Langsung ke konten utama

Postingan

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda
Postingan terbaru

Taufik Ikram Jamil: ke pulau rindu

Taufik Ikram Jamil ke pulau rindu menuju pulau rindu saya berharap alunan cahaya sebab seperti biasa dia menunggu saya dengan kisah pantai ketika benderang memaknainya sebagai cerita pendek yang tak tersambar angin kemudian berkata: “sekarang musim angin puting beliung acap kali datang dan pantai kita terus tergerus tapi waktu menolaknya untuk terkikis sebab pelaut pun sadar tak ada kepergian selain pulang.” menuju pulau rindu tak saya tenteng sebarang cendera hati pun oleh-oleh sekedar pelipur lara sebab seperti pantai kepada ombak saya dengannya tak terpisah tanda membawa dan menerima tiada makna seperti dia pernah berujar “jangan merasa kembali karena kau tak akan pernah pergi.” menuju pulau rindu saya pun sekaligus sampai kepadanya tanya seberapa jarak perlu untuk rindu seberapa dekat rindu untuk menujumu seberapa jauh menujumu untuk bertemu seberapa lama bertemumu untuk cumbu kau tak akan tahu tak akan tak akan kau tahu seberapa rindu untuk menjarak se

Cuping Telinga oleh Mardi Luhung

MARDI LUHUNG Cuping Telinga Kau menyebutku pendatang. Tapi pikiranku telah lama di sini. Di sebelahmu. Tenang dan setia. Seperti kesetiaan sekuntum kembang teratai yang mekar di kolam. Dan kau meraba bayanganku. Yang katamu melengkung. Dan sesekali memanjang sampai ke kaki langit. Atau malah terus naik. Menjolok bintang. Dan kau merentangkan saputangan. Ingin menangkap napasku. Terus membungkusnya. Agar nanti dapat diletakkan di depan meja. Sebagai bagian atas rasa hormat pada sebentang persembahyangan. Persembahyangan pada sang dewi yang telah menyerahkan keutuhan tubuhnya bagi ketenteraman air, tanah, dan udara. Dan lewat kerling matamu yang bergemeriap, kau membuka pintu dan jendela. Agar udara keluar-masuk. Dan sepasang kupu-kupu pun leluasa beterbangan. Sepasang kupu-kupu yang mengajari siapa saja tentang arti bergerak. Juga arti, bahwa yang terpenting dalam bergerak adalah kemurnian dari sekepal daging gaib. Sekepal daging gaib yang ada di selipan dada. Yang

Collegio del Verbo Divino oleh Mario F Lawi

Mario F Lawi Collegio del Verbo Divino In principio erat Verbum, et Verbum erat apud Deum, et Deus erat Verbum. (Ioan, 1:1) Dari tempat itu seorang pastor Styria dikirim Ke sebuah tempat di ujung dunia. Seorang bocah dari ujung dunia Datang ke sana, di kemudian hari, Mencari kata pertama yang dilupakan Ketika si pastor meletakkan semua Ingatannya di lembaran-lembaran kertas. ”Tak kami kenal huruf,” katanya Kepada si pemimpin biara, orang yang Menjemputnya di stasiun metro, dan Menjamunya dengan pasta, parutan keju Dan prosciutto. ”Tapi engkau membacanya dengan baik,” Ujar si pemimpin biara menatapnya Setelah menelan sepotong semangka. ”Ia berusia sebaya dirimu ketika diutus, Dan kau tahu, selalu tidak mudah meratakan Jalan yang bergelombang. Di sana, pada masanya, Kupikir, bahkan belum ada domba untuk dicari. Lihat dirimu, kau seekor domba sekarang.” ”Kami tak perlu menjadi domba Jika hanya dibutuhkan untuk tersesat.” ”Siapa gembalamu?” Bocah itu

Episode Wasta Cinta Semanis Racun oleh Kedung Darma Romansha

Kedung Darma Romansha Episode Wasta Cinta Semanis Racun 1. Duda Asmara yang Pertama sudah lama Wasta membanting cinta sejak gandulan hatinya digondol bos TKI Jakarta. ia tak percaya cinta pandangan pertama sebab yang pertama selalu ada yang kedua dan ketiga. adalah Wasti penyanyi dangdut tingkat kecamatan. yang jika tersenyum, seluruh mata ambruk dan lampu-lampu padam. yang jika bergoyang, waktu seakan mabuk di mata malam. itu kali pertama Wasta disenggol cinta pandangan pertama. bahwa ia selalu membayangkan menabok bokong sang idola ketika memainkan kendangnya. bahwa ia merasa bergairah dan seakan-akan hati Wasti berada dalam tabokan tangannya yang lajang jalang. dunia selebar kendang miliknya. tapi hatinya selebar mata sang idola. 2. PDKT setiap kali Wasti pulang membawa keringatnya Wasta menawarkan punggungnya untuk dinaiki Wasti. ia berharap kemurahan hatinya diterima Wasti dan punggungnya tak lagi menanggung angin merah. maka sekali lirik, longsor

jantung pisang dan kamus peribahasa oleh Zelfeni Wimra

ZELFENI WIMRA jantung pisang dan kamus peribahasa sebelum mematri langkah sebagai perantau aku lukai sebatang pisang aku pancung tandan di hulu jantungnya hingga terburai, bercerai-berai nasib serupa juga ditanggung kamus peribahasa warisan ibu lenyai digigit rayap, seolah belorong labirin kini mengurung petuah lama di halamannya aku nyanyikan ini sebagai puisi pindah rumah tanpa pernah mengenali alasannya pisang dan kamus peribahasa itu melepasku melenggangkan lengang juga ngiangan kaba maharajo dirajo mengirim daro pitok dan daro jinggo ke tanah jawo seketika, aku lihat wajah anak perempuanku berkilau melawan kedipan lampu odong-odong di alun-alun selatan apakah ia juga sedang tergoda membakar darah titisan ninik anak-anak yang mada anak-anak yang aditia sepi begitu lain mengaliri perantauan ini mengantar diri mencangkungi angkringan perempuan berkebaya yang kerutan jidatnya renyah tawanya mirip dengan mendiang ibuku sebungkus nasi kucing bersayur jantung pisang

Panah Mainan oleh Indrian Koto

23 Maret 2019 INDRIAN KOTO Panah Mainan Ia mendapat hadiah dari bapaknya dua panah lengkap dengan busurnya. Satu untuknya, satu untuk kawan dekatnya. “Panah terbaik untuk bocah semanis kalian. Tangkaplah rubah dan tikus tanah, macan dan ular sawah. Mulailah berkelana.” Mereka membayangkan seorang guru di bukit seberang kampung telah mewariskan seluruh ilmu. Telah saatnya mereka turun gunung. “Bagaimana dengan kuda?” Bocah perempuan merengek pada bapaknya. Kawannya menunggu hadiah yang sama. “Kuasailah dulu panah dan busur, hadiah lain akan menyusul pendekar yang sungguh hati.” Berhari-hari mereka menguasai kebun belakang mengasah ketajaman panah pada biji pepaya, pokok dan tandan pisang. Kawan-kawan lain membincangkan setengah iri, setengah dengki. “Bukan panah dari karet gelang, tapi dari rautan buluh, ujung diberi seng. Sekali kena, tamatlah kita, Kisanak.” Dalam perang besar yang mereka ciptakan sendiri, si lelaki tertembak kawan sendiri. Permainan usai. Luka dan pe