Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Gunawan Maryanto
18 November 2017
Asma Kinarya Japa
Nama-namamu Menjadi Doaku
1
Dukamu tidak abadi, kan?
Itu hanya terjadi dalam sebaris puisi
Atau igauan seorang majenun
Namamu barangkali, dalam ingatanku
Sungguh aku tak ingin jatuh cinta
Udara memburuk
Cahaya meredup
Ia terlalu mencemaskan
2
Ambil wayang itu, Nak
Raksasa hutan yang sedih
Atau punakawan yang jenaka
Nanti kita mainkan dan
Kelir kita bentang
Untuk malam kita yang tak panjang
Sudah kautemukan mereka dalam kotak?
Upacara akan segera dimulai
Nama-nama mesti diruwat
Ya, namamu juga
Agar suatu kali kita bisa bermain lagi
3
Odong-odong kita telah siap
Lampu-lampumu menyala
Lampu-lampuku menyala
Inti malam tengah kita masuki
Entah siapa duluan sampai
4
Seminggu kaukenakan baju-bajuku
Untuk duduk di samping gudang
Maaf aku tak bisa menemanimu
Akhirnya kematian yang datang
Ringan membawamu pergi
Tak kubaca isyarat rindumu
Orang lain yang menemukannya
5
Tiga puluh tahun membatu
Rumput tumbuh di sekujur tubuhmu
Ingatan adalah kupu-kupu yang terbang
Pada sore yang lengang
Umpama aku tak pergi mungkin kau tak pergi
Roboh pohon melinjo belakang rumah
Nasibnya menimpa seisi kolam
Aku datang di Minggu yang tenang
Minggu yang tak pernah pergi lagi
Ingatan adalah kupu-kupu yang terbang
6
Fobia menggantung di langit kamarmu
Abai pada waktu atau
Rabu yang tak tentu
Aku tak ada di sana, percayalah
Hanya dingin yang seperti abadi
Wah, malam ini gelap sekali
Aku di sini menyusun namamu
Rajah yang mudah dibaca
Dengan hati terbuka
Ajag bagi malam yang kesepian
Nubuat sederhana
Ibar-ibar di sungai kecil saja
7
Sajak-sajak lawas
Rawa-rawa yang tak bisa diselami
Ingin kutulis kembali
Que sera sera nyanyimu membuka
Adegan pertama juga terakhir
Drama Erendira dan angin petakanya
Ambang antara tidur dan jaga
Rumah yang tiba-tiba terbakar
Impian yang tak pernah menjadi nyata
Angin jahanam yang keburu merajam tubuhnya
Tak ada yang tersisa barangkali
Ingatan bahkan terkubur dalam
Nyanyian angin Oktober yang santer
8
Kembang sepasang datang
Ambal digelar sepanjang petang
Larik-larik puisi itu jatuh
Ya, jadi sepasang tubuh
Anjani dan Amba
Rintik hujan melintas
Ilalang menahan cemas
Samadimu, Anjani
Amarahmu, Amba
Nyala cinta tak.mati-mati
Gemetar dendam tak sudah-sudah
Di Telaga Madirda di Tegal Kuru
Angin berhenti menderu
Rumputan diam membeku
Untuk sepasang kembang yang datang
9
Yuwana kita habiskan
Untuk keabadian? Bukan
Dramamu adalah keriuhan
Ikal kenyataan berkelindan
Aku berlarian menemu bentuk
Hadir dalam segenap ruang
Menjadi apa yang seharusnya
Aktor, penulis, sutradara
Dan seorang pejalan
Tumbuh adalah kata-kata yang kautanam
Awal seluruh perjalanan
Je, tak bisa kuringkas kau dalam berkas
Ular-ularmu panjang tak berbatas
Dunia yang kita tatap
Imbal sedari awal
Nyeri sedari lahir
10
Duduk di taman kota
Ini malam Gangga beralih rupa
Nyalang menatap bintang-bintang
Air mengalir dari sekujur tubuhnya
Oh, Santanu yang meragu
Kuhanyutkan bayi-bayiku
Tubuhku bukan rumah
: Aliran sungai tanpa arah
Venus yang tersisa pada pagi
Ia tahu yang sungguh terjadi
Anjing itu mati di jalanan
Nama itu menjadi sepi
Ia tengah jatuh cinta
Celeng Sarenggi
Celeng Sarenggi, Celeng Sarenggi
Menunggulah kau sampai kebas
Bocah gimbal yang menari-nari
Bocah bajang yang mabuk kepayang
Celeng Sarenggi, Celeng Sarenggi
Sembunyilah kau di sini
Di rimbun daun ketela
jari-jari yang pernah mengelus
punggungmu
Malam masih lama
Kakimu mati rasa
Tapi bocah bajang itu
Ia tak kenal waktu
Selo Blekithi 2
Sudah pagi lagi
Semut berarak kembali
membelah bebatu
Selo blekithi sekali lagi
Perang kembang segera dimulai
Di jalanan
Diiringi riuh knalpot gaduh
Lalu jatuh sebuah sore
Memar seluruh tubuhnya
Dan kuku-kuku menjelma kunang-kunang
Terbang di atas kepala peri yang duduk
cemberut di kursi hijau lumut
Menanti pagi mengulang
seluruh kematian
Hantu Perempuan
Aku hantu yang berulang bunuh diri
Di kamar yang sama
Di waktu yang sama:
antara membereskan halaman
dan belanja mingguan
Aku hantu yang gagal
bahkan untuk meringkus diri
dalam sekotak kardus
Aku tinggal di gunting rumput
Aku tinggal di kereta belanja
Hantu Laki-laki
Aku hantu yang gagal menghilang
Selalu kelihatan di bawah sofa
Persetubuhan yang tergesa
Pembunuhan yang sia-sia
Kapal Kertas
Mari berlayar
Perahu kertas ini akan membawamu
: dunia tanpa warna.
Rentangkan tanganmu
Sambut angin seperti ibumu
: menuang sore pada secangkir teh
Jeda yang Ajaib
: dsr
Dalam jeda yang singkat
ingin kutulis pesan
atau barangkali panggilan
: nama atau sebuah kalimat
– sebelum hilang bau tubuhmu
Untuk jeda yang tiba-tiba
cerita cinta bisa jadi apa saja
ingatan jumpalitan berebut tempat
Rebut saja yang sanggup
Ambil saja yang mewujud
Hari ini mungkin pertama
Malam ini mungkin terakhir
Ambil seluruh yang mungkin
Waktu sedang cemburu
atau membencimu
Tapi demikianlah
Ini semua berlangsung
dalam jeda yang ajaib
Gunawan Maryanto adalah seniman mukim Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Kembang Sepasang (2017) adalah kumpulan puisinya yang terbaru.
18 November 2017
Asma Kinarya Japa
Nama-namamu Menjadi Doaku
1
Dukamu tidak abadi, kan?
Itu hanya terjadi dalam sebaris puisi
Atau igauan seorang majenun
Namamu barangkali, dalam ingatanku
Sungguh aku tak ingin jatuh cinta
Udara memburuk
Cahaya meredup
Ia terlalu mencemaskan
2
Ambil wayang itu, Nak
Raksasa hutan yang sedih
Atau punakawan yang jenaka
Nanti kita mainkan dan
Kelir kita bentang
Untuk malam kita yang tak panjang
Sudah kautemukan mereka dalam kotak?
Upacara akan segera dimulai
Nama-nama mesti diruwat
Ya, namamu juga
Agar suatu kali kita bisa bermain lagi
3
Odong-odong kita telah siap
Lampu-lampumu menyala
Lampu-lampuku menyala
Inti malam tengah kita masuki
Entah siapa duluan sampai
4
Seminggu kaukenakan baju-bajuku
Untuk duduk di samping gudang
Maaf aku tak bisa menemanimu
Akhirnya kematian yang datang
Ringan membawamu pergi
Tak kubaca isyarat rindumu
Orang lain yang menemukannya
5
Tiga puluh tahun membatu
Rumput tumbuh di sekujur tubuhmu
Ingatan adalah kupu-kupu yang terbang
Pada sore yang lengang
Umpama aku tak pergi mungkin kau tak pergi
Roboh pohon melinjo belakang rumah
Nasibnya menimpa seisi kolam
Aku datang di Minggu yang tenang
Minggu yang tak pernah pergi lagi
Ingatan adalah kupu-kupu yang terbang
6
Fobia menggantung di langit kamarmu
Abai pada waktu atau
Rabu yang tak tentu
Aku tak ada di sana, percayalah
Hanya dingin yang seperti abadi
Wah, malam ini gelap sekali
Aku di sini menyusun namamu
Rajah yang mudah dibaca
Dengan hati terbuka
Ajag bagi malam yang kesepian
Nubuat sederhana
Ibar-ibar di sungai kecil saja
7
Sajak-sajak lawas
Rawa-rawa yang tak bisa diselami
Ingin kutulis kembali
Que sera sera nyanyimu membuka
