Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

How Old Is Your Soul? karya Milto Seran

Kompas, 2 September 2017 

Milto Seran


How Old Is Your Soul?

Kuingin jadi gereja,
rumahMu yang ditinggal pergi banyak orang
Namun terus didatangi seniman-seniman asing

Kuingin jadi baitMu
yang sepi di tepi musim-musim
di negeri yang dihuni kaum yang ragu

Kuingin jadi pelataranMu
yang dilupakan penduduk kota
Tapi dirindu kawanan gagak nan gagah

Yang sering bertanya, “How old is your soul, dear friend?”
Dan kata selalu miskin di hadapan kekaguman yang mendalam
Termasuk di hadapan tanya yang sederhana tentang jiwa dan alam

Dan di rumahMu, rindu sudah purna, keinginan telah sirna
Sebab Cinta yang dalam akan rumahMu menghanguskan rinduku
Pada langit dan musim-musim yang berlalu di mata ayah-bundaku


Tambov, Desember 2015


Waktu yang Begitu Dalam

Siapa pernah bertanya, dari mana “jalan-jalan”
Datang? Di mana mereka menyimpan kenangan?
Siapakah yang paham, adakah butir-butir embun
yang hadirnya cuma sebentar memiliki masa lalu?

Mungkin jalan-jalan sepi pernah basah oleh embun
Tapi tak ada yang mafhum tentang kehangatan
dan kedekatan di antara embun dan daun pandan,
yang sesekali bergoyang dibelai hembus angin

Dalam aliran darah, ingatan terus hangat bagai museum
pelindung masa lalu dari serangan lupa. Tapi adakah lembayung senja
dan pantai memiliki ingatan; mencatat ciuman ombak dan karang?
Mungkin. Sebab siluet nelayan-nelayan perkasa tak selamanya tercatat
dalam hikayat dan dongeng. Zaman sudah berubah; Mendongeng
bukan lagi cara ibu-ibu mewariskan arti cinta dan pengampunan
kepada anak-anak yang tumbuh dan berlalu bersama musim-musim

Berubah. Tak ada yang mampu mengundur jarum jam atau mengembalikan
daun-daun musim gugur pada ranting-ranting yang kaku. Bagai si kaya di mata
Lazarus. Begitu suratan nasib kaum tergusur; mereka lupa bertanya, mengapa?
: yang lama berlalu, toh tak mati. Yang baru terlahir, tapi sungguh tak diimpikan
Itulah hidup. Kebiasaan dan tradisi pun fana; ‘kan tergusur oleh takdir dan zaman

Di rahim musim dingin
Sungai-sungai berbaju salju
jauh dari hangat jemari mentari
Sepanjang musim dingin, kawanan gagak
tak selalu gagah; toh mereka bukan kaum nan malang

Cuma waktu begitu dalam dan berarti; ialah rahasia terakhir,
mengapa setiap zaman punya kisah dan tragedi masing-masing
: di hadapan waktu dan rahasianya kita tak kuasa hindarkan takdir
Kita tahu benar, kita sesungguhnya butuh ruang renung dalam hening


Tambov, 2015



Gadis Senja di Sungai Neva

Berdiri di ujung jembatan bernama Alexander Nevsky
Seorang gadis dengan sebuket mawar di tangannya
Membiarkan rindu dan harap menggantung di langit senja

Sesering itu dia datang ke jembatan yang dijulukinya “Titian Harapan”
Tempat kaum yang sedang dimabuk asmara melihat rindu begitu miskin
Tumpah, meluap-luap dari sumber dan sebab yang tak terkatakan

Itulah senja yang tak ‘kan terlupakan, tak pernah hilang dari ingatannya
Saat rasa kagum akan keindahan cuma setetes air di hadapan Sungai Neva
Di situ dia bermenung; tentang ruang dan waktu, tentang sungai dan teluk

Tentang jalan yang membawanya tiba di jembatan ini
Tentang sebuket mawar yang harumnya tak terpahami
Tentang senja dan mimpi mengarungi samudra yang luas

Di Alexander Nevsky, dia lalu paham, Sungai Neva tak selalu jernih
Seperti senja sejenak mengaburkan batas siang dan “malam-malam putih”
Di St Petersburg yang terus terang sepanjang musim menjadikannya mungkin

Gadis itu kembali ke apartemen yang sunyi.
Membuka jendela, dia melihat sekawanan merpati
Mengharapkan kemurahan pejalan kaki dalam secuil roti
Di tepi Sungai Moika yang tenang dan damai
Dia mengangkat muka, memandang langit yang begitu cerah
Sesaat memejamkan mata dan melihat kebahagiaan jatuh dari langit
Seperti daun-daun gugur dari pohon yang iri pada dingin yang menggigit

Membuka mata, dia coba memahami dua pria dengan botol di tangan
Berjalan sempoyongan, begitu lemah, terkadang rebah di jalan menikung
Tapi bangkit lagi dan lagi dengan botol yang telah kosong masih di tangan

“Apakah yang kamu cari?”
“Mungkinkah kebahagiaan?”
“Ataukah hiburan?”

Belum tuntas memahami hidup yang sulit dan sepayah ini
Dia menghampiri kamar yang akbar, lalu membaringkan diri
Dalam mimpinya sepanjang malam dia sungguh belajar percaya

“Semestinya aku telah berlayar bersama mimpi-mimpiku dulu
mengarungi samudra kesadaran menuju lapis batin yang terakhir.”

Dia yakin sejadi-jadinya,

“Sebab di mana hatimu berada, di situ juga Sungai Neva-mu!”

St. Petersburg, Agustus 2015


Milto Seran pernah belajar filsafat di STF Ledalero, NTT. Bukunya, Musim-musim Berlalu, dijadwalkan terbit pada akhir 2017. Saat ini ia tinggal di Moskwa, Rusia.IWSI Watercolour Exhibition 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi