Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
8 Juli 2017
Hanna FransiscaLebaran Kita
Lebaran ini, Jakarta akan kosong, Fitri.
Jalanan sunyi, lorong dan toko
tanpa penghuni.
Pulanglah ke kampung, membawa sarung
baju koko, sajadah, dan oleh-oleh.
Lihat, hari raya hampir tiba. Setiap rumah di sini
akan lengang,
dan semua majikan
mengungsi ke penginapan.
Sebab tanpa adanya dirimu, apalah artinya kami, Fitri.
Maaf lahir batin. Biar kupeluk sejenak,
dan kucium aroma
keringatmu.
Telapak tangan ini mengeras, lantaran engkau telah begitu keras.
Di rumah ini, jejakmu ada di mana-mana. Di lantai, kamar mandi, dapur,
dan semua pakaian kami. Usapan tanganmu ada di setiap benda,
dan tetes keringatmu,
jadi tanda pada seluruh waktu.
Minal aidin wal faizin, Fitri.
Takbir akan berkumandang di seluruh masjid, memanggil ingatan
pada suaramu, pada langkah kecilmu.
Jika aku pulang larut, kakimulah yang bergegas menyambut.
Jika aku pergi, tanganmulah yang menutup pagar pintu.
Menjaga anak-anak
dari marabahaya.
Maka biarkan aku memelukmu, Fitri,
sebelum engkau pergi.
Rumah ini akan sendiri,
memanggilmu sudi kembali.
Lebaran ini, Jakarta akan kosong, Fitri.
Jalanan yang biasa engkau lewati akan sunyi,
lorong dan toko tanpa penghuni.
Selamat Lebaran, Fitri.
Pulanglah, tapi kembalilah nanti,
ke rumah kami.
Jakarta, 2017
Jakarta 212
Cicak-cicak di dinding
Datang seekor nyamuk
…
Ada dua,
ada dua,
satu pasang
cicak bercinta
di bawah sketsa Li Mong Na
tentang Jakarta.
Ekornya saling membelit,
menusukkan kelamin,
berdecakan pada dinding
bunyi cinta dua buntut melata
seperti menghina
mendepak
berdetak
berderacak.
Aku mendengar
deru helikopter, di luar,
mungkin di atas langit
menyebar poster
melarang warga
turun ke jalan.
Aku melihat sketsa Ming Yi, tentang Jakarta.
Sedih dan rindu. Dua cicak,
dan angin
memukul pintu.
Apakah mereka mendengar deru
helikopter, dan ribuan poster
di luar sana?
Aku hanya melihat, kepala dua hewan melata itu,
menoleh,
menatap,
dan berkata:
…
Jakarta, 2 Desember 2016
Anjing Punya Saya
Kau dan aku
sepasang anjing gila
menyalak
di kaki
meja makan.
Kita tidak berebut tulang iga,
tidak berebut daging.
Kita hanya senang
saling
mencakar.
Jakarta, 2017
Cinta
pura-pura jadi daun
yang tidak bergerak
ketika
angin
datang.
pura-pura jadi dingin,
tidak bergerak,
dan berkata
tidak.
Jakarta, 2017
Hanna Fransisca lahir di Singkawang, Kalimantan Barat. Konde Penyair Han (2010) dan Benih Kayu Dewa Dapur (2012) adalah dua buku kumpulan puisinya.
Iyut Fitra
XIX
siapa mampu membayar usia yang susut
orang-orang berlari menjinjing waktu
menghempaskan kepala ke tiup angin yang aneh
cuaca sibuk gemetaran
berkali-kali kereta lalu membawa deretan usia
menuju stasiun tak sepi-sepi jua
di gerbong itu, tak ada lagi yang menghitung almanak
selain memungut kenangan
atau mungkin penyesalan
”aku tertinggal
siapakah itu yang melarikan sepuluh dua puluh tahunku
bilang-bilangku lewat
kata sesungguhnya tak juga kunjung bertemu
benarkah ini kota yang kucari?”
