
Daun-daun puring menjadi lebih bercahaya dari biasa
Mungkin belum lupa setelah kecupan pertama di pipi
Udara pinggiran kota jauh lebih sejuk dari sebelumnya

Ketika tersenyum wajahmu seperti ufuk menjelang senja
Menyalakan kesumba yang dipulaskan rembang petang
Saat tertunduk bulu matamu bagai sulur-sulur pohon ara
Yang berjuntaian menaungi batu-batu nisan di bawahnya

Tersenyum dan tertunduk hanya bagian kecil dari keindahan
Yang biasa diperlihatkan tebing-tebing pegunungan di selatan
Kecantikan yang sebenarnya terkubur di bawah lapisan bumi

Lengkung alis dan bulu mata yang menyerupai sulur-sulur itu
Mungkin sekedar lukisan yang nampak dalam tatapan dunia
Lukisan sesungguhnya tersembunyi di dalam galeri hatimu

2016


Kuburlah Dalam-dalam

Cahaya bulan berjatuhan sepanjang keterluntaanku
Dari warung kopi aku sempoyongan menuju terminal
Kulihat deretan merkuri menyerupai kunang-kunang
Dan menjelang subuh aku dibawa motor entah ke mana

Pencerahan sesungguhnya berasal dari balik kegelapan
Sekian kuburan telah kukunjungi dalam ziarah sunyi ini
Dan aku yang terus mengembara setelah kehilanganmu
Kembali harus memperpanjang jarak ruang dan waktu

Pada bukit-bukit yang tengah diruntuhkan aku membaca
Betapa sakit sesuatu yang direnggut dari tempatnya berada
Seperti sakitnya perut bumi yang digerogoti tanpa henti

Kekasih, kuburlah dalam-dalam semua perseteruan kita
Dari puing-puing kesedihan akan kubentuk kabupaten baru
Biarkan aku menjadi bupati seumur hidup bagi hatiku sendiri

2016


Membaca Lambang

Di muara kudengar langkah waktu sayup-sayup sampai
Rumpun bakau menjelma ruang yang memantulkan gema
Ketika angin kemarau berkejaran dengan gulungan ombak
Di pantai. Aku tertinggal jauh di luar batas kesementaraan

Sekalipun yang nampak di hadapan tinggal kabut semata
Tentu masih ada yang bisa diteroka. Aku membaca lambang
Merenungi bagaimana langit merendah dan bumi meninggi
Namun bukan sedang mengulurkan benang basah ke udara

Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung
Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir
Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudera

Pelan-pelan aku menyaksikan senja berubah menjadi panggung
Sebuah resital cahaya mulai dipentaskan cakrawala. Di kejauhan
Gugusan pulau menggelepar-gelepar bagaikan para penari latar

2015


Benteng Kalamata

Bilah-bilah batu berkata padaku lewat kilau cahaya perak
Yang diterimanya dari matahari. Dermaga lama masih tegak
Seakan menjaga keheningan yang muncul di sela ganasnya
Ombak. Lalu mataku dipenuhi camar yang beterbangan

Pohon-pohon bakau bercerita padaku dengan bahasa
Yang hanya dimengerti ikan-ikan. Rembang petang tiba
Seolah menaungi rahasia yang tersimpan di lapisan udara
Di kejauhan nusa-nusa lenyap ke dalam warna kesumba

Tanpa alas kaki aku berjalan sendiri menuju ujung dermaga
Namun bukan untuk mengukur betapa jauhnya jarak kita
Cakrawala hanyalah garis yang tercipta dari kerinduan purba

Dan jika semuanya harus bermuara pada sunyi, aku mengerti
Bahwa setiap bilah batu mempunyai guratnya masing-masing
Sebagaimana juga setiap kita memiliki lukanya sendiri-sendiri

2015


Aku Datang

Aku berasal dari serpihan lontar
Yang lama tertimbun. Datang kepadamu
Sebagai frasa yang kehilangan bunyi
Di antara rinai sepi dan rindu

Aku berasal dari lembaran kertas
Yang sudah terbuang. Datang kepadamu
Sebagai paragraf baru yang gemetar
Melintasi jarak ruang dan waktu

Aku berasal dari lipatan kenangan
Yang akan terlupakan. Datang kepadamu
Sebagai puisi yang tak pernah selesai
Menuliskan senarai namamu

2015


Selat Melaka

Sulur-sulur kabut
Bergelayut pada udara
Tahun-tahun kemelut
Berkaca di bening mata

Taram-taram petang
Berjatuhan dari langit
Abad-abad membayang
Di antara detik dan menit

Jarum-jarum waktu
Berdetak di jantung selat
Milenium-milenium rindu
Terkubur di balik hikayat

2015


Tanjungpinang

Jika pulau-pulau membisu padamu
Akulah lumut pada permukaan tebing batu

Jika pantai-pantai mengirimkan deru
Akulah ombak yang masih memendam biru

Jika selat-selat memperlebar jarak kita
Akulah sampan rindu yang menempuh segara

Jika rembang petang menebarkan seloka
Akulah bayang-bayang sepi di anjung cahaya

2015


Surat

Andai ruang bisa dilipat
Selipkan aku dalam suratmu
Cinta tidak membutuhkan jarak
Meski rindu selalu mengulur waktu

2014


Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Death Approaching and Other Poems (2015) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Inggris dan Jerman, sedangkan Ailleurs des Mots (2016) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Perancis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi