Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Paduka Berhala oleh Ramoun Apta



Ramoun Apta

Paduka Berhala
Kubiarkan nyamuk-nyamuk kegelapan
Menambang darahku di luar asap damar.

Kubiarkan sulur-sulur senja
Mengupak hasratku di atas api kesunyian.

Kubiarkan rebus batu kuap
Rendang sapiku dan kacang panjang.

Kubiarkan gulai tunjang dan sambal teri
Gado-gado air suling dan putih nasiku.

Segala kecap di ujung ratap,
Segala serat di tulang singkap,

Kubiarkan lambung panas mengurai spageti
Sebagai vampir di bawah jam tidur matahari.
Muarabungo, 2017


Kemoceng
Tak ada debu matahari di lantai ini.
Tak ada badai kuaci di meja ini.

Selimut debu
Hablur di angin lalu.

Dengkur melembing
Di ujung baring.

Seujar angin lalu
Bersilat di lubang pintu.

Di ekor kucing persia kini cuma ada klakson jangkrik
Bergetar seperti remuk api di kepala busi.
Muarabungo, 2017


Kerupuk
Santap aku dengan kuah pical dan saus tomatmu
Tegaskan gigit sebelum pecah darah dalam derukmu.

Lempar aku ke relung perut hitam kucing jantanmu
Tetak ngiau sebelum serat meliputi prasangkamu.

Retas aku dengan tanda seru dalam nadimu,
Tandai kerapuhanku sebelum detak waktu remuk batu.
Muarabungo, 2017


Caluk
Tak perlu udang di balik batu
Bila ingin memancing ikan di laut jantungku.
Tak perlu harimau di balik pintu
Bila ingin memangsa rusa di rimba hatiku.
Muarabungo, 2017


Orang Dusun
Orang dusun lebih memahami
Kenapa serumpun betung yang tumbuh di bibir jurang
Lebih mampu membendung tanah longsor
Ketimbang berbatang-batang kayu rengas di puncak bukit.

Orang dusun lebih mengerti
Kenapa giam dan keruing
Lebih mampu mengambang bertahun-tahun di atas Batanghari
Ketimbang setongkang kayu gabus.
Muarabungo, 2017

Ramoun Apta lahir di Muarabungo, Jambi, 26 Oktober 1991. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang, ini sedang melanjutkan studi pascasarjana di universitas yang sama. Ia bergiat di Labor Penulisan Kreatif (LPK).



Yona Primadesi

Tragedi Kampung Janda, 1983
Di Krakas, langit semendung hatimu
saat suamimu dihajar peluru,
dan ayahmu terperangkap nyala api.

Sementara udara Agustus
satu-satunya pakaian perkabungan
ketika pijar merah meletup dari kepala

dan dada anak laki-lakimu, atau
popor senjata meninggalkan surih
di antara pahamu, jadi jalur

sunyi monumen tanpa pemuja.
Tapi di tempat terpencil begini
kau hanya bisa teriak atau

terisak gemelugut. Tak ada yang
akan menyelamatkanmu, mengingatmu,
atau menginventaris nama anak laki-lakimu

pada catatan kaki sebuah buku panduan
kemanusiaan – sekadar ucapan belasungkawa.
Antara ranum buah ampupu di Bibileu

kau arak sisa ingatan, sembunyi
dari aroma mesiu, pekat asap, dan
gelegar hijau – mengubur masa lalumu.

Sesekali kau terpaku, kabut merayap
di matamu, ingat saat mereka seret
tubuh laki-laki di kampungmu

umpama sampah dari sebuah sejarah
hingga bau sangit, anyir darah, atau
jumlah tengkorak, semata pengingat.

Dan mereka menyebutnya, pembalasan!
2017


Peta Masa Silam, 1975

Sebab takdir menjelma
laung seekor gagak
menaksir hayatmu
di tarikh almanak.

Peta silam pun digulung
jarum firasat ditenangkan
berpalinglah penantian
dari tepi pesisir itu.

Mereka telah menyiapkan
riwayatmu di tumpuk batu
bersama makam kosong
sebagai duka yang hampa.

Hingga tutup matahari
awan mendung serta air mata
dan doa yang lelah adalah
bunga melepas tangkainya.

Sahajanya jarak
adalah maut itu
berbentang selat
dan seperdua abad.

Kau pasti muskil percaya
takdir pula yang membuka
gulungan masa silam
peta yang buram itu.
2017


Indeks Salah Catat, 1998
/1/
Tanganmu tak cukup cekatan
menghapus nama putramu dari
halaman indeks buku sejarah.
Suaramu juga tak senyaring

mesin sedot debu di gedung
pemerintah, rapikan sobekan
arsip dari ruang bawah tanah.
Kau masih saja bertanya,

“Di mana anak-anak kami?”
meski langit kamis selalu sama
dua dekade simpan rindu
bagai sepotong tali di lehermu.

/2/
Tubuh mereka teridentifikasi
dalam pose kejang saat tinju
sekuat palu menghantam perut

garis sayat merias pelipis
otot-pitam satu-satunya hiburan
dari efek linglung sebelum butir

peluru jadi bonus tiket kesunyian.
Nama-nama jadi kabar burung antara
berkas kerja dan pidato penuh melankoli.
2017


Berseluncur dalam Dongeng
Dongeng timbul dari alkisah gua
julurnya kira-kira seekor melata.

Gadis kecil rebah di ranjang
dielus kulitnya sambil dibisiki.

Dalam tidur ia sudah ditelan dongeng
ia meluncur bagai di lorong usus.

Mencuat dari buntut dongeng
ditadah keramaian antah-berantah.

Ia pangling bertemu wajahnya
di bermacam badan dan usia.

Semua lalu mengenalkan muasalnya
dari zaman silam hingga masa depan.
2017



Yona Primadesi lahir di Padang, Sumatera Barat. Saat ini, ia aktif dalam kegiatan literasi untuk anak. Buku puisi pertamanya adalah Percakapan di Beranda (segera terbit).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi