Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Suatu Lawatan oleh Frischa Aswarini

30 September 2017 Frischa Aswarini Suatu Lawatan arca batu terbaca dalam sajakmu mengirim petunjuk lewat pudar tubuhnya dijamah pasang mata peziarah di bawah sorot lampu dari lengan patung itu kau raba zaman yang silam tapi kadang kesepian dan lapuk usia terasa ”apakah dari retak pahatan ini tampak jelas hari depan kami?” ujar pengunjung museum dan pembaca sajakmu yang sambil bertanya juga menatah sendiri arcanya dari celah itu terbias nama-nama, terbayang rupa ingatan, kutuk cinta dan pertikaian yang pernah terasa sebatas kiasan kau tulis dalam sajakmu: arca batu museum biru telah lama ditinggalkan para dewa selepas lenyap dari tanah keramat kini hendak kulawati patung itu yang berdiam di antara baitmu diam-diam aku mendoakannya meniru peziarah lainnya berharap masih terpendam restu moyang di kilau samar tiap pahatan di mana mungkin tersembunyi cerita yang sejati tentang takdir si pembangkang, riwayat para khianat, tambo yang kita per

Perjalanan Embun oleh Mochtar Pabottingi

MOCHTAR PABOTTINGI 23 September 2017 Perjalanan Embun Tak pernah aku luput Dari gigil. Juga sebelum menjelma Tetes. Di tengah bayu Yang bersijingkat ke utara Dini hari Selalu saja adaku ibarat liang Di tengah terowongan semesta. Tiada henti Melayang. Dan terempas Dalam hening dan sipongang Adakah yang lebih rentan Daripada sebutir air yang terguling Oleh rindu dan sayup iris seruling Kala ia tersangkut dan berayun Di ujung daun. Gemetar. Di bawah sihir Harum serumpun kemuning 2016 Pasti Pasti. Sesuatu telah terjadi pada bulan Kala sebagai leontin kencana ia gemetar Ketika kalung kulepas perlahan dari pualam Jenjang lehermu 2016 Deru Losari di Pantai Estoril, 2006 Mata hitam tombak sejarah menatapku dengan dingin kutub. Di Pantai Estoril, Lisbon, pada suatu musim yang datang berjubah Hari itu, dari tepian negeri purba ini, angin berhenti. Awan menunggu. Dan permukaan Samudra Atlantik menjelma perunggu ………. Nama para pelaut ulung itu seperti

Tirom karya Mustafa Ismail

Kompas, 16 September 2017  Mustafa Ismail Tirom di kampung kami, selalu ada senja yang lumer di atas air payau perempuan-perempuan menadah matahari untuk terbit esok pagi sebelum mereka berhasil meringkus mulut kuala dan kolam ikan untuk ditimang-timang di atas pualam. sebelum mimpi benar-benar tamat, mereka telah tiba di tubir tebat kau akan tahu betapa perihnya sayatan ketika disiram asin laut cahaya selalu berpendar di atas ombak, bukan di jemariku yang lentik dengan seribu kunang-kunang yang riang kota-kota yang selalu menyusup dalam tidurmu, dengan lampu-lampu tak pernah berhenti kedap-kedip, hanya ada di ujung jempol kakimu yang tergores rumah karang lalu diasinkan gelombang tidak di kilatan lampu bus-bus yang terburu-buru ke timur membawa anak-anakmu berlayar juga tidak di kereta yang terengah-engah mendaki Seulawah menuju ke Darussalam rumah-rumah yang digambar anak-anak di dinding kamar selalu menjelma kupu-kupu setiap kali mereka bercinta dengan sen

Kampung Oloran F Aziz Manna

Kompas, 16 September 2017 F Aziz Manna Kampung Oloran 1 sebuah perahu terdampar di dasar halaman rumahku dan aku berjalan di atasnya memandangi bunga-bunga dan kolam tanpa karang dan gelombang kau tepuk pundakku, kutoleh dan kau peluk aku dan kudengar kersik kelaras di antara kulit kita dan bisikmu angin menegangkan layar dan tali-talinya ke udara kau telah siap? sebelum jawab semua telah berderap (2017) Kampung Oloran 2 menata ulang taman kurapikan beberapa tanaman tak kupilih gunting untuk ranting kering tak kupilih sabit untuk akar yang berbelit hanya kuangkat yang jatuh hanya kukumpulkan yang berserakan kepermaian (pikirku) adalah kerusakan yang tak bisa dipungkaskan meski pagi jadi malam (2017) Kampung Oloran 3 samar terdengar senandung ini orang menyanyi atau mengaji? mungkin mesin mendengung bisik angin hanya pantulan dan tangkapan hanya bayang-bayang mainan gelap dan terang (2017) Kampung Oloran 4 bapak dan emakku

Memilih Pohon Sebelum Pinangan karya Made Adnyana Ole

9 September 2017 Made Adnyana Ole Memilih Pohon Sebelum Pinangan Cintaku kepadamu menjulang makin tinggi Tapi tidak akan kutebang pohon yang tumbuh di tempat kau biasa menyembah Hyang Tidak juga kutebang pohon yang hidup pada tanah, tempat di mana badanmu yang kasar kelak akan dikuburkan Untuk membuat rumah kita cukup memotong ranting matang mencabut alang-alang menyapih pandan duri dan mengiris daun kelapa udang Rumah kayu dari pohon besar di tempat suci Membuatmu tidak suci Rumah kayu dari pohon besar di kuburan Membuatmu kehilangan rasa hina Segera kupinang kau di rumah tempat kau lahir Di perjalanan kulewati batas desa yang rimbun Tapi jangan kautebang ragam pohon di perbatasan Biarkan ia subur agar tak sesat aku Dalam lengang pintu gerbang Kayu dari pohon yang tumbuh di perbatasan tidak berguna untuk membangun rumah karena akan membuat kita jadi kesepian Untuk membangun rumah Kita cukup menyambung ranting matang memintal alang-alang menganyam

Krisna dan Annisa Membaca Zaman

SASTRA 3 September 2017 Kompas/Thomas Pudjo Widyanto Krisna Encik menyanyikan lirik puisi karya Annisa “Agar Dapat Kubaca Zaman”. Produk seni memang subyektif ketika sampai pada penikmatnya. Krisna Encik, musikus yang kuat mencipta lirik dan musik balada, menerjemahkan lirik puisi “Agar Dapat Kubaca Zaman” karya Annisa Hertami dengan begitu mengena. Inilah yang menyebabkan peluncuran buku puisi pada Jumat (25/8), di Pendapa Art Space, Yogyakarta, menjadi perpaduan nyata antara lirik (puisi) dan lagu dalam sebuah harmoni yang indah. Ada senyawa, lagu adalah lirik dan lirik adalah lagu itu sendiri. Lagu bukan sekadar nada, melainkan puisi itu sendiri. Sudah pasti ada perenungan dalam mengangkat lirik puisi menjadi lagu. Untuk mengangkat puisi berjudul “Agar Dapat Kubaca Zaman”, Krisna mencoba memahami isi dan karakter pribadi Annisa. “Dari situ baru memikirkan tafsir, nada yang pas sesuai tafsir saya, yang harus pelan, mengalun, dan agak vintage . Membaca zaman dalam pu

How Old Is Your Soul? karya Milto Seran

Kompas,  2 September 2017   Milto Seran How Old Is Your Soul? Kuingin jadi gereja, rumahMu yang ditinggal pergi banyak orang Namun terus didatangi seniman-seniman asing Kuingin jadi baitMu yang sepi di tepi musim-musim di negeri yang dihuni kaum yang ragu Kuingin jadi pelataranMu yang dilupakan penduduk kota Tapi dirindu kawanan gagak nan gagah Yang sering bertanya, “How old is your soul, dear friend?” Dan kata selalu miskin di hadapan kekaguman yang mendalam Termasuk di hadapan tanya yang sederhana tentang jiwa dan alam Dan di rumahMu, rindu sudah purna, keinginan telah sirna Sebab Cinta yang dalam akan rumahMu menghanguskan rinduku Pada langit dan musim-musim yang berlalu di mata ayah-bundaku Tambov, Desember 2015 Waktu yang Begitu Dalam Siapa pernah bertanya, dari mana “jalan-jalan” Datang? Di mana mereka menyimpan kenangan? Siapakah yang paham, adakah butir-butir embun yang hadirnya cuma sebentar memiliki masa lalu? Mungkin jalan-jalan sepi per

Mencuri Batang Pisang karya Felix K Nesi

2 September 2017 FELIX K NESI Mencuri Batang Pisang Kulihat kau si hidung panjang di dekat pagar lupa tanaman Mengerat pintu seperti bajing selangkah dua tak jumpa bayangan Akukah yang kau takutkan atau hanya bayangan bulan? Pisang setandan busuk namanya pucuk muda kesayangan sapi Burung-burung sepi sendiri adakah aku meninggalkan engkau? Di Oetimu lembah keramat tiada siapa mati mendadak Bulan bundar, dingin wajahnya, dingin kelopak bunga lupa memerah Batu-batu keluarlah sekarang, jika kau moyang di mana marahmu? Hitam dinding malam dan kulit akar beringin merupa luka Si Neon Balbali. “Batu-batu keluarlah sekarang, jika kau mati di mana sarungmu?” Bitauni, 2017 Di Kantor Lurah Om Agus sudah kebal kena caci Tanta Lita tak lekas padam lampunya Bapak Ose bercelana keki Unu Tinus tiada berdasi siapa ingin memberi saksi? “Sapiku tak merusak pagarmu anakku tak mencuri pisangmu.” Tujuh jam panas menyengat tujuh jam biarlah bersesak Dind