Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
23 Maret 2019 INDRIAN KOTO Panah Mainan Ia mendapat hadiah dari bapaknya dua panah lengkap dengan busurnya. Satu untuknya, satu untuk kawan dekatnya. “Panah terbaik untuk bocah semanis kalian. Tangkaplah rubah dan tikus tanah, macan dan ular sawah. Mulailah berkelana.” Mereka membayangkan seorang guru di bukit seberang kampung telah mewariskan seluruh ilmu. Telah saatnya mereka turun gunung. “Bagaimana dengan kuda?” Bocah perempuan merengek pada bapaknya. Kawannya menunggu hadiah yang sama. “Kuasailah dulu panah dan busur, hadiah lain akan menyusul pendekar yang sungguh hati.” Berhari-hari mereka menguasai kebun belakang mengasah ketajaman panah pada biji pepaya, pokok dan tandan pisang. Kawan-kawan lain membincangkan setengah iri, setengah dengki. “Bukan panah dari karet gelang, tapi dari rautan buluh, ujung diberi seng. Sekali kena, tamatlah kita, Kisanak.” Dalam perang besar yang mereka ciptakan sendiri, si lelaki tertembak kawan sendiri. Permainan usai. Luka dan pe...