Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Het Rijksmuseum Amsterdam oleh Kurnia Effendi

7 Oktober 2017




Kurnia Effendi


Het Rijksmuseum Amsterdam

Sejumlah abad berdiang di sini
Dihangatkan kembali
Menyala berulang kali, dalam
gemeretak arang memori

Dalam miniatur dan replika:
Kapal-kapal tua membawa berbagai
bangsa, muasal roda, bunyi musik purba,
perang dan huru-hara, para pembawa
risalah, dan rute panjang
perjalanan rempah-rempah

Tegak dalam susunan, pedang-pedang
yang lebih panjang ketimbang jangkung hulubalang
: kepala siapa pernah dipenggal?
Setelah dikawal dari sel dan istal

Porselen lantai dengan tera nila
Adalah moyang seluruh keramik yang dipajang
Wadah lilin dan cangkir-cangkir bangsawan
membisu. Tak tergusur umur

Apa yang mereka – benda-benda itu – ingin
saksikan dari tubuh dan zaman kita?

Amsterdam, 2017


Museum Volkenkunde

Kutemukan Durga dan Ganesha, jauh
dari reruntuhan Singhasari
Bebatu itu masih menyimpan tilas juru pahat
Dan kepingan ingatan

Mungkin Mahisa Agni dan Empu Bojong Santi
pernah ada. Dalam gulita. Tertera samar di daun lontar
Atau terlempar dari pergunjingan para pendekar

Di sini, masa lalu mendapat tempat
Bukan hanya dalam laci terkunci
Para dewa masih mengisap udara
empat musim. Di antaranya penuh warna tulip

Kutemukan sosok tipis dari epos yang panjang
Meski hanya Sri Kresna atau Samiaji yang bijak
Aku dengar perang Kuru berdencing-dencing
mengadu logam dan batu
Di tempat asalnya: tinggal debu
Dan suara yang tak merdu

Aku mencatatkan nama
Agar sekali-dua boleh anjangsana
Menciumi makam titimangsa

Leiden, 2017
Catatan: Mahisa Agni dan Empu Bojong Santi adalah tokoh cerita dalam roman sejarah karya SH Mintardja, Pelangi di Langit Singosari.


Life Drawing
– Koes Komo

Sehabis gerimis, kami menyeberang ke Noord
Amsterdam tampak segar: mencipratkan air
dari rambutnya ke berbagai arah

Dari pagar sejauh 100 meter, kukenali
aroma pelukis. Ia melambaikan tangan
Seperti menggambari udara
Menunjukkan jalan

Di atelier, delapan seniman berbualan
Kopi dijerang sepanas percakapan
Secarik papir menggulung tembakau rajangan

Model telanjang itu tak datang
Tapi bukan berarti kami pulang

Kami memindahkan tubuh, pikiran gaduh,
ekspresi wajah, lipatan kerah,
muskularis lengan dalam gelap-terang,
ke atas kertas kasar dengan pensil arang

Dalam lingkaran ini ada teater yang tenang
Gadis pirang itu mengarsir wajahku
Dan kerut kain yang membungkus lutut

Model perempuan telanjang itu tak datang
Sampai kami sepakat pulang

Amsterdam, 2017


Mawar Kuning di Beranda

Hujan mempercantik kelopaknya
Menjelang akhir pekan ia siapkan busana
Barangkali seorang pangeran akan datang
Tanpa baju perang

Pemilik pintu itu bukan seorang tunarungu
Ia mendengar, bahkan tambur jantungmu
Mendekati hari Minggu
Dengan kuda dan langkah sepatu

Membiarkan sang perawan jelita tersipu
Adalah bagian dari pertunjukan itu
Kekasih yang tampan mengamankan mantel bulu
Dari duri mawar yang cemburu

Hujan begitu cermat menghapus kabarmu
Dari debu dan kicau burung musim lalu
Surya membilas rambut dan pelipismu
Agar kian terbaca berahi di matamu

Den Haag, 2017



Kafe Belgie
– Abbot Husin Halim

Di teras Kafe Belgie kami bersulang
Bir dingin mencium anggur merah

Lalu kami dengar nyanyian
Dari biduan kulit hitam
Kami terisap jauh ke masa silam

“Kau terganggu?” tanya si piatu
Tentu tidak.
Lihatlah, bahkan aku ingin berdansa

Senja menaklukkan kesedihan
Sepanjang Oudegracht yang ramah
Air kanal tak mengalir, kapal-kapal
pelahan melintas bergilir

“Ini lagu favoritku,” katanya lagi. Seperti
sedang mabuk di abad lalu

“Ayahku seorang militer yang jeri. Tak pernah
ingin terlibat perang. Dengan menembak
kaki sendiri, ia memaksa diri pulang.”

Kini bukan hanya senandung
Tetapi juga percakapan mendayu
Yang lambat-laun menjadi abu

Utrecht, 2017


St Martin’s Domkerk, Anno 1254

Kupandang sisa gereja yang anggun
Sisi wajahnya pias ditimpa cahaya

Alun-alun kecil ini pernah jadi tempat misa
Diambil Tuhan dengan tangan badai
untuk lesehan para malaikat di tepi surga
(yang di bawahnya mengalir kanal-kanal)

Genta telah lama tak berkeloneng
Tetapi para pendoa dan pendosa selalu setia
Dengan masing-masing cara berhikmat

Wajah tirus menyunggi mahkota Gothik
Menghibahkan matahari ke halaman taman
Orang-orang boleh memanjat rongga kepalanya
Hingga puncak atrium yang agung

Dari sana kau akan melihat
Sehampar riwayat sejarah yang pucat
Membedakan siapa kesatria, siapa khianat
Keduanya mengaku jemaat

Utrecht, 2017



Hardebollenstraat

Di jalan sempit ini tak ada lagi
penghibur. Mereka yang berdiri
setengah telanjang, telah jauh kabur

Rumah bordil mengubah paras
jadi toko-toko necis. Tak ada sisa gincu
Tak tertinggal bau peju

Pada senja yang terlambat:
Terakota ini dingin dan sunyi
Kehilangan suit dan panggilan genit

Dan Minggu lekas berlalu
Membersihkan diri dari pilu
Yang ditanggung masa lalu

Utrecht, 2017


Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, 20 Oktober 1960. Telah menerbitkan 21 buku (puisi, cerpen, esai, novel, memoar). Mengikuti program residensi penulis dari Kemendikbud RI tahun 2017, memilih negeri Belanda untuk riset penggarapan novel tentang Raden Saleh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi