Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Duyung oleh Tjahjono Widijanto

30 Desember 2017 TJAHJONO WIDIJANTO Duyung Tuhan, aku ingin berenang, bisikmu. Seketika air matamu luruh bersama hujan yang turun semalam di bukit-bukit karang yang gelisah. Selat basah di matamu menjelma hutan bakau yang perlahan merapuh dimangsa taring laut. Tapi di kedalaman biji matamu yang telaga, dan subur dadamu yang lapang, nelayan- nelayan makin tabah memanen benih ikan-ikan di antara surut dan pasang badai lautan. Di alis matamu, bisa dibaca bentang perjalanan. Denting sunyi para pelaut dan teriakan parau nakhoda menyeru-nyeru rindu daratan. Secuil tanah yang diimpikan saban malam di tengah deru taufan dan jerit gelombang. Kini angin laut menghadirkan cuaca- cuaca dan cakrawala untukmu. Percakapan-percakapan para nelayan memujamu, menggantungkan riwayatmu pada menara- menara salib gereja, kleneng gentanya menjulur ke jalan-jalan pelabuhan yang bisu ditinggal kapal melepas jangkar. Dan saat purnama, bulan menjadi jembatan masa silam, cahayanya menjelma kilatan-

Di Teater Dionysos, Athena oleh Seno Joko Suyono

23 Desember 2017 SENO JOKO SUYONO Di Teater Dionysos, Athena               : Pius Sigit dan Melati Suryodarmo Oedipus mati meninggalkan wasiat. Aku tahu ini bukan kuburannya. Tak ada nisan dan kalimat RIP di sini Namun sore itu aku memaksa diri menjenguk tilas jenazahnya ”Sudah tutup. Besok saja,” kata seorang penjaga. ”Aku hanya ingin melihat tebing Parthenon,” desakku. ”Aku hanya ingin memercikkan abu doa.” Ketika ia mengizinkan, yang pertama kucari Adalah kalimat terakhir koor pendita Tiresias yang tak jadi diucapkan Ia dirahasiakan menjelang festival, dan suaranya disemen di celah-celah Tempat duduk melingkar, entah barisan mana Aku maju ke titik tengah Kutatap kursi-kursi batu yang separuh remuk dan kering Kucari, kira-kira di mana telinga penonton paling jelas mendengar Tatkala pemeran Ismene di teater itu dulu berteriak: Ayah, matamu buta. Untuk apa kemari. Tinggallah di hutan! Ular Kecil            : St Teresa dari Avila Mendaraslah, sayang. Akar deda

Kertas oleh Mardi Luhung

MARDI LUHUNG Kertas Anak itu menunggu. Menunggu menjadi remaja. Dan remaja itu pun menunggu. Menunggu anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, dia (anak yang pernah remaja itu) menikah dan punya anak. Setelah punya anak, tiba-tiba ketuaan nongol di pintu. Ketuaan yang sederhana. Ketuaan yang menenteng koper. Dan menukas: “Hai, telah lama aku menunggumu untuk berangkat” Berangkat ke mana? Tujuan tak terduga. Hanya peluit sepur yang memekik di kejauhan. Sepur yang dulu selalu dipandangnya dengan gemas. Dan yang dibayangkannya sebagai naga besi yang tak pernah lelah. Setelah perbekalan disiapkan, berangkatlah dia dengan ketuaan. Dan siapa pun yang pernah disebutnya sebagai ingatan, berdikit-dikit menjadi mendung. Terus turun dalam rupa gerimis. Gerimis menjadi hujan. Dan hujan pun melunturkan apa-apa yang telah ditulisnya di kertas. Sebelum menghilang ditelan belokan, dia dengan ketuaan sempat melantunkan bait begini: “Kami tak tahu, apakah nanti akan sampai di

Paduka Berhala oleh Ramoun Apta

9 Desember 2017 Ramoun Apta Paduka Berhala Kubiarkan nyamuk-nyamuk kegelapan Menambang darahku di luar asap damar. Kubiarkan sulur-sulur senja Mengupak hasratku di atas api kesunyian. Kubiarkan rebus batu kuap Rendang sapiku dan kacang panjang. Kubiarkan gulai tunjang dan sambal teri Gado-gado air suling dan putih nasiku. Segala kecap di ujung ratap, Segala serat di tulang singkap, Kubiarkan lambung panas mengurai spageti Sebagai vampir di bawah jam tidur matahari. Muarabungo, 2017 Kemoceng Tak ada debu matahari di lantai ini. Tak ada badai kuaci di meja ini. Selimut debu Hablur di angin lalu. Dengkur melembing Di ujung baring. Seujar angin lalu Bersilat di lubang pintu. Di ekor kucing persia kini cuma ada klakson jangkrik Bergetar seperti remuk api di kepala busi. Muarabungo, 2017 Kerupuk Santap aku dengan kuah pical dan saus tomatmu Tegaskan gigit sebelum pecah darah dalam derukmu. Lempar aku ke relung perut hitam kucing jantanmu Tet

Kuburan Imperium oleh Binhad Nurrohmat

2 Desember 2017 Kuburan Imperium Binhad Nurrohmat 1/ Raja agung dijunjung dan jatuh kemudian. Berduyun pergi bangsawan tanpa pulang. Trah imperium dikulum takdir kekalahan. Lalu senyap dalam babad dan reruntuhan. Kafilah berbalut jazirah menebarkan ajaran. Berjingkat firman ke tahta dan pedusunan. Tlatah pecah dan huruf kakawin tertawan. Keyakinan leluhur mengungsi ke seberang. Prasasti tak cuma lempeng batu kali di ladang. Titah dan darah kepada angin mengirim pesan. Burung tak membaca kitab dan cuma terbang. Tapi kicauan mengusik lelap batang ketapang. Jerami yang mudah terbakar adalah kekuasaan. Kelewang dan pertikaian membabat kesunyian. Di kedalaman kali tenggelam sisa akhir perang. Ikan-ikan berenang dan langit fana mengawang. 2/ Berjaga toko roti di gerbang desa kemudian. Telah hengkang tahi kuda dan kereta perang. Tiang listrik menikam perut perkampungan. Deru mesin membuyarkan senyap pertapaan. Lama sudah tinta Prapanca resap di perabuan. R

Semesta Karatsu oleh Ahmad Yulden Erwin

25 November 2017 Ahmad Yulden Erwin Pintu Ada satu pintu, bila dibuka, diriku akan ikut terbuka. Ada satu pintu, bila ditutup, diriku akan tetap terbuka. Ada satu pintu dalam diriku.  Jalan Lain Musashi 1 Berkerut kening Daruma Menatap sepasang angsa Termenung di sisi telaga 2 Patung dewa pedang Memandang angkasa – Tersenyum pada musuhnya 3 Buddha tertawa Menatap pralaya Dua ayam jantan 4 Burung pingai tertancap pedang – Sebuah lukisan tinta, tertanda Fudo Myo-o (dewa pedang) – 5 Ia letakkan pedangnya Ia raih kertas, kuas, dan tinta – Pelikan menatap angkasa Semesta Karatsu 1/ Tak ada kilat atau tanda api Kecuali hangus pasir Atau cemas yang lingsir Saat kutatap prana berayun di dinding Cawan itu, sebelum percik dingin Bermain dalam mataku, menduga-duga Taksa pada rumpun bambu Atau padang yang jauh, tentu, Kau tahu, waktu bisa setipis embun Atau haru yang rimbun, tetapi kita Tak mampu menolaknya, semesta hadir B

Asma Kinarya Japa karya Gunawan Maryanto

Gunawan Maryanto 18 November 2017 Asma Kinarya Japa Nama-namamu Menjadi Doaku 1 Dukamu tidak abadi, kan? Itu hanya terjadi dalam sebaris puisi Atau igauan seorang majenun Namamu barangkali, dalam ingatanku Sungguh aku tak ingin jatuh cinta Udara memburuk Cahaya meredup Ia terlalu mencemaskan 2 Ambil wayang itu, Nak Raksasa hutan yang sedih Atau punakawan yang jenaka Nanti kita mainkan dan Kelir kita bentang Untuk malam kita yang tak panjang Sudah kautemukan mereka dalam kotak? Upacara akan segera dimulai Nama-nama mesti diruwat Ya, namamu juga Agar suatu kali kita bisa bermain lagi 3 Odong-odong kita telah siap Lampu-lampumu menyala Lampu-lampuku menyala Inti malam tengah kita masuki Entah siapa duluan sampai 4 Seminggu kaukenakan baju-bajuku Untuk duduk di samping gudang Maaf aku tak bisa menemanimu Akhirnya kematian yang datang Ringan membawamu pergi Tak kubaca isyarat rindumu Orang lain yang menemukannya 5 Tiga puluh tahun membatu R

Patah Bingkai, Sabai oleh Esha Tegar Putra

11 November 2017 Esha Tegar Putra Patah Bingkai, Sabai Sudah kubenam betung itu dalam-dalam, Sabai di lubuk larangan di tempat seribu telur ikan puyu menetas dalam semalam kuperam betung saat bulan disungkut awan dan betung kubangkit dua puluh tujuh malam berikutnya. Tapi mengapa layanganku tetap patah bingkai? Tidak kutakut mata pisau mengena paha marekan ganih kubalut pada telapak tangan. Kubelah betung. Kuraut. Pelan. Serupa menggusuk kuduk kuda tiga mantera kubaca tiga mambang kupanggil serta angin mulai berpusar tiga mata pula. Patah bingkai, Sabai. Layanganku tetap patah bingkai. Ia terbang tenang di angin sedikit kibaran ekornya seakan terus berseru “Benang jangan dipuntal!” Mahali, 2017 Tak Sampai-sampai Kupiuh dendang terbaik itu, Sabai di atas kereta terakhir sebelum corong-corong toa stasiun mengurangi gemanya pulang dihimbaukan berulang-ulang lampu-lampu pudur teratur dan jam malam membikin ingatan jadi pandir. Terus aku masuk

lapislazuli bengali karya Ramon Damora

4 November 2017 Ramon Damora lapislazuli bengali biru sehelai ibunya mengapung di buthidaung sirah merona selembar adik bayi teramat cantik terkulai ngambang sepanjang benang darah ditenun kembali sungai naf dan rahang-rahang rakit pun menjahit gelora rakhine utara namun satu per satu pengungsi aus, putus, seperti butir-butir kancing jatuh dari seragam serdadu gergasi di barak tangsi semua muara mengulur seutas demi seutas bangkai gugur di pepohon lagoon, membuah buih yang putih, memberi arti pada setangkai mati maut menyumbang sedu sedan dengan menimbun kematian di ranjang pelaminan sungai yang senantiasa lengang landai sisa-sisa perahu pelarian kadang jadi betapa ringan terbang serendah bayang bayang, seindah layang layang, menggores batas batas langit bangladesh di lazuardi sebongkah tubuh bocahnya tergantung anggun berayun-ayun gerun bagai seuntai kecubung kelabu lapislazuli bengali telanjang, yang tembuspandang: dia tak hendak turun, bel

Mimikri oleh Warih Wisatsana

21 Oktober 2017 WARIH WISATSANA Mimikri Sehijau apa pun aku sembunyi masih terlacak jejak dari semak hingga pucuk sekalian daun samaran diri Sebab segenap kata sudah terbaca dari semula siasia kiasan bila tak melampaui diri yang percuma maka aku tak mengenakan topeng batang pisang berpura bisu sepenuh waktu meniru hening batu atau ke dalam cermin mengelabui diri, mematut-matut hati menduga bahwa setiap wajah pastilah berlapis wajah lain mungkin aku pangeran buronan atau hanya penjahat kambuhan berpura ringan batin, menjerat siapa saja dengan janji peruntungan sebelum lumat akhirnya terlilit jaring laba-labaku yang kesepian Sebab sayap tak harus kepak atau sekedar ungkapan terbang demikian pun kupu-kupu bukan melulu ulat dalam kepompong bebas lepaskan ingatan dari rundungan kenangan seharian barulah mungkin hujan semalaman sungguh terasa kuyupkan badan kini aku menari melayang serupa serangga tak bersarang sepenuh riang membujuk bunga lelehkan wangi

Begu-begu dalam Kepalaku oleh MAY MOON NASUTION

14 Oktober 2017 MAY MOON NASUTION Begu-begu dalam Kepalaku 1. begu ganjang, ia lebih panjang, dari leher jenjang yang kau cumbu, # lebih gelap dari bayang-bayang, yang kerap mengintai gelagatmu. 2. begu sombaon, persembahan agung, bukan hantu hutan yang selama berabad, # melindungi pohon-pohon, jurang dan jorong, dari rencana-rencana para pemburu. 3. begu nauli, roh-roh yang mengerubungi laut, kerajaan kecil di samudra biru, pelabuhan- # pelabuhan tua di teluk-teluk, yang menaklukkan, para nelayan yang kehilangan akal waktu berlabuh. 4. begu batang air, suara-suara dari seberang, memanggil-manggil namamu di kejauhan, # dengan rayuan-rayuan sunyi ricik air hari petang, yang bikin bulu kudukmu merinding oleh lambaian. 5. begu bunian, menyesatkanmu di rimbun hutan, mengelabui pada senja-senja yang melenakan, # tanda-tandailah tiap akar dan pucuk pohon, senantiasa mengiring, membelai kudukmu yang licin. Pematangsiantar, 2017 Empat Bait Cinta di D

Het Rijksmuseum Amsterdam oleh Kurnia Effendi

7 Oktober 2017 Kurnia Effendi Het Rijksmuseum Amsterdam Sejumlah abad berdiang di sini Dihangatkan kembali Menyala berulang kali, dalam gemeretak arang memori Dalam miniatur dan replika: Kapal-kapal tua membawa berbagai bangsa, muasal roda, bunyi musik purba, perang dan huru-hara, para pembawa risalah, dan rute panjang perjalanan rempah-rempah Tegak dalam susunan, pedang-pedang yang lebih panjang ketimbang jangkung hulubalang : kepala siapa pernah dipenggal? Setelah dikawal dari sel dan istal Porselen lantai dengan tera nila Adalah moyang seluruh keramik yang dipajang Wadah lilin dan cangkir-cangkir bangsawan membisu. Tak tergusur umur Apa yang mereka – benda-benda itu – ingin saksikan dari tubuh dan zaman kita? Amsterdam, 2017 Museum Volkenkunde Kutemukan Durga dan Ganesha, jauh dari reruntuhan Singhasari Bebatu itu masih menyimpan tilas juru pahat Dan kepingan ingatan Mungkin Mahisa Agni dan Empu Bojong Santi pernah ada. Dalam gulita. Ter

Suatu Lawatan oleh Frischa Aswarini

30 September 2017 Frischa Aswarini Suatu Lawatan arca batu terbaca dalam sajakmu mengirim petunjuk lewat pudar tubuhnya dijamah pasang mata peziarah di bawah sorot lampu dari lengan patung itu kau raba zaman yang silam tapi kadang kesepian dan lapuk usia terasa ”apakah dari retak pahatan ini tampak jelas hari depan kami?” ujar pengunjung museum dan pembaca sajakmu yang sambil bertanya juga menatah sendiri arcanya dari celah itu terbias nama-nama, terbayang rupa ingatan, kutuk cinta dan pertikaian yang pernah terasa sebatas kiasan kau tulis dalam sajakmu: arca batu museum biru telah lama ditinggalkan para dewa selepas lenyap dari tanah keramat kini hendak kulawati patung itu yang berdiam di antara baitmu diam-diam aku mendoakannya meniru peziarah lainnya berharap masih terpendam restu moyang di kilau samar tiap pahatan di mana mungkin tersembunyi cerita yang sejati tentang takdir si pembangkang, riwayat para khianat, tambo yang kita per