Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Kompas, 16 September 2017
Mustafa Ismail
Tirom
di kampung kami, selalu ada senja yang lumer di atas air payau
perempuan-perempuan menadah matahari untuk terbit esok pagi
sebelum mereka berhasil meringkus mulut kuala dan kolam ikan
untuk ditimang-timang di atas pualam.
sebelum mimpi benar-benar tamat, mereka telah tiba di tubir tebat
kau akan tahu betapa perihnya sayatan ketika disiram asin laut
cahaya selalu berpendar di atas ombak, bukan di jemariku
yang lentik dengan seribu kunang-kunang yang riang
kota-kota yang selalu menyusup dalam tidurmu,
dengan lampu-lampu tak pernah berhenti kedap-kedip,
hanya ada di ujung jempol kakimu yang tergores rumah karang
lalu diasinkan gelombang
tidak di kilatan lampu bus-bus yang terburu-buru ke timur
membawa anak-anakmu berlayar
juga tidak di kereta yang terengah-engah
mendaki Seulawah menuju ke Darussalam
rumah-rumah yang digambar anak-anak di dinding kamar
selalu menjelma kupu-kupu setiap kali mereka bercinta dengan senja
itulah yang membuat langit lebih gegas benderang
sebelum azan subuh berkumandang dari meunasah kampung
matahari sering ingin terbit lebih awal
tapi selalu saja mata mereka lebih tajam dari cahaya
membuat tubuh-tubuh itu melayang di jalan-jalan berkerikil
seperti bergurau dengan nasib yang nihil
tapi tawa itu tak pernah lepas sebelum pinggang kuyup
dan jari-jari menggigil
kau ingat, suatu malam seseorang pergi dijemput elang
dan tak pernah pulang
mereka telah disekolahkan, katamu, sambil menahan tubuh
yang tak lagi bisa gemetar setiap mendengar suara letusan
atau membaui aroma kematian
di lampoh soh, lorong pasar, juga jalan raya
kita menemukan tubuh-tubuh yang rebah
sambil terus berzikir dalam diam
saat itulah payau-payau dan asin kuala kesepian
nasi di piringmu seperti dusun yang ditumbuhi alang-alang
tapi mereka adalah perempuan-perempuan yang pintar menyimpan air mata
di tengah tangis anak-anak meski sang lakoe tak mungkin lagi pulang
mereka pun menjadi bapak bagi perahu yang kesepian.
Banda Aceh, 16 Mei 2017
Mie Caluek
kita seperti meniti jembatan waktu:
dimulai dari sebuah sketsa tua,
dari sebuah kampung yang sempat binasa,
senja seperti bongkahan pelangi berayun-ayun sehabis hujan
melempar kau ke sini:
aha betapa riang burung-burung di jendela
dari kampung-kampung yang sempat kau benci
karena lelakimu terkubur di makam-makam rahasia
kita tetap menulis pesan ini:
wahai boh hate ma tetaplah kau melukis para bidadari
di sepanjang jalan berdurimu, dengan berbinar,
seperti melumat asi dari payudaraku.
kau tetap merawat rindu seperti meninabobokan si kecil
yang selalu bertanya bapak yang hilang ditelan hujan,
dengan air mata ditahan, sebab langit tidak perlu tahu
tentang ledakan gunung dalam dadamu, kecuali satu hal:
ketika senja menindihmu dengan nafas memburu
kau harus segera mengeluarkan rencong dari sarungnya dan
kalian menari di udara seperti sepasang merpati sedang jatuh cinta
seperti sore itu, aku melihatmu menari-nari di atas kota
di bawah gerimis dan matahari yang redup
mereka berenang-renang dalam piring pualam
sambil membayangkan kampung-kampung yang dulu murung
dalam hamparan ranting kuning mirip tali-temali
matamu mengerjap-ngerjap merawat rindu.
segalanya boleh pergi, katamu, kecuali dada ini.
Banda Aceh, 15 Mei 2017
Mata Pisau dalam Lukisan
: The Missing Rooms #7 Jeffrey Sumampouw
seperti mata pisau,
helai-helai rambutmu
mengiris-iris kanvas itu
seperti mencakar-cakar
dengan warna-warna yang tawar
ia membentuk bola-bola api yang melesat
dalam mantra-mantra dengan tarikan biru,
merah dan ungu
cinta adalah sepasang doa yang bertalu-talu:
penari yang bergerak di malam buta
mendaki tangga demi tangga
setiap senja, di ruang itu
mata pisau seperti bekas sepatu
yang kekal di balik pintu
dengan bibir penuh gincu
menyusup ke dalam aortamu
Depok, 2016/2017
Mustafa Ismail lahir di Aceh, 1971. Buku puisinya yang terbaru adalah Tuhan, Kunang-kunang & 45 Kesunyian (2016).
Mustafa Ismail
Tirom
di kampung kami, selalu ada senja yang lumer di atas air payau
perempuan-perempuan menadah matahari untuk terbit esok pagi
sebelum mereka berhasil meringkus mulut kuala dan kolam ikan
untuk ditimang-timang di atas pualam.
sebelum mimpi benar-benar tamat, mereka telah tiba di tubir tebat
kau akan tahu betapa perihnya sayatan ketika disiram asin laut
cahaya selalu berpendar di atas ombak, bukan di jemariku
yang lentik dengan seribu kunang-kunang yang riang
kota-kota yang selalu menyusup dalam tidurmu,
dengan lampu-lampu tak pernah berhenti kedap-kedip,
hanya ada di ujung jempol kakimu yang tergores rumah karang
lalu diasinkan gelombang
tidak di kilatan lampu bus-bus yang terburu-buru ke timur
membawa anak-anakmu berlayar
juga tidak di kereta yang terengah-engah
mendaki Seulawah menuju ke Darussalam
rumah-rumah yang digambar anak-anak di dinding kamar
selalu menjelma kupu-kupu setiap kali mereka bercinta dengan senja
itulah yang membuat langit lebih gegas benderang
sebelum azan subuh berkumandang dari meunasah kampung
matahari sering ingin terbit lebih awal
tapi selalu saja mata mereka lebih tajam dari cahaya
membuat tubuh-tubuh itu melayang di jalan-jalan berkerikil
seperti bergurau dengan nasib yang nihil
tapi tawa itu tak pernah lepas sebelum pinggang kuyup
dan jari-jari menggigil
kau ingat, suatu malam seseorang pergi dijemput elang
dan tak pernah pulang
mereka telah disekolahkan, katamu, sambil menahan tubuh
yang tak lagi bisa gemetar setiap mendengar suara letusan
atau membaui aroma kematian
di lampoh soh, lorong pasar, juga jalan raya
kita menemukan tubuh-tubuh yang rebah
sambil terus berzikir dalam diam
saat itulah payau-payau dan asin kuala kesepian
nasi di piringmu seperti dusun yang ditumbuhi alang-alang
tapi mereka adalah perempuan-perempuan yang pintar menyimpan air mata
di tengah tangis anak-anak meski sang lakoe tak mungkin lagi pulang
mereka pun menjadi bapak bagi perahu yang kesepian.
Banda Aceh, 16 Mei 2017
Mie Caluek
kita seperti meniti jembatan waktu:
dimulai dari sebuah sketsa tua,
dari sebuah kampung yang sempat binasa,
senja seperti bongkahan pelangi berayun-ayun sehabis hujan
melempar kau ke sini:
aha betapa riang burung-burung di jendela
dari kampung-kampung yang sempat kau benci
karena lelakimu terkubur di makam-makam rahasia
kita tetap menulis pesan ini:
wahai boh hate ma tetaplah kau melukis para bidadari
di sepanjang jalan berdurimu, dengan berbinar,
seperti melumat asi dari payudaraku.
kau tetap merawat rindu seperti meninabobokan si kecil
yang selalu bertanya bapak yang hilang ditelan hujan,
dengan air mata ditahan, sebab langit tidak perlu tahu
tentang ledakan gunung dalam dadamu, kecuali satu hal:
ketika senja menindihmu dengan nafas memburu
kau harus segera mengeluarkan rencong dari sarungnya dan
kalian menari di udara seperti sepasang merpati sedang jatuh cinta
seperti sore itu, aku melihatmu menari-nari di atas kota
di bawah gerimis dan matahari yang redup
mereka berenang-renang dalam piring pualam
sambil membayangkan kampung-kampung yang dulu murung
dalam hamparan ranting kuning mirip tali-temali
matamu mengerjap-ngerjap merawat rindu.
segalanya boleh pergi, katamu, kecuali dada ini.
Banda Aceh, 15 Mei 2017
Mata Pisau dalam Lukisan
: The Missing Rooms #7 Jeffrey Sumampouw
seperti mata pisau,
helai-helai rambutmu
mengiris-iris kanvas itu
seperti mencakar-cakar
dengan warna-warna yang tawar
ia membentuk bola-bola api yang melesat
dalam mantra-mantra dengan tarikan biru,
merah dan ungu
cinta adalah sepasang doa yang bertalu-talu:
penari yang bergerak di malam buta
mendaki tangga demi tangga
setiap senja, di ruang itu
mata pisau seperti bekas sepatu
yang kekal di balik pintu
dengan bibir penuh gincu
menyusup ke dalam aortamu
Depok, 2016/2017
Mustafa Ismail lahir di Aceh, 1971. Buku puisinya yang terbaru adalah Tuhan, Kunang-kunang & 45 Kesunyian (2016).
Komentar
Posting Komentar