Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Ahmad Yulden Erwin

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Hamlet Kita oleh Ahmad Yulden Erwin

28 April 2018 Ahmad Yulden Erwin Hamlet Kita 1/ Langit mencipta lelaki itu dari cahaya Ketika nubuat kembali dilepaskan Setelah panah waktu diputar ulang Dunia tak lain ihwal yang gagal Ketika ia mulai bernyanyi di sana Dan mencipta batu di dalam kepalanya Meski, bisa kukatakan padamu, Hamlet begini positif seorang penipu. 2 / Benar, ia terjun ke tengah kubang darah Sebelum sepi pun ingar, ketika arwah Peragu itu berkisah tentang ular-ular Ia tak pernah belajar dari masa lalunya Dan terus saja bermimpi, sebelum Maut digeser ke tengah papan catur itu Sebelum kemenangan, atau tabu itu, Menyalakan hasrat pada pinggul Betina yang tersedu melepas gaunnya. 3/ Mungkin, ia memang seorang Ronin dengan jubah istana Sebelum bau anyir itu dilepaskan Antara bangkai dan serpih kuarsa Sepi terhampar di depan matanya Namun, ia tak ingin kembali tertawa Sebab mungkin ia telanjur menduga Dunia tak lain imaji di balik prasangka 4/ Jadi ia mulai berpikir tentang r

Semesta Karatsu oleh Ahmad Yulden Erwin

25 November 2017 Ahmad Yulden Erwin Pintu Ada satu pintu, bila dibuka, diriku akan ikut terbuka. Ada satu pintu, bila ditutup, diriku akan tetap terbuka. Ada satu pintu dalam diriku.  Jalan Lain Musashi 1 Berkerut kening Daruma Menatap sepasang angsa Termenung di sisi telaga 2 Patung dewa pedang Memandang angkasa – Tersenyum pada musuhnya 3 Buddha tertawa Menatap pralaya Dua ayam jantan 4 Burung pingai tertancap pedang – Sebuah lukisan tinta, tertanda Fudo Myo-o (dewa pedang) – 5 Ia letakkan pedangnya Ia raih kertas, kuas, dan tinta – Pelikan menatap angkasa Semesta Karatsu 1/ Tak ada kilat atau tanda api Kecuali hangus pasir Atau cemas yang lingsir Saat kutatap prana berayun di dinding Cawan itu, sebelum percik dingin Bermain dalam mataku, menduga-duga Taksa pada rumpun bambu Atau padang yang jauh, tentu, Kau tahu, waktu bisa setipis embun Atau haru yang rimbun, tetapi kita Tak mampu menolaknya, semesta hadir B

Tangga Naga oleh Kiki Sulistyo

15 April 2017 Kiki Sulistyo Tangga Naga : Hanafi tak bisa kausebut ia menara meski ia menjulang dan kau merasa berada di dasar jurang, merahnya yang redam menimbulkan bunyi-bunyi masa silam dongeng perihal sungai kembar kiri-kanan, memisahkan kesedihan dari biji-bijinya; airmata para penyadap yang lengket di hutan-hutan karet tak bisa kaupanjat ia meski tubuhmu secepat induk kera ia lentur dan kenyal hingga tiap yang membentur akan terpental, caputnya berpaling ke kiri, siripnya berdiri seperti menolak mati. dari mulutnya terjulur daging api menyulut suara-suara yang lama ditimbun sunyi dari dasar jurang kausaksikan sesungguhnya ia adalah tangga, jalan satu-satunya menuju dunia di atas sana sebentang daratan di mana kembaranmu mengembara mencari rumah di celah-celah sempit kebun sawit (Kekalik, 2017) Patung Burung ratu burung pilu, tunjukkan padaku langit yang satu kanvas orang dulu, batas-batas baru pada gua batu tebing miring runtuh saat kening mu