Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Kuburan Imperium oleh Binhad Nurrohmat

2 Desember 2017

Kuburan Imperium


Binhad Nurrohmat

1/

Raja agung dijunjung dan jatuh kemudian.
Berduyun pergi bangsawan tanpa pulang.
Trah imperium dikulum takdir kekalahan.
Lalu senyap dalam babad dan reruntuhan.

Kafilah berbalut jazirah menebarkan ajaran.
Berjingkat firman ke tahta dan pedusunan.
Tlatah pecah dan huruf kakawin tertawan.
Keyakinan leluhur mengungsi ke seberang.

Prasasti tak cuma lempeng batu kali di ladang.
Titah dan darah kepada angin mengirim pesan.
Burung tak membaca kitab dan cuma terbang.
Tapi kicauan mengusik lelap batang ketapang.

Jerami yang mudah terbakar adalah kekuasaan.
Kelewang dan pertikaian membabat kesunyian.
Di kedalaman kali tenggelam sisa akhir perang.
Ikan-ikan berenang dan langit fana mengawang.


2/
Berjaga toko roti di gerbang desa kemudian.
Telah hengkang tahi kuda dan kereta perang.
Tiang listrik menikam perut perkampungan.
Deru mesin membuyarkan senyap pertapaan.

Lama sudah tinta Prapanca resap di perabuan.
Risalah gemilang menjelma lembaran kusam.
Di warung-warung keluhuran silam melekang.
Orang-orang tersekap hunusan masa depan.

Di koran, pemuda desa Jambuwok tercacah logam.
Darah melumasi gilingan tajam mesin adonan.
Pabrik berkabung dan miris peluh buruh harian.
Jam kerja tak lagi berduka seusai penguburan.

Lesatan masa meninggalkan berdepa zaman.
Barisan mobil bersideku di halaman petilasan.
Setapak ditimbun pejal beton dan aspal jalan.
Tiada kefanaan di bumi yang tak ditinggalkan.


3/
Sekujur senja Brahu sendu kecoklatan.
Membisu di sudut candi kikisan kejadian.
Berhuni roh brahmana di celah retakan.
Terkubur abu waktu di kolong ingatan.

Kebun tebu menyerap serbuk mayat pangeran.
Sepi dan rahasia tersimpan di lambung batang.
Terbenam tilas permaisuri di bawah pematang.
Bunyi tapak kaki ratu menjadi peri menawan.

Akar perdu menusuk pori undakan persemadian.
Di pucuk mempelam keluarga tekukur bersarang.
Asap dupa lenyap dari udara setelah trah padam.
Tak lagi duka melinang meratapi raja yang hilang.

Kucuran pestisida dirayakan di sekujur persawahan.
Tiada mantra hama di ladang dan pudar dari ingatan.
Tikus dan serangga hancur terlindas di tengah jalan.
Manusia dan alam berseteru tanpa juru keadilan.


4/
Gerobak bakso bertahta di pinggiran Kolam Segaran.
Para kawula bernaung langit mengail nasib dan ikan.
Tiada lagi utusan dari seberang dijamu raja di tepian.
Ranah agung Wijaya telah menjelma tlatah bawahan.

Pagar kawat kolam terulur dari mesin pengetahuan.
Mati laskar penjaga dan tak pernah lagi dilahirkan.
Di sekujur dunia waktu melesapkan tilas kefanaan.
Genangan air membenam peristiwa dan bungkam.

Rumah berubin licin menjalar di permukiman.
Berjaga televisi di ruang tamu tanpa terpejam.
Telah redam suara petuah suci kaum begawan.
Benda-benda datang dengan harum godaan.

Ludruk kadang berkacak lagak pada malam.
Panggung dari bilah papan dan bedak riasan.
Di latar rumah tersaji kisah suci dan kejam.
Kibasan sampur menguras perut celengan.


5/
Raja-raja menjelma plang nama gang dan jalan.
Kekuasaan tanpa tahta sepi di tepi perempatan.
Kenangan agung jadi gurat cat di lembar logam.
Tukang pos datang mengantar surat dan tagihan.

Negara mengirim lempang jalan besar melintang.
Tlatah terbelah membentang di utara dan selatan.
Betapa riuh orang-orang berlintasan dari seberang.
Toko sepatu memencilkan gerbang Wringin Lawang.

Arca batu bertapa di latar rumah dan tepian jalan.
Tiada asap dupa, mantra dan kembang pemujaan.
Hampa membalur patung bersila bugil melajang.
Patung pahatan tak mengiba nasib ke tatah logam.

Bangkai tikus dan puntung mengapar di aspal hitam.
Di bawah truk tak ada upacara kremasi dan kuburan.
Telah mati para raja dan tak dikuburkan di pertokoan.
Nama-nama gang dan jalan dibuat dari sisa kematian.


6/
Di dinding kamar seorang bocah menggambar kapal selam.
Teropong kapal tersembul melihat kenyataan di atas lautan.
Tiada laut di Trowulan dan gores serbuk kapur terhapuskan.
Sejarah adalah orang tua menatap jejak rongsokan kejadian.

Di Lebak Jabung trah istana mengubur mayat ayam jantan.
Kuburan lengang di dusun terkepung kerukan penambang.
Truk-truk buncit batu galian melindas jalan duka pangeran.
Kesedihan menjelma kubang hujan dan takdir sopir harian.

Anak-anak dusun kemudian tanpa jangkrik dan belalang.
Hujan terpencil dari keriangan kaki telanjang di halaman.
Televisi menjadi kerajaan iklan dan kuburan kejadian.
Bau mi instan merasuki mimpi hingga pelosok terdalam.

Pasar-pasar desa menjual kenangan sayu dan harapan.
Ideologi menghuni sekujur minimarket sehari 1 x 24 jam.
Sawah-sawah sekarat di jantung dusun dan pelipis jalan.
Sepotong roti tak bisa ditukar dengan beras segantang.


7/
Lars kolonial Eropa melayap ke pedalaman.
Tibalah Raffles di tlatah imperium terpendam.
Akar alas jati abad XIX mencengkeram ingatan.
Orang benua jauh mengejutkan binatang hutan.

Hingga sekian mil terserak kisah sayup silam.
Tampak waktu kelabu tersekap tidur panjang.
Di kepala candi kawanan serangga bersarang.
Ruang renta tertimbun perca tembikar kelam.

Jejak utusan ratu asing telah raib di Trowulan.
Wajah penjajah tak tergurat di gerabah kusam.
Eropa menguburkan tahta para raja di selatan.
Haru Raffles tersaput abu belulang kekuasaan.

Serbuk kabut luruh di belukar dan ujung jalan.
Sekujur Penanggungan tergeletak telanjang.
Meluap dangdut dari radio di perkampungan.
Pujangga Desawarnana telah lama berpulang.


8/
Dewa di kakawin dipuja kawula dan tuan.
Asap dupa merasuki udara dan pemujaan.
Sudah berubah wajah kisah di Trowulan.
Iga sapi panggang terkulai di meja makan.

Tamu dari gurun tiba berbekal surga dan kalam.
Kakawin lama berdiam di guci abu begawan.
Gapura tampak purba dijaga roh kesunyian.
Patung batu hilang dan tak lagi ditemukan.

Langit tlatah dihuni bintang dan rembulan.
Turun gerimis firman dari ubun ketinggian.
Mayat-mayat diarak orang ke liang makam.
Kamboja di bumi bermekaran di atas nisan.

Jalan waktu entah lurus atau serupa gelang.
Hujan di masa resi seperti hujan kemudian.
Genangan hikayat menghuni kelok selokan.
Mimpi tak bisa mati menjadi kabut harapan.


9/
Laut telah sekarat dan tiada gema di ranah selatan.
Kapal dan nakhoda di bilik sejarah tidur panjang.
Trowulan tanpa junjungan sejak abadi kehancuran.
Di belakang warung tergeletak bekas keagungan.

Di ceruk bumi tertanam upeti dan jarahan perang.
Trah raja tanpa buntelan harta di candi kematian.
Bekas tahta terpendam menjelma puing warisan.
Emas desa Kemasan dipulung kaum penambang.

Bertandang orang desa ke sawah dan ladang.
Hanyutlah air sumur di serabut sekujur badan.
Terbang seikat padi menguning ke wuwungan.
Arwah leluhur bersila di sepanjang pematang.

Desa-desa merengkuh bayang diri yang hilang.
Sehari sebakul nasi dan secobek sambal bawang.
Dari lincak ada marak senja tenang dipandang.
Semuanya pulang selain keagungan Trowulan.

Binhad Nurrohmat lahir di pedalaman Lampung dan kini bermukim di Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Buku puisinya antara lain Kuda Ranjang (2004) dan Kwatrin Ringin Contong (2014).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi