Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Sebatang Tomat Kampung oleh

Alizar Tanjung Sebatang Tomat Kampung katamu aku sebatang tomat tumbuh tanpa dipupuk, berbuah kecil-kecil, hanya 500 rupiah per kilogram di pasar bukitsileh. katamu dagingku manis, tak perlu dicuci, bisa disantap, sekali gigit langsung sebatang tubuh, kamu bilang nominal hanya soal angka-angka, aku katamu suara dari dalam. kemudian kamu mengeringkan aku, di atas abu berminggu-minggu, katamu suara dari dalam mesti murni, kita hanya butuh diri sendiri, sumbat rapat-rapat telinga. biji-bijiku kamu semai. aku hanya sedang menanam diri sendiri, tepatnya memelihara yang pantas dipelihara, katamu. kau tak lagi pernah membicarakan pasar. 2018 Benang-benang Pandai Sikek tanganmu berjemari lentik, perpaduan lado pandai sikek, kol, tomat, wortel, seledri, bawang merah, kacang buncis, daun sugi-sugi, daun salam, bunga raya merah di tepian mandi. aku benang halus yang terperangkap di lima jari kananmu, di lima jari kirimu, sambung-menyambung benang di jemarimu, sambung-menya

Rancangan oleh Mardi Luhung

17 November 2018 Mardi Luhung Rancangan : belajar dari Bahauddin Naqshband Jika dia meluaskan tubuhnya, tentu punggung bukit terselimuti. Dan jika dia menciutkan bayangannya, tentu lubang semut termasuki. Dia bisa sewarna dengan merah, jingga, atau hijau. Atau bisa juga dengan kebeningan. Tak tertebak ketika menjejak. Tak terlihat ketika melekat. Dia paham bagaimana mesti membuang, memilih, atau menyimpan. Menghitung, membagi, menambah, atau mengurangi. Sebab soal jatuh dan bangun telah dilampaui. Pada setiap sumur dia menimba. Pada setiap batu dan pasir dia merancang. Merancang rumah atau gua. Gua atau hamparan jalan. Jika malam diganti pagi, dan pagi diganti sore, dia mengalir sesuka-sukanya. Naik-turun. Lurus-belok. Tak terpegang. Dia menyapa yang tepekur di tepi telaga. Yang menuding kilau matahari. Terus menceburkan diri dan selurup. Dia juga yang menyimak tembok. Tembok yang katanya bermulut. Dari mulut itu dia tahu, betapa aneh, jika ada kabar yang menyatakan, tentang

Gunung Kupang oleh Hudan Nur

10 November 2018 Hudan Nur Gunung Kupang hanya satu rumah yang tersisa. tak ada tetangga. tak ada yang mengetuk rumahmu di ketinggian ke kaki langit itu. rumah-rumah di gunung kupang tak beralamat. surat-surat kakek di peti tua sudah kehilangan pembaca. tanah merah yang membumbung di gunung kupang sudah menemu ajalnya. dibagi-bagi, diurug untuk ruko-ruko yang perkasa. kotaku hadir setelah bencana mampir melangsir takdir. gunung-gemunung menjadi bayangan. mereka berbondong- bondong menjadi danau. mereka dijadikan wisata yang kering, kotaku seolah-olah menjadi siluman : inilah kami kota sejuta ruko seribu danau Teras Puitika, 2018 Amaco kami memulakan hidup dalam kindai yang setengah- setengah. abad yang lalu gunung apam masih lekat menyebut kami. daratan kariwaya, semak-semak karamunting, burung-burung hutan tak bertuan hinggap di aksaraku membekam jejak ayahku. amaco mula hunian kami belajar berkemas mengejar pagi. tungku awal kami sebelum kota mekar menjadi barisan jamur-ja

Bukan Hanya di Panggung oleh Warih Wisatsana

3 November 2018 Warih Wisatsana Bukan Hanya di Panggung kepada Julia Varley Bukan hanya di panggung ia membisu Terdiam semalaman membaca koran berulang menolehkan wajah perlahan menunggu ketukan di pintu menunggu sesuatu Samar ia mendengar kabar sahabat-sahabat lenyap dijemput gelap nama mereka begitu saja terhapus terhapus desas desus bagai sekilas torehan dingin di dinding angin Bukankah mereka berkali mengingatkan sedini nanti seseorang akan ditembak mati bukan hanya di panggung bukan pula di remang dinding melainkan di taman tepi kapel dalam rimbun pohonan dalam pandang kasih anak tuhan terpilih yang tengadah pasrah Dan tersalib nasib si mati tak sempat berseru kenapa sebutir peluru itu hanya ditakdirkan untukku Lalu seperti lakon tak kunjung selesai dimainkan Seorang ibu kuyup oleh hujan semalaman tiba sepagi ini, mengetuk pintu, digenangi tanya mengapa dirinya tak boleh tahu tak boleh bertanya: Bocah ini dari mana asalnya, hangat darahnya membuat hijau rumput