siapa yang tak segera berlunas dengan utang
di keasingan paling rimba. di gegas yang tiada terburu
orang-orang membayar kesunyian ke dalam diri
menyerahkan milik terakhir
lalu mencintai tuhan tiba-tiba
”bibir-bibir ganjil yang kusentuh di ujung malam
kuberikan kepadanya dendang ibuku
pantun yang setengah
berharap petuah sampai di pelabuhan!”
tapi siapa akan memulangkan setiap yang hilang
angin beraroma aneh
bibir-bibir ganjil
hanya sebelah usia telah mencair dalam mencari
XX
setelah menelikung jantung, pusar-pusar
kini ia telah di tepi
beratus-ratus angkutan lewat. beribu lekuk cinta kikis oleh karat
jauh ia lihat kanak-kanak bermata kosong
di pinggir-pinggir kali asa dikail. kumuh dengan apa dibasuh
sementara gempita berlemparan. di atap-atap tak terjangkau tangan
”malin, wajahmu lelah. pulanglah sebelum resah
di lantai rumah bercak darahmu cecer. di balok-balok bubungan
kembalilah pada yang terpaku di tonggak-tonggak!”
ditusukkan kepadanya tangkai sapu
ia bayangkan ketuaan ibu
lama ia bimbangkan rasa yang rusuh
di jembatan-jembatang layang. halte yang murung
atau barisan nama jalan yang kian asing
kanak-kanak itu berlarian
tapi mereka tak menuju pematang. tak pula tepian
dan langit pucat serupa gulungan waktu tanpa tabir
”malin, tak akan sempurna kaujerat kata-kata
usia sudah ke ujung. di bawah rumah pusaka keluarga dikubur
segeralah bernyanyi tentang ranah!”
ia lihat dirinya tercampak
menggapai-gapai masa lalu
XXVIII
empat puluh hari sudah. kampung dan kaum melupa airmata
daun puding kuning-kuning. di halaman kekanak kembali bermain
lalu ke mana ayah akan dicari. seorang tamu yang singgah
pendatang bertenun abu di tunggul. orang semenda ninik mamak
tapi sebagaimana awal diantarkan. tiba pula waktu upacara menjemput
kemenakan berarak-arak. adat diulang
yang pernah datang akan pergi. lelaki tak beristri tentu dibawa kembali
rumah tinggal tiang. lengang mengilu sepanjang pandang
dan sepi merayap menjadi dinding
dan perih menjalar melukai tebing-tebing
kubur ibu. ia lihat ayah berjalan memunggungi kenangan
memanggul tahun sepanjang rasa cinta. apakah yang putus
adakah kasih dilerai ajal. atau tali darah hambar karena sejarah
bilik ujung tak mungkin lagi ditempati. ruang tengah telah pula berisi
lalu ke mana ayahnya pergi. seorang mamak yang pulang
tak mungkin tinggal di rumah gadang
o, langau di ekor kerbau!
o, surau! o, rantau!
tunjukkanlah. di mana mukim terakhir bagi lelaki-lelaki pendatang
XXIX
anak dipangku kemenakan dibimbing
telah jauh hari. sejak mandeh mati dan ayah berjalan
di manakah mamak. tempat berpegang manakala gamang
jenjang seolah dikeping. peribahasa menjelma kampir tua
”akulah malin. lelaki yang kusut dalam bertanya
mengapa perempuan-perempuan diberi sunting. dan lelaki berpindah
dari pergi ke pergi?”
mamak beranjung di menara. melihat-lihat jauh dengan sudut mata
anak dipangku kemenakan dibimbing
hitam putih adalah seperintahnya. tak dipangku atau dibimbing
juga kehendaknya. gonjong yang sombong
meruncing menusuk langit. awan-awan tersia
”akulah malin. lelaki yang terbengkalai
gelar dan tuah dianjung-anjung. kata putus kadang tiada berujung!”
di manakah mamak. ketika jalan ke rumah gadang telah bersemak
anak dipangku kemenakan masihkah dibimbing?
Iyut Fitra lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku-buku puisinya antara lain Beri Aku Malam (2012) dan Baromban (2016). Ia aktif di Komunitas Seni INTRO Payakumbuh.
Komentar
Posting Komentar