Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Suatu Lawatan oleh Frischa Aswarini

30 September 2017

Frischa Aswarini

Suatu Lawatan

arca batu
terbaca dalam sajakmu
mengirim petunjuk
lewat pudar tubuhnya
dijamah pasang mata peziarah

di bawah sorot lampu
dari lengan patung itu
kau raba zaman yang silam
tapi kadang kesepian
dan lapuk usia terasa

”apakah dari retak pahatan ini
tampak jelas hari depan kami?”
ujar pengunjung museum
dan pembaca sajakmu
yang sambil bertanya
juga menatah sendiri arcanya

dari celah itu
terbias nama-nama,
terbayang rupa ingatan,
kutuk cinta dan pertikaian
yang pernah terasa sebatas kiasan

kau tulis dalam sajakmu:
arca batu museum biru
telah lama
ditinggalkan para dewa
selepas lenyap
dari tanah keramat

kini hendak kulawati
patung itu
yang berdiam
di antara baitmu

diam-diam aku mendoakannya
meniru peziarah lainnya
berharap masih terpendam restu moyang
di kilau samar tiap pahatan
di mana mungkin tersembunyi
cerita yang sejati
tentang takdir si pembangkang,
riwayat para khianat,
tambo yang kita perdebatkan

tapi sebuah patung
seperti juga sajakmu
selalu merekahkan celah
bagi mata peziarah

membukakan rongga dirinya
pada tembus cahaya
tercurah
dari seberkas tanya kita


Taman Minggu

badut di taman itu
dulu kutunggu tiap minggu
dekat tempat perosotan
atau teduh bawah pohonan

pernah kulihat perempuan
di balik badut biru
apa orang yang sama
dengan badut ungu?

dulu ada yang serupa kelinci
terkadang katak biru peragu,
kartun merah muda
yang terlupa namanya

ia mainkan bola dan tongkat ajaib
tapi tersihir mantra sendiri
terbuai di angin taman
hanyut dalam riang anak-anak

di kantungnya yang misteri
mungkin ada gula-gula,
juga sembarang benda dan janji
dipungutnya di bawah kursi
dari sisa semalam
yang diabaikan orang

minggu ini aku kembali
namun tak ada badut lagi
mungkin kelak pun
tak ada taman ini

siapa lagi bakal menghibur
bocah kikuk dalam diriku
siapa akan menari
mengejar balon yang lepas
dari mimpi

di dekat tempat perosotan
di bawah guguran pohonan
yang paling jenaka
adalah sepi
Frischa Aswarini lahir pada 17 Oktober 1991. Ia menyelesaikan studi Sejarah di Universitas Udayana; belajar menulis di Komunitas Sahaja, Denpasar. Buku puisi pertamanya, Tanda bagi Tanya, akan segera terbit.



Kiki Sulistyo

Narcissus Kedua

betapa lembut kerut di bawah matamu
betapa curam lengkung tulang pipimu
gigimu yang tak rapi adalah karang ribuan tahun
dikikis laut garang
alismu kebun lumut yang lembab oleh perumpamaan
terompet purba adalah hidungmu yang jenaka
sementara telinga, sepasang layar gemetar di hadapan
fatwa-fatwa.

rambutmu hutan pakis di musim kering
lehermu papan penghabisan iklan cetak
sedang dadamu dataran bekas pertempuran
dengan gundukan kertas di bawahnya
tanganmu tongkat bagi si pemotret paras sendiri
perutmu dinding tempat pikiran dituliskan
sedang kakimu dua kolom vertikal di sebuah
pulau tempat para pengintai bersarang.

(Bakarti, 2017)


Gradasi
pisau angin meleset dan lontaran cahaya gemetar
di pundak anakku yang tertidur dalam demam

kusaksikan mimpinya bertingkat-tingkat bagai
rumah susun yang penuh teriakan

aku sendiri meleleh seperti cat di permukaan kanvas
membentuk tekstur kasar ketika kuas membilas

aku ingin anakku terjaga dan melihat gradasi warna
di langit-langit kamar, aku ingin ia mengira kesembuhan telah

memanggilnya dengan suara yang mirip suara bapaknya:
sebatang pohon tua yang bertahan dari kapak di luar sana

(Bakarti, 2017) 


Kuda Surai Rima
kaupacu kuda surai rima, ke arah krama
di simpang kau berpaling ke samping
mengira ada penguntit dengan teropong kulit
atau penipu yang menyamar rambu baru.

kau genapkan hitungan di buku jarimu
halaman pertama untuk dosa para pemula
halaman terakhir untuk surga yang kedap suara
antara keduanya hanya ada kolom hampa

terbuka bagai terungku tanpa ketukan palu.

kerap kaudengar derap, bukan dari kaki aksara
bukan dari kelebat kalimat yang sesekali lewat
tapi dari gema senyap yang lenyap sebelum lengkap.

itulah siksa bagimu, melebihi neraka tanda baca
bagi mereka yang lalai, mereka yang luput
pada yang tak disebut.

tapi kaupacu terus kuda surai rima
lurus dan tembus ke arah krama
sampai seluruh makna luruh
jadi bunyi semata.

(Majapahit, 2017)


Porselin Ong
– Ong Pei Er


Aku tak bisa melihat suaramu.           Meski obor dari Johor menerangi lidahku.Hanya remah bunyi membentuk bintik merah pada kulitmu yang telah dewasa.
            Seberapa tua usia bahasa hingga ketika tiba pada panggung sandiwara diperlihatkannya punggung semata. Dan pemirsa mesti membaca dari arah yang tak disangka-sangka.            Seperti berita atau cerita bahwa yang pertama tiba di pelabuhan adalah orang-orang Melaka.          Sekumpulan leluhur, menanam semua yang luhur dan membiarkannya tumbuh subur          menjadi pohon kemakmuran.

Buah dari pohon itu kau bawa ke panggung. Tubuhmu porselin.
Memantulkan lengking anjing dari galaksi asing.

Aku tertidur di galaksi itu.             Bermimpi rombongan opera cina memainkan nomor lama perihal cinta yang patah kakinya.           Rambutku memutih seketika. Biru mata lampu mengenai kuku.            Gerhana bulan menimbulkan gelombang pasang pada sisik naga.                        Lalu kau dilahirkan. Begitu kosong. Bagimu diletakkan kertas kuning Hu.                     Maka jadilah kau Ong.
                            Tepat ketika seorang pelakon melihat ekor meteor melintas bimasakti. Aku pun berdiri.                                        Menyaksikan bumi yang kembar.
                                                                                Bertengkar di pupil matamu.

(Kekalik, 2017)

Kiki Sulistyo lahir di kota Ampenan, Lombok. Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (2017) adalah kumpulan puisinya yang terbaru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi