Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Ramon Damora
lapislazuli bengali
biru sehelai ibunya
mengapung di buthidaung
sirah merona selembar adik
bayi teramat cantik
terkulai ngambang
sepanjang benang darah
ditenun kembali sungai naf
dan rahang-rahang rakit pun
menjahit gelora rakhine utara
namun satu per satu pengungsi
aus, putus, seperti butir-butir
kancing jatuh dari seragam
serdadu gergasi di barak tangsi
semua muara mengulur seutas
demi seutas bangkai gugur
di pepohon lagoon, membuah
buih yang putih, memberi arti
pada setangkai mati
maut menyumbang sedu sedan
dengan menimbun kematian
di ranjang pelaminan sungai
yang senantiasa lengang landai
sisa-sisa perahu pelarian
kadang jadi betapa ringan
terbang serendah bayang
bayang, seindah layang
layang, menggores batas
batas langit bangladesh
di lazuardi sebongkah tubuh
bocahnya tergantung anggun
berayun-ayun gerun bagai
seuntai kecubung kelabu
lapislazuli bengali telanjang,
yang tembuspandang: dia tak
hendak turun, belum mau turun
tetapi sang kanak tahu perahu
perahu akan segera bersandar
menggulung benang bekas
sungai sehelai ibu, selembar
adik, seonggok kehilangan
yang mesti dipakai demi
hari depan jatidiri yang tercela
tuhan oh tuhan, bisik nak
bujang ke awang-awang,
bila giliran-Ku merajalela
entah di kemah-kemah bangla
atau remah-remah bianglala
2017
non-megaphone
apa yang mau
kau dengar
perihal myanmar
nama tuhan yang
tak sempat keluar
dari leher-leher
dipenggal
dengih tasbih wirathu
di antara serpih
serpih empedu
yang telah hijau
oleh langau
rengek bayi
dibungkam
darah hitam
tetek suu kyi
wirid api menyamak
kulit tulang-belulang
sehangus langit
langit madrasah
atau parau serak
jerit allah allah
lengang kabus
dendam atta ullah
puisi non-sense
di rakhine
diplomasi non-megaphone
setelah yangoon
apa yang mau
kau percaya
tentang rohingya
cahaya?
maka diamlah
berhenti menebar tulah
makin tumpah setakat
kata, kata, kata
kau hanya jadi
junta
2017
selimut dari natuna
semalam selimut anaknya
membelai-belai pulau ranai
asyik masyuk berderai
semalam selimut anaknya
selembut ruh perahu
melayani bayang nelayan
semalam doa lelah
berbantah-bantah semesta
saling cintakan entah
semalam sepasang puting
dada jembatan pering
hanya susui laut kering
ikan-ikan duduk bersila
di kemah selimut anaknya
berebut mengenalkan nama
presiden telah tiba
kata tongkol dan todak
ia datang dari kabut
membawa tanda mata
untuk kanak-kanak
yang hafal biota laut
dalam senyum mutumanikam
anaknya kayuh sepeda gunung
membonceng tuhan maha diam
semalam selimut anaknya
melipat jasad ditenung
wabah chikungunya
2017
kepada batik, sajak berbisik
semua yang kusangka epik
padamu rupanya semata titik
tak bunyi baris hiperbolaku
digores sunyi garis polamu
kelam kalam leleh sempurna
dalam malam lilin sederhana
alinea lupa mengurai hening
o betapa lena dibelai canting
kian kau umbar cahaya benang
semakin terbakar daya bayang
kata-kata durhakai janji
tiba-tiba mendustai imaji
masihkah pantas aku berkain
dengan majas dan lain-lain
baru kuikat sebait dua diksi
kau sudah kuliti serat berisi
permisi, permisi
apakah kau puisi
2017
baju lebaran
tuhan beri baju lebaran
lebar selebar-lebarnya
kain luas bersih welas asih
warna nirwana maha putih
tuhan kasih satu syawal
dengan satu-satunya tanda
pengenal: kau sang mula
awalilah semua muasal
tandus sawah ladangmu
sekudus mendiang ibu
barah di balik empedu adalah
syahdu zarah mudik ke darah
ruang tiada terpindai
rindu tak lagi mengurai
purna karena fitrah
luruh seluruh luruh
tuhan beri baju lebaran
lebar selebar-lebarnya
di sana sembunyi sedu sedan
milik tubuh kecut penuh luka
merangkak dengan sajadah
dari kedai ke kedai
oh setahun sekali
hanya setahun sekali
tuhan alangkah mewah
anak takbir bersama kiyai
istri lahir sebagai bayi
suami luhur seperti priyai
pun tangan yang selalu zalim
memeras airmata orang lain
tiba-tiba rajin dan takzim
memohon maaf lahir batin
amin
2017
teluk belanga inderasakti
~ ardadan
dari dermaga, pompong rimbun mengurai jelaga laut
peluh terakhir huyung dalam pantun sampiran kabut
rembulan jembia nyisip di pinggang menara masjid
azan menggenggam luka penyengat tiada terjahit
segala diam diam-diam; makam, gurindam, malam
dahan nam-nam menyimpan gagak bertanjak hitam
tinggal hasrat angin utara menabuh leher nelayan
setipis kulit kompang terkikis batuk bedengkang
menuju pelantar adakah sepi sungguh-sungguh sepi
dahak maut kerak lumut takkan setebal ampas kopi
masih sedap bual melelang naskah-naskah lama
mencabar nafkah hari esok yang tak lagi sama
walau azan menetes dari tiap ceruk luka menganga
kau lanun atau laksmana: sama dalam teluk belanga
2017
wirid duri
anak aku tahu diri
ayah ia hanya duri
tiap ia jumpai aku
genap aku lukai ia
pada sembilu aku
rindu selalu kata ia
dari mata pisau aku
doa mengasah ia
bila aku terlalu tajam
jangat ia menganga
sakit ia menujum pejam
jerit aku seharum bunga
raunglah tebing tinggi
erang aku geming seligi
kelak kau mudah sembuh
dari onak yang tersentuh
anak aku mengerti
apa makna sajak ini
sekuntum mawas diri
bukan mawar gerigi
2017
sekanak-senandika
: rida k liamsi
akan tetapi, datuk
tikam cintamu belaka
yang masih sudi
menyeka retak ceguk
mangkuk waktu kami
kita redakan sebentar
asma semua magma
tenung gunung-gunung
sihir paling ros, mimesis kabut
mahmud dalam mahmud
larut sesaat dalam nikmat
gelas demi gelas mintakat
membilas pahit langit-langit
agar surup terhirup sakit
supaya sedap sesapan dekap
menyuling nasib yang gelap
bila lebih dahulu
kau bersurai menyangrai
biji-biji janji di lain kaji
kau tahu kami
selalu di sini
menjaga bunyi
seandai canai
perenggan cawan setangkai
tiada lengking
semata denting
sendok menggasing
sendu masing-masing
hingga senja
menyangga meja
kekasih membara
dirayu-goda teja
sayap kelekatumu
jatuh satu-satu
ke pangkuan tungku tungkaiku
“lampu bukan lagi tumpu,
bila tapak tak terlacak…”
digerus budi bahasa
sehalus robusta dan arabika
kata-kata tetap tak berganjak
dalam kehendak kopi sekanak
secangkir renyai cuma
mengusir jejak yang lenyai
ke dasar-maha-dasar puisi
adapun bubuk-bubuk sepi
diaduk diseduh mimpi
akan tetapi…
2017
Ramon Damora lahir di Muara Mahat, Kampar, Riau, 2 April 1978. Benang Bekas Sungai (2017) adalah buku puisi terbarunya. Bermastautin di Batam dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Komentar
Posting Komentar