Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Acep Zamzam Noor

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Di Halaman 55 oleh

Acep Zamzam Noor Di Halaman 55 Di halaman ini akan kumulai lagi Menghitung kata dan menyaringnya Di ruang kosong ini akan kuulangi lagi Menyusun bunyi dan memainkannya Di bilangan tahun ini akan kumulai lagi Menjumlah usia dan mengendapkannya Di angka rawan ini akan kuulangi lagi Menyerap waktu dan memaknainya 2015 Tak Pernah Kutarik Bulan Tak pernah kutarik bulan Ke arah subuh. Tak pernah kuulur Layang-layang malam Meninggalkan langit tak utuh Kenangan kadang melintas Ingatan kadang terhenti Kadang aku mengerti batas Tapi rindu tak mau tahu Bulan adalah layang-layang malam Ditarik dan diulur benang gaib Mengitari ruang dan waktu Subuh adalah gema yang mengendap Ketika suara azan bersahutan Dari masjid-masjid yang kini jauh 2016 Pesan dan Gambaran Bagi seorang penyair Pucuk daun adalah pesan Yang disampaikan ujung akar Dari kedalaman tanah Bagi seorang pelukis Paras bunga adalah gambaran Yang diungkapkan musim Saat kuning menjadi kes

Senja di Iluta oleh Acep Zamzam Noor

14 Juli 2018 Acep Zamzam Noor Senja di Iluta Rambut-rambut hujan Berjatuhan seperti cahaya Aksara-aksara dituliskan Di atas lembaran usia Remang-remang kabut Seakan menjadi batas Danau dan rakit bertaut Bagai dawat dengan kertas Ciuman-ciuman angin Mendarat di tepian sunyi Jejak-jejak yang kemarin Berdetak di jantung arloji 2014  Otahana Rumbai-rumbai awan Mengambang di angkasa Ruap-ruap kesedihan Mengepul di rawa-rawa Kapuk-kapuk randu Tersangkut pada ranting Artefak-artefak bisu Tinggal tanah dan puing Lumut-lumut aksara Mengurapi punuk bumi Benteng-benteng terakota Mengekalkan makna sunyi 2014 Klappertart Kubuka jendela dan di luar nampak gerimis seperti keju Yang diparut halus sekali. Jam seakan kehilangan detaknya Ketika kebisuan melatari pertemuan kita yang tak terduga Malam natal menjelma episode singkat bagi penuntasan luka Besok pagi kau harus pergi. Begitu juga aku mesti kembali Menyelesaikan sisa tahun di tempat-tempat

Dodoku Ali karya Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor Dodoku Ali Kutulis gazal untuk pagi terakhir Dan kuberikan padamu sebagai amsal Tiba-tiba angin berhenti menderu Dermaga lengang di antara kita Kutulis rubaiyat untuk camar kecil Kutulis di atas permukaan selat Darahku yang beku kembali mencair Ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi 2014 Siapakah Siapakah yang menyiramkan hijau Ketika punuk bukit kembali bersemi Siapakah yang menumpahkan biru Ketika ombak berkejaran dengan sunyi Siapakah yang menggambari langit Dengan kuas sehalus awan pagi Siapakah yang mengukir udara Dengan pahat selentur jemari 2015 Sesungguhnya Andai jemariku mengelus rambutmu Aku hanya mengelus rambut waktu Andai hanya mengelus rambut waktu Sesungguhnya aku mengurai rahasia rindu Andai mengurai rahasia rindu Aku hanya mengungkapkannya lewat lagu Andai hanya mengungkapkannya lewat lagu Sesungguhnya aku telah memeras seluruh jiwaku 2015 Anjung Cahaya Ketika sunyi menyeberangi selat Aku s

Mengukur Dalamnya Lautan oleh Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor Puisi 1 Juli 2017 Mengukur Dalamnya Lautan Kabut yang membayang pada lindap wajahmu Bercerita tentang bagaimana rasanya ditinggalkan Embun pagi yang menggenang pada lamur matamu Berkisah mengenai kehilangan demi kehilangan Kau sempat mengira dunia akan runtuh subuh tadi Padahal azan hanya membangunkanmu dari mimpi Kadang kau percaya bahwa semua akan baik-baik saja Walau tahu kemunafikan semakin berkuasa di bumi Ombak pasang yang mengasuh keheningan hatimu Bercerita tentang bagaimana hikmahnya diasingkan Angin topan yang mengasah ketetapan langkahmu Berkisah mengenai kepasrahan demi kepasrahan Mungkin kau tengah sibuk mengukur dalamnya lautan Ketika orang-orang saling menggunting dalam lipatan Atau malah sedang khusyuk menulis puisi-puisi sepi Ketika mereka berebut bangkai saudaranya sendiri 2016 Episode yang Berulang Matamu seperti pecahan kristal yang tertimbun aspal Aku membayangkannya saat rembang petang mulai turun Sepasang caha

Aku Merindukan Wajahmu oleh Acep Zamzam Noor

4 Februari 2017 Acep Zamzam Noor Aku Merindukan Wajahmu Aku merindukan wajahmu seperti halnya putik bungur Menanti datangnya pagi. Di pematang aku memetik kecapi Ketika burung-burung berkicau bersama hangat matahari Siang bergerak menapaki gunung yang memanjang ke barat Aku mengenangkan wajahmu seperti halnya bunga kemboja Rindu pada gundukan tanah. Bukankah cinta dan kematian Ibarat saudara kembar? Sebelum rembang petang menutup Rumbai-rumbai kabut mengambang di atas perkebunan teh Kadang aku melukiskan wajahmu seperti halnya bulir embun Memberikan tekstur pada daun. Aku menyusuri ladang tomat Membayangkan segala kesegaran di bumi adalah rona pipimu Kadang aku melupakan wajahmu seperti halnya kelelawar Memilih pohon besar. Berbulan-bulan sembunyi di kuburan Sambil merumuskan bahwa aku sesungguhnya kembaranmu 2016 Amanat Galunggung Kuikuti langkah kabut yang samar di antara deretan pinus Daun-daun yang runcing nampak berserakan di atas tanah Siang teras