Adegan pertama juga terakhir
Drama Erendira dan angin petakanya
Ambang antara tidur dan jaga
Rumah yang tiba-tiba terbakar
Impian yang tak pernah menjadi nyata
Angin jahanam yang keburu merajam tubuhnya
Tak ada yang tersisa barangkali
Ingatan bahkan terkubur dalam
Nyanyian angin Oktober yang santer
8
Kembang sepasang datang
Ambal digelar sepanjang petang
Larik-larik puisi itu jatuh
Ya, jadi sepasang tubuh
Anjani dan Amba
Rintik hujan melintas
Ilalang menahan cemas
Samadimu, Anjani
Amarahmu, Amba
Nyala cinta tak.mati-mati
Gemetar dendam tak sudah-sudah
Di Telaga Madirda di Tegal Kuru
Angin berhenti menderu
Rumputan diam membeku
Untuk sepasang kembang yang datang
9
Yuwana kita habiskan
Untuk keabadian? Bukan
Dramamu adalah keriuhan
Ikal kenyataan berkelindan
Aku berlarian menemu bentuk
Hadir dalam segenap ruang
Menjadi apa yang seharusnya
Aktor, penulis, sutradara
Dan seorang pejalan
Tumbuh adalah kata-kata yang kautanam
Awal seluruh perjalanan
Je, tak bisa kuringkas kau dalam berkas
Ular-ularmu panjang tak berbatas
Dunia yang kita tatap
Imbal sedari awal
Nyeri sedari lahir
10
Duduk di taman kota
Ini malam Gangga beralih rupa
Nyalang menatap bintang-bintang
Air mengalir dari sekujur tubuhnya
Oh, Santanu yang meragu
Kuhanyutkan bayi-bayiku
Tubuhku bukan rumah
: Aliran sungai tanpa arah
Venus yang tersisa pada pagi
Ia tahu yang sungguh terjadi
Anjing itu mati di jalanan
Nama itu menjadi sepi
Ia tengah jatuh cinta
Celeng Sarenggi
Celeng Sarenggi, Celeng Sarenggi
Menunggulah kau sampai kebas
Bocah gimbal yang menari-nari
Bocah bajang yang mabuk kepayang
Celeng Sarenggi, Celeng Sarenggi
Sembunyilah kau di sini
Di rimbun daun ketela
jari-jari yang pernah mengelus
punggungmu
Malam masih lama
Kakimu mati rasa
Tapi bocah bajang itu
Ia tak kenal waktu
Selo Blekithi 2
Sudah pagi lagi
Semut berarak kembali
membelah bebatu
Selo blekithi sekali lagi
Perang kembang segera dimulai
Di jalanan
Diiringi riuh knalpot gaduh
Lalu jatuh sebuah sore
Memar seluruh tubuhnya
Dan kuku-kuku menjelma kunang-kunang
Terbang di atas kepala peri yang duduk
cemberut di kursi hijau lumut
Menanti pagi mengulang
seluruh kematian
Hantu Perempuan
Aku hantu yang berulang bunuh diri
Di kamar yang sama
Di waktu yang sama:
antara membereskan halaman
dan belanja mingguan
Aku hantu yang gagal
bahkan untuk meringkus diri
dalam sekotak kardus
Aku tinggal di gunting rumput
Aku tinggal di kereta belanja
Hantu Laki-laki
Aku hantu yang gagal menghilang
Selalu kelihatan di bawah sofa
Persetubuhan yang tergesa
Pembunuhan yang sia-sia
Kapal Kertas
Mari berlayar
Perahu kertas ini akan membawamu
: dunia tanpa warna.
Rentangkan tanganmu
Sambut angin seperti ibumu
: menuang sore pada secangkir teh
Jeda yang Ajaib
: dsr
Dalam jeda yang singkat
ingin kutulis pesan
atau barangkali panggilan
: nama atau sebuah kalimat
– sebelum hilang bau tubuhmu
Untuk jeda yang tiba-tiba
cerita cinta bisa jadi apa saja
ingatan jumpalitan berebut tempat
Rebut saja yang sanggup
Ambil saja yang mewujud
Hari ini mungkin pertama
Malam ini mungkin terakhir
Ambil seluruh yang mungkin
Waktu sedang cemburu
atau membencimu
Tapi demikianlah
Ini semua berlangsung
dalam jeda yang ajaib
Gunawan Maryanto adalah seniman mukim Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Kembang Sepasang (2017) adalah kumpulan puisinya yang terbaru.
Komentar
Posting Komentar