Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Perjalanan Embun oleh Mochtar Pabottingi

MOCHTAR PABOTTINGI
23 September 2017

Perjalanan Embun

Tak pernah aku luput
Dari gigil. Juga sebelum menjelma
Tetes. Di tengah bayu
Yang bersijingkat ke utara
Dini hari

Selalu saja adaku ibarat liang
Di tengah terowongan semesta. Tiada henti
Melayang. Dan terempas
Dalam hening dan sipongang

Adakah yang lebih rentan
Daripada sebutir air yang terguling
Oleh rindu dan sayup iris seruling
Kala ia tersangkut dan berayun
Di ujung daun. Gemetar. Di bawah sihir
Harum serumpun kemuning

2016


Pasti

Pasti. Sesuatu telah terjadi pada bulan
Kala sebagai leontin kencana ia gemetar
Ketika kalung kulepas perlahan dari pualam
Jenjang lehermu

2016


Deru Losari di Pantai Estoril, 2006

Mata hitam tombak sejarah menatapku dengan dingin kutub. Di Pantai Estoril, Lisbon, pada suatu musim yang datang berjubah

Hari itu, dari tepian negeri purba ini, angin berhenti. Awan menunggu. Dan permukaan Samudra Atlantik menjelma perunggu
……….

Nama para pelaut ulung itu seperti berbisik kepadaku dari pelataran berlantai pualam tepat di depan pantai. Tak jelas lagi nama-nama yang pernah terekam benak rabunku. Mungkin Joao, Tristao, Alvaro. Atau Vasco da Gama, Pedro Alvares Cabral, Alfonso de Albuquerque. Yang kudengar hanyalah bisik mereka seperti tutur yang memanjang dalam gapai yang lengang

Di sini aku belajar tentang manusia yang setia mempertahankan lekuk-lekuk tanah dan perairan lantaran tak sepenuhnya percaya pada kenangan. Membiarkan angin segar harum zaitun tetap bersiur. Juga pada harum kebun-kebun anggur. Menjaga pantai tetap jendela tak berbingkai, memendam selaksa sesanti. Melenyapkan batas antara manusia dan samudra di mana gelombang demi gelombang tak pernah putus bergulung bertenaga seperti lengan-lengan perkasa dari pusar bumi yang menyibak-nyibakkan mandalanya tiada henti

Di sini lelaki dan perempuan tetap mempertahankan kulitnya yang tembaga dan tungkainya yang perkasa. Mereka seperti bayangan dari tonggak-
tonggak masa lampau, meski tak lagi sesigap tujuh ratusan tahun silam kala leluhur mereka masih bangsa nakhoda. Kala bahtera sejarah berputar menjauh, mereka pun tertinggal. Tapi tangan-tangan mereka terus meraih. Dan dari waktu ke waktu mereka tetap mengangkat aneka mutiara dari dasar laut dan setiap hari tetap menghirup
tetes-tetes embun pada bongkah-bongkah gunung cadas tepian pantai

Mereka tekun menyiangi sejarah. Sadar bahwa pada bangsanya yang tinggal segelintir lantaran godaan diaspora ke seluruh belahan bumi harus tetap ada yang mengalir dan bermuara. Begitulah mereka terus menjaga Sungai Tagus terus menyusuri ladang-ladang zaitun dan anggur untuk kembali menyatu dengan samudra di Pantai Estoril. Bagi kawanan flamingo, betapa luas pun bentangan samudra, sebaran oasis, dan gugusan hutan lintas benua, selalu bergema simfoni panjang mereka untuk pulang ke sarang sendiri
tempat butir-butir mimpi terus bergayut di gigir pelangi

Tiba-tiba, entah dari lintang bujur mana, seperti kerja alam gaib, Losari menderu. Ya, Pantai Losari dengan wajah purba yang dalam kenangan pantang merenta

Tiba-tiba kusaksikan Sungai Jene’berang mengalir. Tenang dan tanpa suara. Dari arah Selatan. Seperti Sungai Tagus, ia pun bermuara di sisi kiri pantai. Aku menyaksikan garis-garis rupawan Pantai Makassar memanjang dari Mariso hingga ke Paotere nun di Utara, terpaku pada gendam Samudra Pasifik maha luas dalam kerlap-kerlip kilau perak tak berhingga di
depannya. Di sini, selain anak-anak kecil Kepulauan Spermonde, sama
sekali tak ada dinding ke laut lepas. Cakrawala semata berbatas horison maha lebar yang menyimpan segala tualang, segala kejutan yang didamba setiap ksatria
penunggang hulu sombala’ di tengah gulungan badai samudra

Di sini, di Musim Barat, di banyak sore hari, tepat di depan Stella Maris, di anjungan yang menjorok agak ke tengah laut tak jauh dari Pasanggrahan kerap kubiarkan baju dan tubuhku kuyup tersiram tempias hempasan ombak yang bolak balik merengkuh pantai dan terus menepuk-nepuk tembok landai bendungan yang membentang hingga ke sisi Pelelangan Ikan tak jauh dari Fort Rotterdam
Deretan rupa yang sudah berganti rupa

Di pantai sini entah berapa kali kusaksikan mentari merah saga terbenam. Dihantar tebaran jingga. Entah berapa kali di anjungan kutemani camar-
camar yang terus berputar-putar di haribaan pantai bersama deru angin berhujan tipis, tiap kali aku tergiur oleh tempias ombak, merasakan kipas kelepak-kelepaknya setengah depa di atas kepala kala angin liar samudra terus menerpa, menggoyang limbung tubuhku, mengawut-awut rambutku

Lalu di malam hari perahu-perahu pinisi yang langsing dan berotot merapatkan ruas-ruasnya ke pinggul-pinggul pantai. Mencari ruang-ruang
di mana jiwa para pelaut tanahku moksa dalam cinta. Ya, sebelum segalanya diguling kegelapan yang menyembunyikan lembing
……….

Losari. Losariku. Di manakah engkau kini?

Bagaimanakah kawanan burung nasar berbulu hitam berparuh darah menghempang anginmu? Menahan gulungan gelombangmu. Menghalau barisan pinisi dari tempat tambatannya. Menutupi mata dari sihir keluasan samudra. Dengan beton-beton mati. Dengan papan-papan iklan raksasa yang kering angkuh dan pantang berbagi. Menyungkup cakrawala. Pantai pun menjelma kolam-kolam mati. Yang ditutup-tutupi dengan ornamen-ornamen palsu dan aneka gincu

Wahai, seperti ada yang meruak dari darah-daging Pluto! Seperti ada yang bermimpi tanpa zamrud penanda negeri. Tanpa larik-larik pamor tanah leluhur. Tanpa desir dan riuh angin. Tanpa hempasan ombak yang mengurapi tubuh dan jiwa. Langsung dari gumpalan awan hitam
Asal usul Dasamuka dalam sejarah

Losariku!

Pada rimba daunan lontar, masihkah dititi tapak-tapak I Mallombasi, penegak titah samudra bebas, yang ditunaikan berbulan-bulan ri buttaya dalam laku perang tarung jengkal demi jengkal tak bertara di Nusantara? Masihkah disimak raung perih La Tenritatta, penjunjung kehormatan tana Bone, penunggu Muara Angke, sekutu handal yang mungkin paling disegani Kumpeni di sepanjang dua ratus tahun masa kuasanya? Pada rimba aksara itu pula, masihkah disigi sosok topanritata I Mangadacinna yang cahaya kebijaksanaannya melintasi benua-benua sehingga menyentuh Joost van den Vondel, Francois Valentijn, dan Alexandre de Rhodes, kalbu-kalbu agung
nun di Laut Utara dan di belahan bumi Mediterania. Bukankah Sultan Hasanuddin, Arung Palakka, dan Karaeng Pattingalloang sama-sama dibesarkan oleh gelegak Musim Barat Losari? Ditempa oleh tanah yang
tetap tanah. Badai yang tetap badai. Pinisi yang tetap pinisi. Dan gelombang dan samudra yang senantiasa bersahabat
dengan bahang-bahang magma dari dasar bumi

Wahai Losari, siapakah yang membuat nafasmu kehilangan desah, anginmu kehilangan deru, ombakmu kehilangan desir, dan jendelamu kehilangan cakrawala?

Engkau memang tak punya Forte de Sao Jorge. Atau Fortaleza de Sao Lourenzo. Benteng Ujung Pandang dan Benteng Somba Opu telah luruh
oleh serbuan beratus meriam Kumpeni beserta beribu sekutunya dari sederet suku di belahan Timur negeri. Tetapi engkau punya tak terhitung tapak-
tapak ksatria. Dengan harga diri yang tetap tegak pada rindu yang tetap marak

Losariku!

Di Pantai Estoril seperti menjelma kembali desir ombakmu di Musim Barat yang menghempas-hempas tepian bendungan. Juga puluhan kawanan bangau putih anggun di musim kemarau yang saban sore melintasi langitmu dalam formasi segi tiga ibarat lambai bisu selendang panjang yang terus menyusur langit ke utara nun ke hulu rindu. Juga angin harum rempah- rempah yang tiada hentinya menyebarkan pesona gugus Kepulauan Banda hingga ke ujung-ujung bumi. Juga jendela tak berbingkai sarat misteri yang seperti terus bersambung ke dunia-dunia mimpi yang tiap kali hanya bisa dijelajahi dengan kawali
……….

A verdade e clara e a mentira sombra

Ya! Kebenaran tak butuh banyak kata. Di musim panas itu, di sepanjang Pantai Estoril, mata hitam tombak sejarah bangsaku menatapku lurus dengan dingin kutub berjubah kelabu

Ada kedalaman mengiris. Ada suara-suara menyembilu

2017

Mochtar Pabottingi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1945. Dalam Rimba Bayang-bayang (2003) dan Konsierto di Kyoto (2015) adalah dua buku kumpulan puisinya. Ia tinggal di Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi