Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Puisi Kanvas oleh Wendoko

Wendoko Puisi Kanvas setelah hujan reda dan angin mulai sejuk dengarkan denting kecapi itu petang yang lirih, pohon prem di pekarangan berbunga lagi kita memandang bulir embun di ranting-ranting kita memandang rimbun bungur memanjang ke kaki bukit, sewaktu undan terbang lepas ke langit dedaunan hijau muda pakis menggantung di tembok pagar rumah mengabur dalam bayangan senja rimbun seruni mulai menguning tebing gunung menggaung setelah kelepak burung, seharusnya kelihatan bunga mei di tepi parung hari-hari musim semi, pegar memekik capung ungu terbang seolah merapung hinggap di kelopak aster yang ungu seekor kuda merumput burung-burung pipit ikut mengerumun, berebut menjeput batang rumput musim semi semak-semak meninggi angin hilir mudik menyegarkan padang rumput di ladang, bunga gandum meranum jerangau di dalam pot berkilau waktu matahari terbenam di pekarangan, angin menggeliat di air kolam dedalu dan rumputan dalam hitam bayang, cahaya kunang-kuna

Haiku tentang Tahun yang Baru oleh Kurnia Effendi

Kurnia Effendi Haiku tentang Tahun yang Baru 1. Turun perlahan Langit dan kembang api Di awal pagi 2. Waktu dan embun Ingin terlambat bangun Pun matahari 3. Jatuh menebar Sisa seru semalam Di cakrawala 4. Gemuruh mercon Mencuri kesempatan Mekar kemboja 5. Yang mengudara Doa akhir almanak Ditinggal sepi Cibubur, 2018 Tan Swat Hwa Disisakan satu meja dengan vas Ungu: semacam replika masa lalu Tanganku gemetar menjangkau Kenangan yang kaupajang Di lemari kaca: tembus waktu Kauletakkan sebuah cermin di bawah cahaya. Hanya untuk menemukan wajahku dengan mata rindu Senyum yang didermakan di Beranda itu sejenis feng shui “Agar selalu kurasakan hangat pelukanmu.” Di tempat lain aku menanam Biji-biji (tanpa) harapan Setiap hari Sabtu, kau mengganti Taplak baru dengan sulaman namaku Jakarta, 2018 Kopi dan Anggur Kerap aku mengopi – tak cuma memindahkan Lukisanmu dengan mesin pemindai – tetapi Juga menyeduh bubuk arabika pada pagi

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi

Kawih Angin Kawali karya Toni Lesmana

Toni Lesmana Kawih Angin Kawali : Godi Suwarna 1 Kawih angin, kawih angin Kawali Tak letih menenun halimun ngungun Rumpun mendung ratusan tahun limbung Kandungan tunggul berselimut lumut Kawih angin yang barangkali sudah Compang-camping. Ingin singgah Ingin istirah. Di tubuh yang melulu Menghitung belatung luka Samar paras hutan renta berkaca pada Jejak air di batu. Seperti mencari Jirim yang terus bernyanyi Melilitkan tangis Pohon-pohon menggugurkan daun Menabuh batu menabuh tanah Menabuh akar menabuh urat Patilasan. Bunyi berlumuran Memburu wujud Waktu memercik perih Tubuh tugur ke kubur Tabur abu Kawih angin Kawali Mendekap, menikam Menggali ulu hati seorang putri Mencari runcing bisik Gusti Berhembus lagu menembus tubuh Yang kian mabuk rahasia kematian Yang kuncup di pucuk tiga batu Bergelantungan di ramat airmata Kesadaran tinggal bunga api Melesat hendak membakar langit Pulang melayang menjelma hujan kunang Hujan lambang menerangi leba