Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
23 Desember 2017
SENO JOKO SUYONO
Di Teater Dionysos, Athena
: Pius Sigit dan Melati Suryodarmo
Oedipus mati meninggalkan wasiat.
Aku tahu ini bukan kuburannya. Tak ada nisan dan kalimat RIP di sini
Namun sore itu aku memaksa diri menjenguk tilas jenazahnya
”Sudah tutup. Besok saja,” kata seorang penjaga.
”Aku hanya ingin melihat tebing Parthenon,” desakku.
”Aku hanya ingin memercikkan abu doa.”
Ketika ia mengizinkan, yang pertama kucari
Adalah kalimat terakhir koor pendita Tiresias yang tak jadi diucapkan
Ia dirahasiakan menjelang festival, dan suaranya disemen di celah-celah
Tempat duduk melingkar, entah barisan mana
Aku maju ke titik tengah
Kutatap kursi-kursi batu yang separuh remuk dan kering
Kucari, kira-kira di mana telinga penonton paling jelas mendengar
Tatkala pemeran Ismene di teater itu dulu berteriak:
Ayah, matamu buta. Untuk apa kemari. Tinggallah di hutan!
Ular Kecil
: St Teresa dari Avila
Mendaraslah, sayang. Akar dedaunan yang membungkus rumah
Melintang masuk – ikut berkhalwat. Aku menyerah kini
Ular kecil yang menyelinap di putaran piringan hitam, kukejar tak bisa
Biar, biar dia tak mengganggu. Itu ular dari biara
Ia suka bernyanyi. Pandai mendesiskan rahasia tersembunyi kastil
Santa yang mengurung diri yang mengirimnya
Ambillah paragraf terakhir renungan ketujuh. Taburkanlah ke sudut-sudut
Kran. Kidungkanlah ke bundel-bundel majalah Mawas Diri-mu .
Agar semuanya wangi. Santa mengirim perkawinan dari kejauhan.
Mendaraslah, sayang. Hibur ingatan-ingatanmu yang kelabu.
Hibur arwah-arwah tetanggamu. Juga sanak saudara yang ada dalam Bibel
Sehari dua hari ini aku, kau, dan ular kecil itu sumarah
Ikan Koki
: Lee Man Fong
Mana yang asli, cara ekor itu meliuk sama
Di bawah sapuan cat, ajal berdenyar
Bila ekor itu terlalu bergoyang
Dan seolah berenang di permukaan terpentin
Tuhan tak berurusan dengan nyawa
Lurik Hijau
Ia mengenakan baju peranakan berlurik hijau.
Pada mulanya adalah sungai. Alur kota ini mengikuti mata air
Kakinya bersila. Ia mengaku mendengar gemericik air di manapun ia
”Surga dihanyutkan hilang
Neraka dicelupkan sirna,”
Ia menembang. Suaranya lirih. Ia bercerita, cabang-cabang sungai
Bagaikan jaringan urat saraf
Siapa yang mengerat dengan silet. Bah meluap. Secepatnya
Seno Joko Suyono pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Tinggal di Bekasi. Mengelola Borobudur Writers and Cultural Festival.
IRMA AGRYANTI
Pengibing
siapa yang datang
setelah kibasan
jari-jari memainkan bayangan
di bawah cahaya bulan
bayangan yang tumbuh
menyentuh pinggul
perempuan dalam tarian
seperti pelancong yang mengintai
kesenangan dan kesepian
ganti berganti
dan tiap kali
sepasang tangan menangkap
kain panjang terjuntai
pengibing membayangkan
sepasang tali kekang kereta
turut serta membawanya
berputar-putar
2017
Pada Sebuah Pentas
seseorang akan tercegat
di sebuah pentas
memainkan mitologi
dari epitaf
topeng, mata penonton
gamelan, suara tembang
seperti monolog
pada pewayangan
ia tarikan kisah yang gelap
seperti umarmaya
menempuh perjalanan
dari peperangan
pada sebuah pentas
ia mematung
di taman rengganis
dengan tubuh bersedekap
2017
Penembang
di tutur, sepagut kisah
di tubir, sebait lagu
kecuali tembang, segalanya jadi bisu
himne masa tua dari masa lalu
suara-suara, di luar burung berkicau
sesenyap kepak sayap kupu-kupu
jalin menjalin
seperti lintingan tembakau
nada sumbang terbantun
ke lingsir waktu
senantiasa menghapal
syair yang dinyanyikan berulang
cerita-cerita dari kitab yang hilang
selantun itu
di manakah sumbernya?
tujuh nada ditiupkan
dari bibir, kebahagiaan memanjat
tergelincir kemudian
2017
Irma Agryanti lahir di Mataram, Lombok. Kumpulan puisi mutakhirnya adalah Kejahatan Ciuman (segera terbit). Bergiat di Komunitas Akarpohon.
RIO FITRA SY
Juru Ketik
Setelah kau lulus sekolah,
pelajaran baru saja dimulai.
Cara memisahkan sambal dari
lauk di surat makan. Cara mencari
rumah orang tua di kantor-kantor
administrasi. Aku mengetik
namamu. Nada piano di udara
lunak. Lonceng keluar main
berdentang diam-diam.
Ketika kau dalam perjalanan
meninggalkan jam kerja, aku
roda bendimu yang mematahkan
diri di pinggang pendakian, aku
pohon tumbang di tengah jalan
saat angin tak ada, aku bagian
dari kecelakaan lalu lintas yang
menjebakmu di persimpangan
yang kau lewati, aku tanah
berlumpur di belokan terakhir
sebelum kau sampai pada
masa kecilmu.
Sebelum kau berangkat
memenuhi semua nota dinas,
kau memeriksa surat masuk.
Kabar baru telah lama kau baca.
Tiba-tiba kau diserang buta huruf.
Tidak tahu membedakan kata
perintah dan kata pinta. Kau
merengek ingin dijebloskan
kembali ke dalam kelas.
Juru Foto
Sore hitam putih di tepi muara
sungai tengah kota. Cahaya
melembutkan setiap jarak pandang.
Di hadapan bayangan yang terbatas
angin lurus kaku. Ia berdiri membakar
kamera sebesar periuk nasi itu, seperti
menyiram dada penuh cemburu.
Di depan kamera, orang-orang
berkelewang tegak pinggang menahan
kumis yang berdenyut. Orang-orang
bercawat dan bersempak lusuh duduk
tegak lutut menahan kedip. ”Apa yang
akan kami lihat di dunia baru, Tuan?”
Juru foto itu melihat suara mengapung
di udara. Warnanya seperti sore yang
hitam putih. Membeku seperti dua
patung saling berkejaran. ”Kau tidak
kunjung aku dapatkan meski kau
telah berhenti berlari.”
Lalu ia mencongkel kedua bola
matanya. ”Astaga! Aku buta.”
Guru Bantu
Cinta kita selamanya bodoh
Menyukai ulangan dan ujian akhir
Selalu menolak untuk tamat
Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Sumatera Barat, 1986. Tinggal dan bekerja di Padang. PanggilanTelepon dari Sikabu (2016) dan Pasien Terakhir (2017) adalah dua buku puisinya.
SENO JOKO SUYONO
Di Teater Dionysos, Athena
: Pius Sigit dan Melati Suryodarmo
Oedipus mati meninggalkan wasiat.
Aku tahu ini bukan kuburannya. Tak ada nisan dan kalimat RIP di sini
Namun sore itu aku memaksa diri menjenguk tilas jenazahnya
”Sudah tutup. Besok saja,” kata seorang penjaga.
”Aku hanya ingin melihat tebing Parthenon,” desakku.
”Aku hanya ingin memercikkan abu doa.”
Ketika ia mengizinkan, yang pertama kucari
Adalah kalimat terakhir koor pendita Tiresias yang tak jadi diucapkan
Ia dirahasiakan menjelang festival, dan suaranya disemen di celah-celah
Tempat duduk melingkar, entah barisan mana
Aku maju ke titik tengah
Kutatap kursi-kursi batu yang separuh remuk dan kering
Kucari, kira-kira di mana telinga penonton paling jelas mendengar
Tatkala pemeran Ismene di teater itu dulu berteriak:
Ayah, matamu buta. Untuk apa kemari. Tinggallah di hutan!
Ular Kecil
: St Teresa dari Avila
Mendaraslah, sayang. Akar dedaunan yang membungkus rumah
Melintang masuk – ikut berkhalwat. Aku menyerah kini
Ular kecil yang menyelinap di putaran piringan hitam, kukejar tak bisa
Biar, biar dia tak mengganggu. Itu ular dari biara
Ia suka bernyanyi. Pandai mendesiskan rahasia tersembunyi kastil
Santa yang mengurung diri yang mengirimnya
Ambillah paragraf terakhir renungan ketujuh. Taburkanlah ke sudut-sudut
Kran. Kidungkanlah ke bundel-bundel majalah Mawas Diri-mu .
Agar semuanya wangi. Santa mengirim perkawinan dari kejauhan.
Mendaraslah, sayang. Hibur ingatan-ingatanmu yang kelabu.
Hibur arwah-arwah tetanggamu. Juga sanak saudara yang ada dalam Bibel
Sehari dua hari ini aku, kau, dan ular kecil itu sumarah
Ikan Koki
: Lee Man Fong
Mana yang asli, cara ekor itu meliuk sama
Di bawah sapuan cat, ajal berdenyar
Bila ekor itu terlalu bergoyang
Dan seolah berenang di permukaan terpentin
Tuhan tak berurusan dengan nyawa
Lurik Hijau
Ia mengenakan baju peranakan berlurik hijau.
Pada mulanya adalah sungai. Alur kota ini mengikuti mata air
Kakinya bersila. Ia mengaku mendengar gemericik air di manapun ia
”Surga dihanyutkan hilang
Neraka dicelupkan sirna,”
Ia menembang. Suaranya lirih. Ia bercerita, cabang-cabang sungai
Bagaikan jaringan urat saraf
Siapa yang mengerat dengan silet. Bah meluap. Secepatnya
Seno Joko Suyono pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Tinggal di Bekasi. Mengelola Borobudur Writers and Cultural Festival.
IRMA AGRYANTI
Pengibing
siapa yang datang
setelah kibasan
jari-jari memainkan bayangan
di bawah cahaya bulan
bayangan yang tumbuh
menyentuh pinggul
perempuan dalam tarian
seperti pelancong yang mengintai
kesenangan dan kesepian
ganti berganti
dan tiap kali
sepasang tangan menangkap
kain panjang terjuntai
pengibing membayangkan
sepasang tali kekang kereta
turut serta membawanya
berputar-putar
2017
Pada Sebuah Pentas
seseorang akan tercegat
di sebuah pentas
memainkan mitologi
dari epitaf
topeng, mata penonton
gamelan, suara tembang
seperti monolog
pada pewayangan
ia tarikan kisah yang gelap
seperti umarmaya
menempuh perjalanan
dari peperangan
pada sebuah pentas
ia mematung
di taman rengganis
dengan tubuh bersedekap
2017
Penembang
di tutur, sepagut kisah
di tubir, sebait lagu
kecuali tembang, segalanya jadi bisu
himne masa tua dari masa lalu
suara-suara, di luar burung berkicau
sesenyap kepak sayap kupu-kupu
jalin menjalin
seperti lintingan tembakau
nada sumbang terbantun
ke lingsir waktu
senantiasa menghapal
syair yang dinyanyikan berulang
cerita-cerita dari kitab yang hilang
selantun itu
di manakah sumbernya?
tujuh nada ditiupkan
dari bibir, kebahagiaan memanjat
tergelincir kemudian
2017
Irma Agryanti lahir di Mataram, Lombok. Kumpulan puisi mutakhirnya adalah Kejahatan Ciuman (segera terbit). Bergiat di Komunitas Akarpohon.
RIO FITRA SY
Juru Ketik
Setelah kau lulus sekolah,
pelajaran baru saja dimulai.
Cara memisahkan sambal dari
lauk di surat makan. Cara mencari
rumah orang tua di kantor-kantor
administrasi. Aku mengetik
namamu. Nada piano di udara
lunak. Lonceng keluar main
berdentang diam-diam.
Ketika kau dalam perjalanan
meninggalkan jam kerja, aku
roda bendimu yang mematahkan
diri di pinggang pendakian, aku
pohon tumbang di tengah jalan
saat angin tak ada, aku bagian
dari kecelakaan lalu lintas yang
menjebakmu di persimpangan
yang kau lewati, aku tanah
berlumpur di belokan terakhir
sebelum kau sampai pada
masa kecilmu.
Sebelum kau berangkat
memenuhi semua nota dinas,
kau memeriksa surat masuk.
Kabar baru telah lama kau baca.
Tiba-tiba kau diserang buta huruf.
Tidak tahu membedakan kata
perintah dan kata pinta. Kau
merengek ingin dijebloskan
kembali ke dalam kelas.
Juru Foto
Sore hitam putih di tepi muara
sungai tengah kota. Cahaya
melembutkan setiap jarak pandang.
Di hadapan bayangan yang terbatas
angin lurus kaku. Ia berdiri membakar
kamera sebesar periuk nasi itu, seperti
menyiram dada penuh cemburu.
Di depan kamera, orang-orang
berkelewang tegak pinggang menahan
kumis yang berdenyut. Orang-orang
bercawat dan bersempak lusuh duduk
tegak lutut menahan kedip. ”Apa yang
akan kami lihat di dunia baru, Tuan?”
Juru foto itu melihat suara mengapung
di udara. Warnanya seperti sore yang
hitam putih. Membeku seperti dua
patung saling berkejaran. ”Kau tidak
kunjung aku dapatkan meski kau
telah berhenti berlari.”
Lalu ia mencongkel kedua bola
matanya. ”Astaga! Aku buta.”
Guru Bantu
Cinta kita selamanya bodoh
Menyukai ulangan dan ujian akhir
Selalu menolak untuk tamat
Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Sumatera Barat, 1986. Tinggal dan bekerja di Padang. PanggilanTelepon dari Sikabu (2016) dan Pasien Terakhir (2017) adalah dua buku puisinya.
Komentar
Posting Komentar