Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016



Joko Pinurbo

Malam Rindu

Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir.
Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku
ke pelukanmu dengan cara saksama
dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul
dari sebutir dengki atau sebongkah trauma,
mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong
pancarindu di bibirku, dan aku gagal
mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu.

(Jokpin, 2016)



Pulang

Rinduku yang penuh
pecah di atas jalanan macet
sebelum aku tiba di ambang ambungmu.

Kegembiraanku sudah mudik duluan,
aku menyusul kemudian.
Judul sajakku sudah pulang duluan,
baris-baris sajakku
masih berbenah di perjalanan.

Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu
membuai jidat yang capai,
dompet yang pilu, dan punggung
yang dicengkeram linu, uwuwuwu….

Semoga lekas lerai.
Semoga lekas sampai.

Jika nanti air mataku terbit di matamu
dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali mulai.

(Jokpin, 2016)


Surat untuk Ibu

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambung ’kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit
yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.

Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

(2016)


Kapan Lagi

Kapan lagi kau bisa duduk manis di bawah
pohon cemara, mendengarkan beberapa ekor puisi
berkicau di ranting-rantingnya, membiarkan
bulan mungil jatuh dan memantul-mantul
di atas kepalamu, meredakan gemuruh tubuhmu.

Hidup yang longgar ini kadang terasa sumpek juga.
Baju yang sebelumnya waras-waras saja
mendadak terasa sesak di bagian ketiak.
Celana yang sampai kemarin nyaman-nyaman saja
tiba-tiba terasa melintir di bagian paha.
Tadi malam kau pulang dari salon dengan gembira,
sekarang kau malu dengan potongan rambutmu.

Seharian kau gelisah melulu, ingin mengganti ini
mengganti itu, sementara daftar janji yang ingin
kaupenuhi bertambah panjang saja. Janji mencabuti
rumput di makam nenek. Janji membelikan ayah
selembar sarung sutera. Janji minta maaf
kepada pohon mangga yang sering kaucuri buahnya.
Janji tidak marah dan mengucapkan anjing
kepada pendengki yang memanggilmu asu.
Janji menolong teman yang sedang sedih dan lesu.
Janji berterima kasih kepada tukang sampahmu.

Duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak
akan jadi batu nisanmu. Duduklah sambil
membaca Pramoedya: ”Hidup sungguh sangat
sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

(2016)


Pisau

Ia membungkus pisau dengan namaMu.
Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku.

(Jokpin, 2016)


Apakah Kebahagiaan Itu?
Ia tidak suka ditanya
apakah kebahagiaan itu.
Kebahagiaan itu kancing yang rontok
dan jatuh berdenting di lantai
ketika malam dan hujan
menyusupkan demam ke balik bajunya.
Ketika kalimat “Apakah kebahagiaan itu?”
menyentuh tombol bahaya
di dadanya, tubuhnya bergetar
dan berdering nyaring.
Ia akan bangun kesiangan
dan mencari kancing bajunya
di antara pecahan-pecahan mimpinya.

(Jokpin, 2016)


Calon Jenazah

Dalam pidato pelepasan jenazah
bapak tua yang awet muda itu berkata,
”Para calon jenazah yang mulia,
mari kita ikhlaskan kepergian saudara kita
yang kita banggakan ini. Ia telah bertempur
dengan hebat melawan sakitnya
yang berat. Saat ajal memeluknya,
saya sedang berada dalam sakitnya.”

Tengah malam setelah pemakaman,
calon jenazah yang awet muda itu merasakan
dadanya panas dan ia ingin mandi.
Ia segera masuk ke dalam bak mandi.
Lampu padam, kemudian menyala kembali.
Ia mendongak mendengar suara:
”Calon jenazah yang mulia, selamat mandi.
Saat kau kungkum di bak mandi,
aku sedang berada dalam mandimu.”

(Jokpin, 2016)


Tanda Seru

Seorang penulis duduk termenung
di jendela, menunggu peristiwa kecil
yang bisa menghibur hatinya.
Matanya berbinar melihat seorang bocah
berjalan dan bersiul riang sambil sesekali
membetulkan celananya yang kedodoran.

Bocah itu menggendong tas sekolah
berisi cita-cita dan doa orang tuanya.
Sebatang hujan yang runcing
tiba-tiba menancap di atas kepalanya.
Ia berteriak aduh dan meringis kesakitan.

Penulis kita melompat dari jendela,
mencabut jarum hujan dari kepala
bocah kita. ”Aku telah mendapatkan
setangkai tanda seru.” Ia berpikir,
jangan-jangan tanda seru itu berasal
dari hujan kata-kata yang ia tumpahkan.

(Jokpin, 2016)


Elegi

Maukah Kau menemaniku makan?
Makan dengan piring yang retak
dan sendok yang patah. Makan,
menghabiskan hatiku yang pecah.

Itulah makan malam terakhirnya
di surga kecilnya yang suram.
Besok ia sudah terusir dan kalah
dan harus pergi menuju entah.

Lalu mereka berfoto bersama
sementara mobil patroli berjaga-jaga
di ujung sana. Lalu hujan datang
memadamkan api di matanya.

Ia akan merindukan rumahnya
dan akan sering menengoknya
lewat mesin pencari kenangan
sebelum malam menelan mimpinya.

(Jokpin, 2016)


Joko Pinurbo tinggal di Yogyakarta, berkhidmat di Forum Permenungan Tunggal. Puisi-puisinya terhimpun dalam buku Surat Kopi (2014), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), dan Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016).

Komentar

  1. Berbeda dari perbedaan yg ada. .

    BalasHapus

  2. Mas jokpin adalah inspirasi terbaik ku.
    Ia telah menitipkan sejuta semangat yang harus ku makan dan telan seiringan dengan goresan pena.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi