Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Hutan Sakti bagi Perimba oleh Raudal Tanjung Banua

25 Maret 2017 Raudal Tanjung Banua Hutan Sakti bagi Perimba 1. di manakah gerangan hutan sakti bagi perimba? hutan yang tak dimasuki tapak kaki manusia tak tersentuh telapak tangan, bahkan gema suara pencari manau, pengumpul damar, penakik getah, pemetik rotan, gaharu dan buah gintan, dibelokkan pohon-pohon jadi cahaya, bercabang-cabang cahaya, sehingga sungkan menjamah lembab-basah lekuk tanah. pun periuk dan rantang makan retak di tepi-tepinya. ikan asin dari pesisir berloncatan ke anak air. terasi menggumpal meniru asam kandis yang baunya masih seriang-riang sarung bantal anak-anak yang mengaji di surau-surau tinggal. karung dan ambung di punggung meledak jadi serpihan humus parang, pengait dan pisau-pisau sirawik tumpul, majal, sebelum mencecah urat leher seekor burung, kulit kayu atau kepundan rangrang. hutan itu: planet lain yang subur karena menanggung tuah ibu-tanah untuk memasukinya kita mesti melewati waktu cahaya menembus lingkaran-lingkar

Ada Sajak Apa Lagi, Den Sastro?

Sapardi Djoko Damono Frans Sartono 21 Maret 2017 Kompas/Frans Sartono Sapardi Djoko Damono Penyair Sapardi Djoko Damono genap berusia 77 tahun pada 20 Maret 2017. Dalam rangka itu, akan diluncurkan tujuh buku karyanya di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (22/3) besok. Tampaknya gaya menulis sastrawan itu berubah dari masa ke masa, mulai dari ”Duka-Mu Abadi”, ”Hujan Bulan Juni”, ”Marsinah”, sampai ”Den Sastro”. Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti. Itu petikan sajak ”Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Ayat-ayat Api . Buku tersebut menjadi salah satu dari tujuh buku penyair itu yang akan diluncurkan penerbit Gramedia Pustaka Utama di Bentara Budaya Jakarta. Kumpulan puisi lainnya adalah Duka-Mu Abadi, Ayat-ayat Api, Kolam, Ada Berita Apa Hari Ini Den, Sastro?, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, dan Namaku Sita . Satu buku lagi beru

Kosmogoni oleh Aji Ramadhan

18 Maret 2017 Aji Ramadhan Kosmogoni Kudengar cahaya berbicara: Api itu muncul di dunia. Kudengar api itu membuat jaman baheula mengeluarkan telur. Lalu telur menetaskan cerita yang membentangkan debu hasil mengulum dan menggulung dunia. Kudengar cahaya berbisik: Api itu padam. Semenjak api itu padam, dunia melafalkan bunyi. Seribu tahun lewat, dunia menghidupkan sepasang batu: Sepasang batu berbunda dunia, sepasang batu mengelanai dunia, sepasang batu saling bercinta ketika dunia pancaroba. Kudengar cahaya berlirih: Api itu kembali. Kudengar api itu hadir pada diri sepasang batu yang mulai mengkhianati dunia, menolak gerbang fana. Surakarta, 2016 Menulis Harimau Aku menulis harimau di hutan leluhur yang sering diceritakan ulang oleh nenek. Aku menulis harimau sedang mandi di sungai bersama arwah leluhur. Harimau suka becermin di air sungai. Wajah harimau serupa wajahku. Aku yakin pembuluh darahku mengalirkan jalan harimau. Nenek memuj

Penyair 4 Kota Luncurkan Antologi Puisi di Tembi

Kompas,  13 Maret 2017 Penyair 4 Kota Luncurkan Antologi Puisi di Tembi Empat antologi puisi karya dari penyair yang tinggal di Purwokerto, Mojokerto, Magelang, dan Yogyakarta akan diluncurkan dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-66, Senin (13/3) pukul 19.00, di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. Ons Untoro, Koordinator Sastra Bulan Purnama, menjelaskan, keempat antologi puisi itu adalah Larik-Larik Kata karya Dharmadi (Purwokerto), Rasa Ku Rasa karya Suyitno Ethex (Mojokerto), Seriuh Kata Sebisu Kala karya Damtoz Andreas (Magelang), dan Lelaki Mengulum Sunyi karya Sunawi (Yogyakarta). Karena itu, tajuk pergelaran sastra ini adalah “Rasa Lelaki Serius Larik-Larik Kata”, gabungan dari keempat judul antologi itu, dan tiap buku diterbitkan oleh penerbit yang berbeda. Acara akan disemarakkan pentas musik puisi dari Ahmad Jalidu yang menggarap puisi Damtoz Andreas menjadi lagu. Para pembaca puisi lainnya akan membacakan puisi karya penyair, yang antologi puisinya diluncu

Berlatih Jurus- jurus Guo Xiang oleh Nermi Silaban

11 Maret 2017 Nermi Silaban   Berlatih Jurus-jurus Guo Xiang (1) Duduk di beranda belum tulis sepatah kata lihat seekor arwana perak lompat rendah di datar kolam percik air dipernis matahari spektrum ungu merah dalam pikiran jernih adalah rumpun lavender dan guguran mawar. (2) Angan sepintas jadi angin pusar melinting daunan mati di luar pagar semacam orbit bagi rindumu atau cuma jaring laba-laba nyata di situ sehelai kenangan telah tertambat. (3) Semua beban kini tinggal urat daun retak-retak tanah jejak gempa di dinding hati ini pun ubah iklim pada awan-bunglon lidah petir menjulur anjing menyalak di jauh regu merpati bubar bulu-bulu rontok itu luruh rintik hujan. (4) Sedih sudah balik hari seduh teh madu secangkir minum pas panas-kuku-matahari bau lembap di pekarangan hanya umpama bagimu tentang penantianmu ganti perspektif puisi seperti menanam krisan di taman kecil. (5) Di lintang kabel telepon berjongkok burung gereja berkic

Di Kuil oleh Inggit Putria Marga

4 Maret 2017 Inggit Putria Marga Di Kuil Dalam kepala seorang pendoa Seekor anjing tak henti menyalak Meski lantunan sutra, dengung mangkok labu Juga suara abu hio menyentuh lantai Telah dua jam mengepungnya Bayangan Langit Mendengar bibir seorang manusia Menjelaskan padanya tentang seluk-beluk surga Bayangan langit di kubangan Pelan-pelan mengelam Pagi di Kebun Kubis Tanpa sekali pun menoleh ke ibu mereka Yang membusuk di antara tumpukan kol tua Dua anak kucing berkejaran Menerobos daun-daun berembun Di kebun kubis berselimut halimun Mengantar Ibu Dari balik batang randu Ia saksikan orang-orang memasukkan peti Berisi ibu ke dalam liang. Seekor burung gereja bertengger di salah satu ranting pohon itu mendongak ke gumpalan awan yang berubah warna Setangkai Teratai Patung Avalokitesvara tegak di puncak bukit Di tangan kirinya, setangkai teratai tak pernah kuncup-layu selalu rekah dihantam hujan atau diserang debu namun beku Inggit Putria Marga