Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Zelfeni Wimra: mantra pengurai plastik

29 September 2018

Zelfeni Wimra

mantra pengurai plastik


wahai raja bara yang bersembunyi dalam nyala segala cinta
aku menyeru-merayumu
datang dan menarilah
aku tengah jatuh cinta pada seorang plastik antik
melekat dan jilatlah kulit cantik yang membungkus tubuhnya
mengepung rumahnya
mengurung lekuk periuk nasinya
menyungkup galon air minumnya
menyelimuti bumbu dapurnya
menyumbat saluran jambannya

lalap dan kunyah ia sampai usai
agar kasih ini sampai
pada leher, telinga, lengan, dan jemarinya
bakarlah bunga-bunga plastik yang semerbak di ubun-ubunnya
puisi-puisi dan laporan penelitian yang ia tulis dari pena plastik
koran-koran yang ia siarkan di atas lembaran plastik

setelah ia mencair, santap pulalah ini bangkai
satukan kami menjadi gelas plastik yang memuai
demi wadah kopi para pencinta
wahai panas yang menyala dalam semua gelora
bantu aku menyepuh diri
ini jatuh cinta yang pelik
uratku menjadi tulang
tulangku menjadi plastik

2018



peti mati plastik
buyut kakek nenekku mati
ibu bapakku mati
adik kakak dan aku akan mati
gergaji dan ketamlah papan untuk peti mati
atau untuk penutup liang lahat
gunakan kayu
jangan plastik
sebab papan akan terurai bersama kulit urat daging dan tulangmu
tidak sampai seratus tahun
sementara plastik tidak akan terurai sampai lima ratus tahun
dulu kami mengenang orang-orang baik:
hancur badan dikandung tanah, budi baik dikenang juga
kini telah berganti:
hancur badan dikandung tanah, peti mati plastik belum terurai juga

2018



majelis gaib plastik

pada sebuah majelis gaib, terdengar tanya jawab
kau tercipta dari apa?
”saya dari api!” jawab iblis bangga
”saya dari cahaya,” sambut malaikat
”saya dari tanah bercampur angin dan air yang dingin,” tanggap seseorang
mirip diriku
dari arah yang lebih gaib, sesosok bersorak lebih lantang:
”saya terbuat dari plastik.”

lalu terdengar mereka memperdebatkan:
”mari bertanding. agar jelas, siapa yang lebih hebat di antara kita.”

2018



plastik penangkal listrik

pegawai listrik negara memanjat tiang trafo yang korslet
ia kundang gulungan kabel berbalut listrik
ia sandang kotak peralatan plastik yang memuat obeng dan tang berbalut plastik
ia pakai mantel berbahan plastik
ia kenakan sepatu dari plastik
agar api, muasal iblis, yang terkandung dalam aliran listrik itu
tidak menzalimi dirinya

2018



lagu air sungai bangek
: sirajuddin zar

di sungai bangek, sisa kanak-kanakku merinai
menetesi bulu kuduk murid-murid surau balai gadang
sorak petak umpet mengiang, bersipongang
oi, anak lanang menari melagukan salawat nabi
di halaman surau menakar bunyi hamim sajadah
setelah azan subuh membakar selimut pagi
berlari menakali rama-rama dengan lilitan kain sarung
atau mandi-mandi bersama daun
daun yang diluruhkan angin bukit ligundi
di ceruk gua-guanya dulu para wali bersemedi

lalu cerita itu lapuk dan berjatuhan ke ceruk keranda jenazahmu
berlesatan ke seberang ingatan sepi
tentang orang-orang yang meradang
tiang madrasah mereka kehilangan sendi
“sejenak pun, tinjaulah
hamparan itu menunggu lentera
penyuluh sobekan rahasia yang menggulitakan pandangan
terang-benderanglah, sebelum barat mengirim gelap
atau telah kau genapkan diri menjadi malin kundang?”
seakan kau dan mendiang ayahku datang menghampiri
memegang serpihan lantai surau
menjangkau dan menampar-nampar bahuku
serasa menyayat daging sendiri, saat madrasah warisan itu runtuh
aku hanya mampu menjatuhkan tangis ke dalam
dan menyurukkan pilu
jauh-jauh
sejauh jarak padang panjang dan padang karbala
sesayup angin muharam dari pesisir pariaman
kau ceritakan lagi perihal cucu nabi yang mati
membawa cinta yang pedih

di sungai bangek, aku kelimpanan
remah masa lalu dan debu mesin penggali tanah
menyerbu retinaku

2017-2018

Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto, Sumatera Barat, 5 Oktober 1979. Buku puisinya Air Tulang Ibu (2013).




Tjahjono Widijanto

Perjalanan ke Kota Tua

: Beo

tak ada yang sudi mengabadikan perjalanan ini
selain gugusan lintang, seleret bulan, hutan bakau yang runduk
bersanding lancip pohon kelapa menjulur langit
sesekali bayang-bayang salib di tepian jalan
aspal jalan melingkar-lingkar bisu dalam gigil yang sepi
orang-orang keluar rumah berjemur bulan ngobrol di tepian
bicara tentang laut, pantai dan ikan tuna

nelayan-nelayan baru pulang melaut
mengusung ikan dalam pika juga kisah gelombang
di sini bahasa laut begitu bahagia dan selalu tertawa
meski bau garam terasa juga keras dan asin
seperti asinnya keringat air mata nelayan
berdendang tentang taufan dan gelombang
perahu-perahu yang karam pecah menghantam karang

di jalanan sepi ini antara pohonan bakau dan bau pantai
begitu tabah nelayan menghitung cermat purnama
menakar berapa deras gelombang akan membadai
seberapa tebal halimun mematahkan kompas juru mudi
bergumul seperti sepasang kekasih merindu
tak sejengkal berpisah meski palung laut begitu dalam
dingin dan kejam, seperti tangan-tangan maut menjulur

di sepanjang jalan bayang-bayang bakau rimbuk
selalu kudengar geremang mantram-mantram cinta
akan laut yang tak pernah tua untuk dipuja dan dicinta

Ngawi/Beo/17/18



Hikayat Pala

kisahku sampai juga di benua-benua ini
ditiup angin selatan dan angin barat, didendangkan nelayan
memburu marulaga pada bulan alo kasuang
hinggap di telinga nakhoda kaparo bersama serombongan kelasi berkudis
menyanding sebotol minuman keras dan peta yang kumal
berteriak-teriak parau, meracau nyaris putus asa
– ad loca aromatum!
perjalanan edan untuk persembahan maharaja yang lapar

ini si tua, hidangan rahasia penghuni sorga
mendekam dalam ceruk ceruk lembah
dilindungi mantram-mantram dan dentam tifa
pulau-pulau bukit menjulang, gunung api,
pasir-pasir perak serta laut warna kecubung
gumpalan-gumpalan padat sejarah yang mendadak telanjang

aku si tua, berhasil membuat para jagoan mengidap insomnia
mata caling beling terkesiap menatapku lalu dentam sepatu
anyir angin bersiutan, wangi amunisi, leher meriam yang dibelai
seringai badai api menggasak pantai-pantai
batang-batang lenganku terkayuh jauh
meninggalkan celah lembah, pasir perak dan laut warna kecubung
mengembara dan terbantai seperti nabi disalib di tengah bandar

ini si tua, korban sekaligus pahlawan
jadi penumpang sial dipaksa berlayar ke ujung-ujung jagat
tak kuasa mengutuk apalagi menolak

ini aku si tua, kini tak lagi digdaya
seperti dulu saat sebiji merah cokelatku ditukar maharaja
dengan pulau di ujung dunia yang lain lagi

Melonguane, 05017

Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, Jawa Timur, 18 April 1969. Kumpulan puisinya antara lain Janturan (2011) dan Singir (2014).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi