Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku oleh Hasan Aspahani

29 Juli 2017 Hasan Aspahani Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku Kamusku Sudah Besar WAH, kamusku sudah besar sekarang, berat sekali Aku malu, tak bisa menjunjungnya tinggi-tinggi… Aku Tersesat di Kamus   Besarku MULUTKU tak cukup besar untuk menelan seluruh kamus besarku Para penyusun kamus besarku tidak selapar lidahku yang liar Aku makan kata-kata yang mentah, yang busuk, yang mati, yang pernah hilang, yang tak disukai, dan yang tak baik dan tak benar. Kamus besarku disiapkan oleh para juru masak yang pintar Mereka berdiam di ruang yang sejuk, dan berdebat dengan baik dan benar, dengan bahasa buku baku di lidah yang penuh gelar. Kamus besarku semakin lama semakin besar, mulutku semakin bego Aku tak pernah diajari untuk mengunyah kata dengan baik dan benar Lidahku lidah ular, yang fasih mendesis dan mengendus, tapi tak dilatih untuk mengucapkan kata-kata serapan, dari bahasa asing, bahasa yang hidup di kepalaku, di jalan-jalan kotaku, di televisiku, di mana-m

Di Dalam Lubang Cacing oleh Alpha Hambally

22 Juli 2017 Alpha Hambally Di Dalam Lubang Cacing Tak pernah kusadari, aku sendirian di balik hitam sambil menyingkap gugusan galaksi. Ada banyak bintang yang menyusun tatanan rasi ke dalam sepi. Ada banyak rasi yang harus kulintasi agar aku tetap berwarna kelam, dan terus melihat ke dalam diri sendiri. Di balik hitam itu, aku bayangkan harapan ada sebagai hamparan padang yang dilalui oleh sungai kehijauan, yang di dasarnya ada terbenam rumput, pohon, kicau burung dan pelangi. Pelangi dan air sungai itu bisa kupakai untuk mencuci kelelahan perjalanan ini. Kurasakan pula arus dan dinginnya mengalirkan wajahku ke laut jingga yang mendidih, yang merebus zat-zat kimia bersama lada, palawija, serta bebijian lain yang akhirnya menguap sampai langit menggumpal dan awan berjelaga mulai melepaskan hujan sepia dengan mineral yang memberi sayap untuk serangga, serta membawaku terbang, kembali ke balik warna hitam. Hitam itu pun pernah membawaku ke jutaan tahun yang

Yusuf Membuka Pagi oleh Dedy Tri Riyadi

15 Juli 2017 Dedy Tri Riyadi Yusuf Membuka Pagi Yang lebih gugup dari kuncup waktu muntup semakin cepat. Dengan irama semenjana – langkah-langkah pedansa. Ia muncul tiba-tiba, dengan kerak warna matahari tua. Disapukannya suara pada segala yang masih mengantuk. Dibelai sekali lagi bagian yang terkulai – Bangun, dan bergeraklah! Goyangkan kecemasan. Lenturkan ketakutan. Hidup harus dibangun dengan sepenuh kesadaran. Ini bukan soal tari dan nyanyi – sebab ia hanya meniupkan ruh pemberani, lalu pergi dan meninggalkan ketukan-ketukan itu di dadamu begitu saja. Sampai kau merasa ini dunia tumbuh tak seperti biasa. 2016 Yusuf Belajar Ilmu Falak Ia sadar, dirinya bukan sebuah radar – tak bisa menangkap jejak mereka yang terbang dan berputar di atas kota. Ia tahu, dirinya juga bukan teropong itu – tak ada meteoroid menjejas kulit langit. Ini Detroit! Di mana awan sulfur dan karbondioksida mengatur sejumlah rencana: mempertebal awan dan melebatkan huja

Menilik Cara Aan Mansyur Merangkai Sajak

BERANDA SASTRA 10 Juli 2017 IDO Aan Mansyur Puisi adalah seni berpikir yang diungkapkan dengan narasi simbolis nan indah. Namun, bagi M Aan Mansyur, penyair asal Bone, Sulawesi Selatan, puisi merupakan ruang bagi perasaan ragu, yang anehnya kerap menjadi jawaban bagi orang lain. “Kalau puisi diibaratkan sebuah rumah, maka fondasi rumah itu adalah pertanyaan. Jadi, bukan bagaimana mereka memaknainya saja, melainkan juga cara dan proses di dalamnya,” kata Aan dalam acara Beranda Sastra #8 dan Kelas Kreatif di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (8/7). Di acara itu, Aan membeberkan cara membangun sajak-sajaknya. “Saya itu rumit, sesederhana itu,” kata Mansyur yang membuat beberapa anak muda menunjukkan ekspresi bingung. Acara itu diikuti kalangan mahasiwa dan komunitas pemerhati sastra. Aan sudah memiliki 14 buku kumpulan puisi. Belakangan ini namanya santer dibicarakan karena puisinya dipakai dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 . Di salah satu adegan, Rangga, yang diperankan

Lebaran Kita oleh Hanna Fransisca

8 Juli 2017 Hanna Fransisca Lebaran Kita Lebaran ini, Jakarta akan kosong, Fitri. Jalanan sunyi, lorong dan toko tanpa penghuni. Pulanglah ke kampung, membawa sarung baju koko, sajadah, dan oleh-oleh. Lihat, hari raya hampir tiba. Setiap rumah di sini akan lengang, dan semua majikan mengungsi ke penginapan. Sebab tanpa adanya dirimu, apalah artinya kami, Fitri. Maaf lahir batin. Biar kupeluk sejenak, dan kucium aroma keringatmu. Telapak tangan ini mengeras, lantaran engkau telah begitu keras. Di rumah ini, jejakmu ada di mana-mana. Di lantai, kamar mandi, dapur, dan semua pakaian kami. Usapan tanganmu ada di setiap benda, dan tetes keringatmu, jadi tanda pada seluruh waktu. Minal aidin wal faizin, Fitri. Takbir akan berkumandang di seluruh masjid, memanggil ingatan pada suaramu, pada langkah kecilmu. Jika aku pulang larut, kakimulah yang bergegas menyambut. Jika aku pergi, tanganmulah yang menutup pagar pintu. Menjaga anak-anak dari marabahaya. Mak

Mengukur Dalamnya Lautan oleh Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor Puisi 1 Juli 2017 Mengukur Dalamnya Lautan Kabut yang membayang pada lindap wajahmu Bercerita tentang bagaimana rasanya ditinggalkan Embun pagi yang menggenang pada lamur matamu Berkisah mengenai kehilangan demi kehilangan Kau sempat mengira dunia akan runtuh subuh tadi Padahal azan hanya membangunkanmu dari mimpi Kadang kau percaya bahwa semua akan baik-baik saja Walau tahu kemunafikan semakin berkuasa di bumi Ombak pasang yang mengasuh keheningan hatimu Bercerita tentang bagaimana hikmahnya diasingkan Angin topan yang mengasah ketetapan langkahmu Berkisah mengenai kepasrahan demi kepasrahan Mungkin kau tengah sibuk mengukur dalamnya lautan Ketika orang-orang saling menggunting dalam lipatan Atau malah sedang khusyuk menulis puisi-puisi sepi Ketika mereka berebut bangkai saudaranya sendiri 2016 Episode yang Berulang Matamu seperti pecahan kristal yang tertimbun aspal Aku membayangkannya saat rembang petang mulai turun Sepasang caha