Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
SASTRA
3 September 2017
Produk seni memang subyektif ketika sampai pada penikmatnya. Krisna Encik, musikus yang kuat mencipta lirik dan musik balada, menerjemahkan lirik puisi “Agar Dapat Kubaca Zaman” karya Annisa Hertami dengan begitu mengena.
Inilah yang menyebabkan peluncuran buku puisi pada Jumat (25/8), di Pendapa Art Space, Yogyakarta, menjadi perpaduan nyata antara lirik (puisi) dan lagu dalam sebuah harmoni yang indah. Ada senyawa, lagu adalah lirik dan lirik adalah lagu itu sendiri. Lagu bukan sekadar nada, melainkan puisi itu sendiri.
3 September 2017
Kompas/Thomas Pudjo Widyanto Krisna Encik menyanyikan lirik puisi karya Annisa “Agar Dapat Kubaca Zaman”. |
Produk seni memang subyektif ketika sampai pada penikmatnya. Krisna Encik, musikus yang kuat mencipta lirik dan musik balada, menerjemahkan lirik puisi “Agar Dapat Kubaca Zaman” karya Annisa Hertami dengan begitu mengena.
Inilah yang menyebabkan peluncuran buku puisi pada Jumat (25/8), di Pendapa Art Space, Yogyakarta, menjadi perpaduan nyata antara lirik (puisi) dan lagu dalam sebuah harmoni yang indah. Ada senyawa, lagu adalah lirik dan lirik adalah lagu itu sendiri. Lagu bukan sekadar nada, melainkan puisi itu sendiri.
Sudah pasti ada perenungan dalam mengangkat lirik puisi menjadi lagu. Untuk mengangkat puisi berjudul “Agar Dapat Kubaca Zaman”, Krisna mencoba memahami isi dan karakter pribadi Annisa. “Dari situ baru memikirkan tafsir, nada yang pas sesuai tafsir saya, yang harus pelan, mengalun, dan agak vintage. Membaca zaman dalam puisi Annisa bagi saya semacam perjalanan bagaimana kita memandang zaman yang tidak boleh serampangan, tetapi penuh kebijaksanaan,” tutur Krisna.
Annisa Hertami adalah penyair muda berbakat yang selama ini menapaki dunia seni. Alumnus pendidikan multimedia di MMTC Yogyakarta ini tidak hanya berkecimpung dalam dunia sastra. Ia juga banyak membuat karya perjalanan jurnalistik yang dimuat di beberapa media.
Annisa juga terjun di dunia film. Beberapa film yang ia bintangi adalah Soegija (Garin Nugroho, 2012), Jokowi (Azhar “Kinoi” Lubis, 2012), Jenderal Soedirman (Viva Westi, 2013), Aach, Aku Jatuh Cinta (Garin Nugroho, 2014), The Gift (Hanung Bramantyo, 2017).
Banyak tokoh sastra dan seniman Yogyakarta yang turut hadir dalam peluncuran buku kumpulan puisi karya Annisa Hertami yang diberi judul Agar Dapat Membaca Zaman. Terlihat hadir, dramawan Landung Simatupang, Wani Dharmawan, Joko Pinurbo, dan Sutanto Mendut.
Wani Dharmawan membaca karya Annisa berjudul “Pencarian”. Puisi itu menggambarkan ketidakpastian hidup. Cinta, kasih sayang, bukan keabadian.
Puisi kelam
Sutanto Mendut malam itu membaca sajak berjudul “Rubinem”, kisah dramatis sinden (penyanyi tembang Jawa) kesayangan presiden pertama Bung Karno. Rubinem menghabiskan masa tuanya dengan berjualan gudeg di Terminal Jombor, Yogyakarta. Annisa dengan tabah terus mengikutinya. Bukan citarasa gudeg yang ia temukan, melainkan rasa iba yang mendalam. “…….kilaunya redup di makan masa….nyanyian pesinden lirih sendu……..“.
Kumpulan puisi Annisa cukup banyak berbicara tentang kesenduan perempuan atau lebih luas kesenduan manusia. Ini terlihat dalam sajaknya “Bapak Tua”. Kemiskinan, ketuaan, seperti kesatuan yang hanya membuahkan ketidakberdayaan, yang selalu memancing iba.
Begitu pun puisinya “Perempuan yang Melahirkan Kematian”. Ini gambaran dramatik hidup dari seorang perempuan sebagai sumber kehidupan, sebagai pelahir generasi baru. Hanya kematian generasi yang terjadi ketika si ibu hanya “…meringis kesakitan…..menebarkan bau apak keringat dan minyak yang diproduksi kulit kepala…“.
Di balik puisi-puisi yang bernada iba, Annisa juga menggarap puisi yang garang, bahkan mengandung rasa dendam. Itu terlihat dalam puisinya yang berjudul “Cangkul Biadab”. //Cangkul cangkul cangkul yang dalam/ hai sudah dalam?/ayo gantian/Cangkul cangkul cangkul yang dalam/ hai sudah melesak belum?/ “aku mau”/Cangkul cangkul cangkul yang dalam/ “hai cukup benihku sudah keluar, ayo kita tanam”/Minuman pun diedarkan/”Panen raya kita?”/Panen mereka/Mencangkuli lahan perempuan/hingga segala berserakan/lalu mereka bernyanyi/mencangkul kuburan/untuk tubuh yang tidak bertuan/ mati//.
Puisi ini terasa sekali sebagai sebuah pemberontakan dalam kehidupan nyata. Puisi ini bisa bermakna pada konteks kehidupan perempuan. Setelah dicangkul yang dalam, benih itu lalu dilahirkan. Namun, perempuan lantas dibiarkan, bahkan cangkul berayun sepertinya mengubur ketidakberdayaan. Tubuh telah tersia-siakan dan mati. Karena itu, puisi itupun diberi judul “Cangkul Biadab”.
Namun, puisi ini juga bisa ditafsirkan bermakna di dunia pertanian. Setelah benih itu lahir dan berkembang, petani berbahagia. Namun, ketika tanah berantakan karena program pertanian yang membuat tanah menjadi cengkar (tak lagi subur), sesungguhnya petani hanya mencangkul kuburan, mencangkul kematiannya.
(Thomas Pudjo Widijanto)
Annisa Hertami adalah penyair muda berbakat yang selama ini menapaki dunia seni. Alumnus pendidikan multimedia di MMTC Yogyakarta ini tidak hanya berkecimpung dalam dunia sastra. Ia juga banyak membuat karya perjalanan jurnalistik yang dimuat di beberapa media.
Annisa juga terjun di dunia film. Beberapa film yang ia bintangi adalah Soegija (Garin Nugroho, 2012), Jokowi (Azhar “Kinoi” Lubis, 2012), Jenderal Soedirman (Viva Westi, 2013), Aach, Aku Jatuh Cinta (Garin Nugroho, 2014), The Gift (Hanung Bramantyo, 2017).
Banyak tokoh sastra dan seniman Yogyakarta yang turut hadir dalam peluncuran buku kumpulan puisi karya Annisa Hertami yang diberi judul Agar Dapat Membaca Zaman. Terlihat hadir, dramawan Landung Simatupang, Wani Dharmawan, Joko Pinurbo, dan Sutanto Mendut.
Wani Dharmawan membaca karya Annisa berjudul “Pencarian”. Puisi itu menggambarkan ketidakpastian hidup. Cinta, kasih sayang, bukan keabadian.
Puisi kelam
Sutanto Mendut malam itu membaca sajak berjudul “Rubinem”, kisah dramatis sinden (penyanyi tembang Jawa) kesayangan presiden pertama Bung Karno. Rubinem menghabiskan masa tuanya dengan berjualan gudeg di Terminal Jombor, Yogyakarta. Annisa dengan tabah terus mengikutinya. Bukan citarasa gudeg yang ia temukan, melainkan rasa iba yang mendalam. “…….kilaunya redup di makan masa….nyanyian pesinden lirih sendu……..“.
Kumpulan puisi Annisa cukup banyak berbicara tentang kesenduan perempuan atau lebih luas kesenduan manusia. Ini terlihat dalam sajaknya “Bapak Tua”. Kemiskinan, ketuaan, seperti kesatuan yang hanya membuahkan ketidakberdayaan, yang selalu memancing iba.
Begitu pun puisinya “Perempuan yang Melahirkan Kematian”. Ini gambaran dramatik hidup dari seorang perempuan sebagai sumber kehidupan, sebagai pelahir generasi baru. Hanya kematian generasi yang terjadi ketika si ibu hanya “…meringis kesakitan…..menebarkan bau apak keringat dan minyak yang diproduksi kulit kepala…“.
Di balik puisi-puisi yang bernada iba, Annisa juga menggarap puisi yang garang, bahkan mengandung rasa dendam. Itu terlihat dalam puisinya yang berjudul “Cangkul Biadab”. //Cangkul cangkul cangkul yang dalam/ hai sudah dalam?/ayo gantian/Cangkul cangkul cangkul yang dalam/ hai sudah melesak belum?/ “aku mau”/Cangkul cangkul cangkul yang dalam/ “hai cukup benihku sudah keluar, ayo kita tanam”/Minuman pun diedarkan/”Panen raya kita?”/Panen mereka/Mencangkuli lahan perempuan/hingga segala berserakan/lalu mereka bernyanyi/mencangkul kuburan/untuk tubuh yang tidak bertuan/ mati//.
Puisi ini terasa sekali sebagai sebuah pemberontakan dalam kehidupan nyata. Puisi ini bisa bermakna pada konteks kehidupan perempuan. Setelah dicangkul yang dalam, benih itu lalu dilahirkan. Namun, perempuan lantas dibiarkan, bahkan cangkul berayun sepertinya mengubur ketidakberdayaan. Tubuh telah tersia-siakan dan mati. Karena itu, puisi itupun diberi judul “Cangkul Biadab”.
Namun, puisi ini juga bisa ditafsirkan bermakna di dunia pertanian. Setelah benih itu lahir dan berkembang, petani berbahagia. Namun, ketika tanah berantakan karena program pertanian yang membuat tanah menjadi cengkar (tak lagi subur), sesungguhnya petani hanya mencangkul kuburan, mencangkul kematiannya.
(Thomas Pudjo Widijanto)
Komentar
Posting Komentar