Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Taufik Ikram Jamil: ke pulau rindu

Taufik Ikram Jamil ke pulau rindu menuju pulau rindu saya berharap alunan cahaya sebab seperti biasa dia menunggu saya dengan kisah pantai ketika benderang memaknainya sebagai cerita pendek yang tak tersambar angin kemudian berkata: “sekarang musim angin puting beliung acap kali datang dan pantai kita terus tergerus tapi waktu menolaknya untuk terkikis sebab pelaut pun sadar tak ada kepergian selain pulang.” menuju pulau rindu tak saya tenteng sebarang cendera hati pun oleh-oleh sekedar pelipur lara sebab seperti pantai kepada ombak saya dengannya tak terpisah tanda membawa dan menerima tiada makna seperti dia pernah berujar “jangan merasa kembali karena kau tak akan pernah pergi.” menuju pulau rindu saya pun sekaligus sampai kepadanya tanya seberapa jarak perlu untuk rindu seberapa dekat rindu untuk menujumu seberapa jauh menujumu untuk bertemu seberapa lama bertemumu untuk cumbu kau tak akan tahu tak akan tak akan kau tahu seberapa rindu untuk menjarak se

Cuping Telinga oleh Mardi Luhung

MARDI LUHUNG Cuping Telinga Kau menyebutku pendatang. Tapi pikiranku telah lama di sini. Di sebelahmu. Tenang dan setia. Seperti kesetiaan sekuntum kembang teratai yang mekar di kolam. Dan kau meraba bayanganku. Yang katamu melengkung. Dan sesekali memanjang sampai ke kaki langit. Atau malah terus naik. Menjolok bintang. Dan kau merentangkan saputangan. Ingin menangkap napasku. Terus membungkusnya. Agar nanti dapat diletakkan di depan meja. Sebagai bagian atas rasa hormat pada sebentang persembahyangan. Persembahyangan pada sang dewi yang telah menyerahkan keutuhan tubuhnya bagi ketenteraman air, tanah, dan udara. Dan lewat kerling matamu yang bergemeriap, kau membuka pintu dan jendela. Agar udara keluar-masuk. Dan sepasang kupu-kupu pun leluasa beterbangan. Sepasang kupu-kupu yang mengajari siapa saja tentang arti bergerak. Juga arti, bahwa yang terpenting dalam bergerak adalah kemurnian dari sekepal daging gaib. Sekepal daging gaib yang ada di selipan dada. Yang

Collegio del Verbo Divino oleh Mario F Lawi

Mario F Lawi Collegio del Verbo Divino In principio erat Verbum, et Verbum erat apud Deum, et Deus erat Verbum. (Ioan, 1:1) Dari tempat itu seorang pastor Styria dikirim Ke sebuah tempat di ujung dunia. Seorang bocah dari ujung dunia Datang ke sana, di kemudian hari, Mencari kata pertama yang dilupakan Ketika si pastor meletakkan semua Ingatannya di lembaran-lembaran kertas. ”Tak kami kenal huruf,” katanya Kepada si pemimpin biara, orang yang Menjemputnya di stasiun metro, dan Menjamunya dengan pasta, parutan keju Dan prosciutto. ”Tapi engkau membacanya dengan baik,” Ujar si pemimpin biara menatapnya Setelah menelan sepotong semangka. ”Ia berusia sebaya dirimu ketika diutus, Dan kau tahu, selalu tidak mudah meratakan Jalan yang bergelombang. Di sana, pada masanya, Kupikir, bahkan belum ada domba untuk dicari. Lihat dirimu, kau seekor domba sekarang.” ”Kami tak perlu menjadi domba Jika hanya dibutuhkan untuk tersesat.” ”Siapa gembalamu?” Bocah itu

Episode Wasta Cinta Semanis Racun oleh Kedung Darma Romansha

Kedung Darma Romansha Episode Wasta Cinta Semanis Racun 1. Duda Asmara yang Pertama sudah lama Wasta membanting cinta sejak gandulan hatinya digondol bos TKI Jakarta. ia tak percaya cinta pandangan pertama sebab yang pertama selalu ada yang kedua dan ketiga. adalah Wasti penyanyi dangdut tingkat kecamatan. yang jika tersenyum, seluruh mata ambruk dan lampu-lampu padam. yang jika bergoyang, waktu seakan mabuk di mata malam. itu kali pertama Wasta disenggol cinta pandangan pertama. bahwa ia selalu membayangkan menabok bokong sang idola ketika memainkan kendangnya. bahwa ia merasa bergairah dan seakan-akan hati Wasti berada dalam tabokan tangannya yang lajang jalang. dunia selebar kendang miliknya. tapi hatinya selebar mata sang idola. 2. PDKT setiap kali Wasti pulang membawa keringatnya Wasta menawarkan punggungnya untuk dinaiki Wasti. ia berharap kemurahan hatinya diterima Wasti dan punggungnya tak lagi menanggung angin merah. maka sekali lirik, longsor

jantung pisang dan kamus peribahasa oleh Zelfeni Wimra

ZELFENI WIMRA jantung pisang dan kamus peribahasa sebelum mematri langkah sebagai perantau aku lukai sebatang pisang aku pancung tandan di hulu jantungnya hingga terburai, bercerai-berai nasib serupa juga ditanggung kamus peribahasa warisan ibu lenyai digigit rayap, seolah belorong labirin kini mengurung petuah lama di halamannya aku nyanyikan ini sebagai puisi pindah rumah tanpa pernah mengenali alasannya pisang dan kamus peribahasa itu melepasku melenggangkan lengang juga ngiangan kaba maharajo dirajo mengirim daro pitok dan daro jinggo ke tanah jawo seketika, aku lihat wajah anak perempuanku berkilau melawan kedipan lampu odong-odong di alun-alun selatan apakah ia juga sedang tergoda membakar darah titisan ninik anak-anak yang mada anak-anak yang aditia sepi begitu lain mengaliri perantauan ini mengantar diri mencangkungi angkringan perempuan berkebaya yang kerutan jidatnya renyah tawanya mirip dengan mendiang ibuku sebungkus nasi kucing bersayur jantung pisang

Panah Mainan oleh Indrian Koto

23 Maret 2019 INDRIAN KOTO Panah Mainan Ia mendapat hadiah dari bapaknya dua panah lengkap dengan busurnya. Satu untuknya, satu untuk kawan dekatnya. “Panah terbaik untuk bocah semanis kalian. Tangkaplah rubah dan tikus tanah, macan dan ular sawah. Mulailah berkelana.” Mereka membayangkan seorang guru di bukit seberang kampung telah mewariskan seluruh ilmu. Telah saatnya mereka turun gunung. “Bagaimana dengan kuda?” Bocah perempuan merengek pada bapaknya. Kawannya menunggu hadiah yang sama. “Kuasailah dulu panah dan busur, hadiah lain akan menyusul pendekar yang sungguh hati.” Berhari-hari mereka menguasai kebun belakang mengasah ketajaman panah pada biji pepaya, pokok dan tandan pisang. Kawan-kawan lain membincangkan setengah iri, setengah dengki. “Bukan panah dari karet gelang, tapi dari rautan buluh, ujung diberi seng. Sekali kena, tamatlah kita, Kisanak.” Dalam perang besar yang mereka ciptakan sendiri, si lelaki tertembak kawan sendiri. Permainan usai. Luka dan pe

Selamat Pagi Growol oleh Mustofa W Hasyim

16 Maret 2019 Mustofa W Hasyim Selamat Pagi Growol Lima puluh tahun, pada lapis-lapis kenangan tumbuh cendawan, harapan untuk ketemu. Dan di pasar ini ada pagi hari yang ramah, ketika semua penganan dari pelosok waktu berjajar di los menunggu tindakan pembeli. Aku termangu, tumpukan bungkusan daun pisang berisi kara benguk gurih. Ini pasti ada teman karibnya. Kethak kecing kethak manis, blondo, dan yang utama, growol. Selamat pagi, kuucapkan padamu karena aku hampir habis usia menunggu ketemu kembali denganmu. Dulu setiap pulang dari Pasar Wates, Nenek selalu membeli oleh-oleh khas dari seberang barat sungai dan makanan yang membikin sejuk perut adalah engkau. Masihkah sungai itu dipakai merendam ketela pohon agar mengalir semua racun sampai laut selatan? Masihkah warga desa memarut kelapa dan mengambil santan kental untuk dimasak menjadi minyak klentik, kerak lembutnya adalah blondo dan kethak? Di desa-desa itu angin masih berguna untuk menyebarkan berita gembira bahwa hidup perl

Talaud oleh Tjahjono Widijanto

9 Maret 2019 TJAHJONO WIDIJANTO Talaud seperti mutiara berkilauan di rongga-rongga mata matahari jatuh di permukaan laut menyulap ombak jadi warna pelangi di langit, bidadari-bidadari samodra berkejaran menjelma duyung jelita saat kaki menyentuh buih camar-camar beterbangan dengan keriangan bocah laut mengejar ikan di pantai, bulan menyelimuti bakau menyentuh pucuk-pucuk kelapa di cakrawala gambar-gambar bintang menjelma mata angin wewangi hutan jadi sempurna bersama aroma cengkeh dan pala pohon-pohon dan ceruk-ceruk goa runduk dalam bayangan rumah sempurna dari tengkorak-tengkorak beserta jejak riwayat-riwayat yang tersimpan di kebisuan karang sabar menunggu hempas gelombang seperti perawan yang sabar menghitung purnama menunggu kekasih datang dari balik pasang lautan bersama bau tuna bakar dan keringat nelayan esok, fajar adalah leret-leret cahaya sorga bocah-bocah riang berjalan menenteng gate-gate atau jupi berebut mencebur ke laut yang menjelma warna kupu-kupu Melon

Sagu Rumbio 1 oleh Ramoun Apta

2 Maret 2019 Ramoun Apta Sagu Rumbio 1 Aku tebang batang rumbio di belakang rumah Aku belah hingga rekah. Cangkang batang aku buang, Inti dalam aku cincang. Lengkung kayu itu Berbunyi retak di udara. Aku peras cincangan itu dengan air kolam Sampai lepas luluk putih dari seratnya. Aku diamkan sampai luluk itu berpisah dengan air Menumpuk di kedalaman. Perlahan pasta putih bertumpuk bagai Sampah masyarakat di sudut pasar tradisional. Aku keruk ia dengan bibir tempurung Lalu aku jemur di bawah panas berdengkang. Sampai keriting ia bagai Gelombang galau laut. Aku tumbuk ia dalam lesung kayu Lalu aku tiriskan ke dalam nampan. Debu-debu halus itu Lantas aku berikan padamu. Kau menerimanya bagai batang pisang Menerima ulat menggerogoti daun. Kau butuh itu, katamu, untuk memasak Ongol-ongol sagu rumbio untukku. Ongol-ongol itu kau persembahkan Untuk pesta ulang tahunku yang ke-72. Sagu Rumbio 2 Aku cincangan daging batang Yang kau rendam dengan

Peladang Kata, Antologi Reuni Puisi Diluncurkan

Oleh COKORDA YUDISTIRA Guru dan pengasuh Sanggar Cipta Budaya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Denpasar GM Sukawidana (ketiga, kanan) bersama sejumlah penyair yang pernah diasuhnya di Sanggar Cipta Budaya SMP Negeri 1 Denpasar, yakni Aan Almaidah Anwar (kanan), Oka Rusmini (kedua, kanan), Chandra Yowani (ketiga, kiri), Sri Rwa Jayantini (kedua, kiri), dan Wulan Dewi Saraswati (kiri) dalam acara peluncuran dan apresiasi buku reuni puisi “Peladang Kata” di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Minggu (24/2/2019) malam. KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA DENPASAR, KOMPAS – Buku kumpulan puisi dari tujuh penyair alumni Sanggar Cipta Budaya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Denpasar, Bali, yang berjudul Peladang Kata, diluncurkan di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Minggu (24/2/2019) malam. Antologi reuni puisi “Peladang Kata” juga menjadi sebentuk penghormatan para penyair tersebut kepada guru dan pengasuh Sanggar Cipta Budaya, GM Sukawidana. Tujuh penyair yang karyanya ada di

Beberapa Soal Ujian Nasional Mata Pelajaran Kesetiaan yang Diam-diam Kuikuti tanpa Sepengetahuan Engkau oleh Hasan Aspahani

Hasan Aspahani Beberapa Soal Ujian Nasional Mata Pelajaran Kesetiaan yang Diam-diam Kuikuti tanpa Sepengetahuan Engkau: Sapardi Djoko Damono 1. Apakah ada alasan lain bagimu untuk senantiasa mendoakan kekasihmu selain karena engkau mencintainya meskipun ia bukan lagi kekasihmu? a. Aku mendoakan dia karena dia adalah kelelawar yang berkembang biak dan hatiku adalah goa yang menikmati siksa dari jerit menjelang senja dan gema- gema yang mempertebal rasa sakit itu. b. Aku mendoakan dia sebagai pohon nyiur di pantai yang condong tapi tak tumbang dan dia adalah ombak yang tak berhenti menghantam dan yang dulu mendamparkanku di pantai itu. c. Aku mendoakan dia seperti penjual kue putu yang membunyikan piul kecil di sepanjang gang dan berharap dia mendengar dan membayangkan harum pandan dan manis gula jawa yang dulu sering kami nikmati bersama. d. Aku mendoakan dia seperti rasa syukur ketika menerima gaji pertama dan cinta adalah apa yang kusisihkan untuk anak-anak panti asuhan

Pengayuh Rakit oleh Inggit Putria Marga

Inggit Putria Marga Pengayuh Rakit sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya. tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah meski sepentil. sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya bebe