Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Semesta Karatsu oleh Ahmad Yulden Erwin

Ahmad Yulden Erwin

Pintu

Ada
satu
pintu,
bila dibuka, diriku
akan ikut terbuka.

Ada
satu
pintu,
bila ditutup, diriku
akan tetap terbuka.

Ada
satu
pintu
dalam diriku.



 Jalan Lain Musashi

1
Berkerut kening Daruma
Menatap sepasang angsa
Termenung di sisi telaga

2
Patung dewa pedang
Memandang angkasa –
Tersenyum pada musuhnya

3
Buddha tertawa
Menatap pralaya
Dua ayam jantan

4
Burung pingai tertancap pedang
– Sebuah lukisan tinta, tertanda
Fudo Myo-o (dewa pedang) –

5
Ia letakkan pedangnya
Ia raih kertas, kuas, dan tinta –
Pelikan menatap angkasa


Semesta Karatsu


1/
Tak ada kilat atau tanda api
Kecuali hangus pasir
Atau cemas yang lingsir

Saat kutatap prana berayun di dinding
Cawan itu, sebelum percik dingin
Bermain dalam mataku, menduga-duga

Taksa pada rumpun bambu
Atau padang yang jauh, tentu,
Kau tahu, waktu bisa setipis embun

Atau haru yang rimbun, tetapi kita
Tak mampu menolaknya, semesta hadir
Bahkan dalam sebulir pasir, dan semua

Akan berakhir tepat ketika kita membuka mata

2/
Penafsir Tua, dulu kau pernah berkata
Dunia adalah mimpi di kala jaga, dan kami
Hanyalah bagian dari mimpi lainnya

Namun di sini, kami percaya, dunia tak lain fakta
Atau semacam permainan tanda, atau sekadar
Temaram cahaya, jadi siapa sebenarnya

Kami ini, Penafsir Tua? Apa sebenarnya mimpi ini?

3/
Sayang, apa benar kita masih terjaga?

4/
Misalnya cawan ini adalah mimpimu
Misalnya cawan ini adalah hatimu
Siapa yang akan diam-diam menyentuhmu?

Kami akan pergi malam ini, dan kau akan
Kembali ke lubuk mimpimu, gemetar
Menatap serbuk matcha di dasar cawan itu

Misalnya puisi ini tak lain cawanmu
Misalnya puisi ini tak lain hatimu
Siapa yang akan diam-diam menafsirmu?

5/
Sekarang kita tak perlu lagi bermain jigsaw
Atau menduga siklus cemas itu lahir dari
Jejak lampau, meski di bawah kilau parafin

Maut bisa tiba-tiba hadir dan menyentuh
Sepasang ruas bambu pada dinding cawan itu
Hingga kita mendadak yakin di luar sisa haru

Tinggal kirab angin, atau mungkin takdir
Yang lain, tepat saat murai kuning itu hinggap
Di ranting kaliandra, sebelum kita tertawa

Dan mendadak terjaga dalam mimpi lainnya



Kecambah

Kau
telah tumbuh
di lembah tertinggi,
kau telah luruh
ke puncak terdalam,
kecambah! kecambah!
tumbuhlah, tumbuhlah,
biarkan daunmu
menyentuh tungku matahari,
biarkan kau terbakar,
biarkan kau tinggal abu,
dan dari abumu
tumbuh kembali
kecambah baru,
biarkan
kini
akarmu
menjulur XXXXXmenggali
tanah gembur waktu
l
a
l
u
dari tangkai mungilmu
menyulurlah semesta baru:
sehelai bulu lenganku.


Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi Perawi Tanpa Rumah (2013) dan Sabda Ruang (2015).




Iyut Fitra


Orang-orang Bukit Tui

dalam lingkup kabut. ia bukan orang selatan
yang memecah dan membakar batu kapur
antara rao-rao hingga tanahhitam. udara bercampur sengat asap
“inikah bukit tui?”
ia lihat wanita-wanita perkasa menantang peluh
barisan laki-laki penambang tak akan pulang sebelum petang
berjuang di antara lapar dan sesak napas
lembab gerimis tak reda-reda

ketika hujan tumpah ruah. ia tak sedang di telaga
tapi tahun 1987. bulan ramadhan yang menggamit lebaran
tanah bergulingan dari puncak bukit
pohon-pohon menghalau rumah-rumah dan sawah
lalu orang-orang bercerita di lepau-lepau
di lapangan bahkan surau
tentang seorang kakek tua yang berkunjung sebelum senja
tentang para pejudi yang tiada peduli tinggi hari
tapi ia hanya melihat bayangan cukong-cukong kayu yang bergegas
juga para penebang yang tertawa

ia bukan pencari pakis dan rotan
tapi ia melihat di utara tambang tak lagi ada
orang-orang bukit tui meninggalkan kampung entah ke mana
meninggalkan bukit cinta

Payakumbuh, 2017



Alor dan Gadis-gadis Takpala


matahari bersengat gagah. kemarau memang selalu panjang
sungai-sungai kering dan sempit. melagukan musim berbeda rupa
seolah kisah dua raja yang tercebur ke dalam perang magi
di mana angin topan bergulung-gulung dari pedalaman pegunungan alor
lebah berdengung-dengung dari ujung timur pulau pantar
mengitari sudut-sudut abui dan munaseli. hingga ada pedang yang tercampak
“selalu ada yang kalah! selalu ada yang disimbah darah!”
orang-orang bersorak meratapi kehilangan
orang-orang menekuri kemalangan

tapi di takpala. gadis-gadis terus menari
sebelum masuk ke hutan-hutan
menyerahkan hidup pada pencarian
lihat. rentak kaki dan riuh tetabuhan menyambut kedatangan
moko bertingkahan mengiring kaki-kaki mungil berlingkaran
“ayo menari. marilah menari
lego-lego kita mainkan sebelum hari dijemput malam!”
sejenak mereka lupa cerita-cerita hasil hutan
mereka lupakan pula jalan-jalan tanah serta pendakian

lalu segala susut. waktu setia beringsut
alor pun berjalan menuju masa depan

2017



Anak-anak Pukat


apa daya si tukang pukat
biduk tersorong air laut kering

lagu orang pantai. gemanya pecah di bibir buih
sepanjang pesisir
anak-anak berkulit kelat melawan matahari. anak-anak pukat
yang tak letih menjala-jala hari
sekian depa jaring terkembang. sebegitu pula kadang nasib terjerat
tebuslah peluh demi pembayar utang
lepau nasi. juga teh kopi barang segelas
tapi rantau pariaman adalah cinta pada laut
seasin-asin garam. sekuat terjang pasang
orang-orang tak mengaku kalah pada ombak ataupun gelombang

anak-anak yang bermimpi jadi nakhoda
turun ke bandar-bandar
air bangis, sibolga, bahkan ke ujung singkil
perahu dan pincalang penuh barang
menyinggahi pekan dan harapan
sementara di pantai panas sengat tak redup-redup
entah bila rasian itu akan tiba

anak-anak yang besar dari kaba
dari teluk singalai tabang papan
bidurai putih menghela empat putri
jelita yang lahir dari kebun dan tambang
tapi laut segera beriak. “nan tongga, nan tongga…!”
suara angin berkeriuhan. semisal riuh tabut diarak-arak
“mana kapalmu? usirlah panglima yang datang!”

pantai sepi. pantai tak mati
anak-anak pukat
tak pernah takut pada siang terpanggang
bahu yang melepuh
juga pada topan malam datang

2017


Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Lelaki dan Tangkai Sapu (2017) adalah buku puisi mutakhirnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi