Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Basilika St Paulus karya Mario F Lawi

31 Maret 2017 Mario F Lawi Basilika St Paulus Kumasuki basilika yang lengang setelah merekam Gerak burung-burung di dahan-dahan cemara Dan mengerti akan kurindukan aroma musim Gugur yang tak mungkin kukenal, gerak daun-daun Dan derak reranting terinjak kaki para pedestrian. Di samping tukang taman yang sedang menjaga Hijau rerumputan dari cakar-cakar musim panas Seorang rasul pemegang pedang dan kitab Membiarkan berkat purbanya menyentuh kepalaku. Kususuri gambar para paus, menemukan nama Ayah berada di antara gambar para koruptor, Para pengkhianat, para pengajar dan para santo Yang berjejer membatasi tiang-tiang dari Jendela-jendela, lukisan-lukisan dan langit-langit. Fana ingin jadi kekal dalam tiang-tiang Menjulang ini, tiang-tiang penopang Langit-langit berwarna emas. Kubayangkan emas langit-langit ini Menjadi perhiasan di langit Damaskus, Setelah Sang Penenun Tarsus yang buta Karena cahaya kembali melihat dan surga Merentangkan sepasang sayapnya menjempu

101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman karya Dedy Tri Riyadi

24 Maret 2018 Dedy Tri Riyadi 101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman “Perlu seratus cahaya untuk kesadaran agung.” – Chakrasamvara Paman sudah mati, dan aku tak ingin mengenangnya. Tak ingin terjebak dalam gelap kenangan itu. Penjara pengap penuh coret dan hitungan akan waktu. Karenanya aku nyalakan 101 lampu lemak yak. Tidak. Aku tidak pernah takut Paman datang dengan muka cemberut dalam mimpiku. Aku hanya tak ingin kegelisahan jadi tuhan (dalam Genesis, Ia berjalan di taman sambil berteriak pada Adam dan Hawa dalam semak). Tak perlu ada ziarah. Paman sudah mati, dan aku tak sedang ingin menyapanya. Aku nyalakan 101 lampu lemak yak bagi perjalananku ke Shangri-La (di sana, tak ada Paman atau kenangan akan dia). Meski aku tahu, cahaya dari 101 lampu lemak itu tak bakal sampai di kaki Kun Lun. 2018 Kau Mati dan Hidup Kembali dalam Doa Kami Tenang. Aku akan berdoa, meski tak tahu: arwahmu sedang berjalan di Hunza atau sampai di Sinchuan.

Aku Peta Tak Jadi karya Hasan Aspahani

10 Maret 2018 Hasan Aspahani Aku Peta Tak Jadi AKU peta tak jadi terobek pertarungan monster dan hantu-hantu yang aku dan yang bukan diriku Tak ada waktu melipat lembar waktu Perjalanan dekat ini musti lekas kuselesaikan sampai batas yang tak bisa kutuntaskan Aku peta tak jadi menggali sendiri lubang dalam dan besar untuk makam bersama kami: aku dan apa yang telah lama mati dalam diriku Aku peta tak jadi tercerai-berai oleh kuku-kuku makhluk liar yang tak bisa menunggangiku Dengan sesobek peta itu mereka nanti sampai ke kuburku tumpukan buku yang menulis sendiri yang tak pernah selesai mereka baca seribu halaman sudah seribu halaman lagi buku yang melahirkan waktu dari peta yang tak jadi yang tak henti memetakan aku. Tentang Banyak Saat dan Aku Salah SAAT marah dan saat menerima saat pergi dan saat mengubah pikiran saat melilitkan selendang dan saat memasang sepatu saat menghapus gincu dan mencuci tangan saat menyimpan cincin dan memandan

Pengantar Terakhir Burung Layang-layang karya Nermi Silaban,

3 Maret 2018 Nermi Silaban Pengantar Terakhir Burung Layang-layang – untuk Reda dan Jubing Dari lintang kabel – garis paranada itu, seayunan sayap burung layang-layang telah digenggam angin. Pesawat kertas lepas dari tangan masa kecil, derit papan ayun di taman bermain tinggal sepoi napas irama. Dari jendela masa tuamu memori menerbangkan sekawan burung layang-layang pada biola tengah dibelai tangan-busur yang lirih mengiring rinai senar gitar dipetik bagai kereta pengantar terakhir dari pelantun yang getir mengalunkan rindu bagimu tak lain hanya bayang-bayang sayap di lantai cahaya panggung ingatan itu. Sejenak tersadar kedua telapak tangan tersingkap di wajah – kau telah abadi disembunyikan waktu. 2017 Menyulam Jejak Zhang Sanfeng Kupilih dua motif bagi dukamu hakikat abu dari puja api dan mendung sebentar tadi. Sekuntum gua dalam batinmu tangkai-rutenya dari kaki bukit kususur sehelai benang pikiran di dahi jarum sulam. Masuk