Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Beni Setia: Aerobik pada Usia 60-an

1 September 2018

Beni Setia

Aerobik pada Usia 60-an


selalu aku proyeksikan angan-angan pada
lahan, kanan perempatan, agak di luar kota
tempat rumah dan pertokoanku nanti dibangun

saat di lahan itu dibangun rumah, aku menggeser
lahan impianku agak ke dalam. kini, pada usia
60-an, aku terantuk di lahan sangar di tepi sungai

mungkin kesampaian: mewakafkannya bagi
warga, serta aku sendiri si yang pertama kali
dimakamkan di lahan pekuburan baru bagi warga

mungkin hanya bisa beli 2 x 1,5 m tanah
kuburan, di seberangnya – dekat perdu pandan

2018



Bermain Layangan
di Malam Hari


waktu adalah suitan angin pada daun-daun
serta ranting mangga, saat musim kemarau
serta semua membentang benang di bilah bambu
yang direntang – untuk melekatkan kertas minyak

waktu adalah yang menggetarkan kertas layangan
dan semua angan-angan serta impian kanak itu:
luruh. bergelimpang di tanah lapang yang senyap
(satu saat, usai rembang, kau coba memungutinya)

mencermatinya satu-satu, seperti menyesapi permen,
sambil bersandar serta berselonjor dalam kesendirian

2018



Lelaki Bertato
dalam Penjara


ada yang selalu memanggil untuk datang
ada yang selalu memanggil untuk pulang
serta membuat tidur penuh jarum. aku selalu dicotoki

di antara bandung-madiun menghunjam luka
parut tak pernah kering, tak pernah bernanah
jarum tato terus menusuk-nusuk – mencacahkan rindu

hal sepele jadi ingat yang terus memanggil
kenangan yang membentang makin lantang
memanggil. aku melengos tapi tato semakin berdarah

kau harus pulang – harus pulang. tubuh tambah gatal

2018



Parodia, 1

saya datang sebagai turis. mengunjungi
tempat kelahiran, serta berbagai tempat
buat memproyeksikan ingatan. segala yang gatal

terharu sebagai pelancong, yang menghibur
diri dengan kuliner. tertawa + menari dalam
segala yang mengakar selama usia enam-puluhan

berbenah. pulang, bagai usai mengunjungi
pesta. bersalaman, melambai, berkata-kata
– bergegas sebagai orang asing. turis tak berumah

2018



Parodia, 2

terpikir: kapan pertama kali aku naik kereta

mungkin tak ada yang bisa diingat. tapi terbayang
naik kereta bumel ke bandung. pada sesaat: aku
bergembira bersama keluarga – ada bazar di kota

seperti saat pertama kalinya memutuskan apel
ke madiun, dengan kereta yang semalaman itu

kini akan kembali lagi naik kereta. mengunjungi
yang terus dipikirkan dan yang mungkin terakhir
dikunjungi. bahkan sebelum sampai telah diajak pergi

ke tanah asal – tempat yang tidak pernah melahirkan

2018

Beni Setia bermukim di Caruban, Jawa Timur. Buku puisinya antara lain Babakan: Dua Kumpulan Sajak (2010).





Toni Lesmana

Di Negeri Kenangan


Di negeri kenangan, kepalaku yang melulu mabuk
Membentur undakan sejarah, mulutku beku
Melumat dingin tanah kuburan. Mataku
Yang buta tertusuk runcing keping-keping
Purnama ratusan tahun silam. Terjaga
Dan gelagapan. Samar-samar, orang-orang
Berkepala obor lalu lalang di jalan setapak
Menawarkan lentik api dan wangi tangis
Pohon-pohon seperti kelebat tubuh perempuan
Ungu dilumuri kecubung dalam bebat halimun
Putih. Aku menyusup ke dalam rumpun batu
Sedang tanganku terulur mengejar gelinjang remang
Memilih memetik lumar di pangkal paha
Akar yang tersingkap. Seperti tingkap kesadaran
Yang terungkap. Lumar kuperas
Mengucur keperakan dari cungkup

Ke cungkup. Aksara nyala mengabarkan
Cahaya kata-kata yang berlayar dari abad
Ke abad. Batu-batu serupa panggung
Punggung yang setia memanggul
Gelimpang bangkitnya tiang-tiang kesedihan
Bergelimang gemilang bulan. Nestapa
Kawah para petapa mengasah ketabahan
Sebelum tumpah melimpah benderang
Kata-kata. Serupa sungai yang terus mengalir
Menjumpai zaman demi zaman yang kian gerhana

Orang-orang dari negeri kegelapan
Berdatangan memburu cahaya
Sementara aku sibuk di atas batu
Menggali kata-kata
Sebab di negeri kenangan ini
Kata-kata mulai kuyakini
Akar cahaya, akar segala



Negeri Lumar

Menyusup dalam kerumunan
Yang khusyuk membakar diri
Untuk diburu orang-orang yang
Datang dari masa depan

Kusaksikan mereka bermunculan
Dari akar, dari dahan, dari daun
Dari batu, dari aksara dan kata-kata
Di pusat kerajaan sunyi

Mereka memeras tubuh di bawah pusar senja
Menjadi minyak dan sumbu, menjadi
Simsim dan api yang menari di ruas-ruas
Bambu, di ubun-ubun buah kelapa

Lantas menempatkan diri sepanjang
Jalan masa kini yang gerhana. Merayap
Bersama rajah dan dupa, menembang nyala
Di atas gerbang masa lalu. Tak letih menepis

Angin, mereka terus membakar diri sendiri
Menjadi ribuan obor yang marak
Di urat-urat hutan keramat. Menanti arakan
Orang-orang yang memburu cahaya negeri kenangan



Negeri Kesendirian

Aku mengikat diri pada pikat hutan keramat
Menikmati jerat ramat riwayat yang merambat
Dari tiga buah lingga. Kesedihan ternyata lebih
Memabukkan dari buah kecubung, membuatku
Asyik terbaring di antara tebaran nisan. Melayang
Memetik tangis yang mekar di tubuh batu. Arwah-
Arwah memelihara genang darah di udara
Mendengungkan gemuruh pertempuran yang
Kekal dikenang dari zaman ke zaman. Di sini

Kunang-kunang menembang mengundang gugur
Daun-daun langit. Aku bercakap dengan apa saja
Bahkan cuaca. Tanah, batu, angin, hujan memiliki
Kata-kata nestapa yang sedap untuk disantap
Dalam gurih kesendirian. Tiga guci abu masih utuh
Seperti tiga mata air yang tak habis-habis diisap
Mulut akar seluruh pepohonan yang batang dan dahannya
Dipenuhi mata berwarna ungu, yang jika musim purnama,
Mata pepohonan itu menyemburkan kupu-kupu
Yang menyerbu ke arah timur, entah memburu siapa
Mungkin ketiadaan. Aku tidak peduli.

Dulu ini adalah istana, sebelum kemudian
Menjelma astana. Bagiku sama saja, sama saja
Sama-sama negeri kesendirian. Tempat tirakat
Orang-orang kesepian seperti aku. Seperti aku
Yang mendadak riang menertawakan riwan silsilah
Berpesta dalam kepala para peziarah yang congkak
Diikat kesumat. Menginjak-injak tanah leluhur
Dengan mulut penuh lumpur. Menginjak-injak
Tubuhku dengan geram dendam. Padahal
Hutan ini adalah lembar-lembar kitab

Perenungan. Hanya terbaca oleh hati yang murni sendiri
Tanpa jubah dan mahkota, sedia telanjang menyelam
Lapis demi lapis kesedihan, menyapa abu ibu abu ayah
Abu kakak, hati yang berani berjumpa diri sendiri. Nun,
Pada pusat ramat yang merambat dari tiga lingga
Suluh tubuh galuh akan tersentuh. Di sanalah
Kuncup Tri Tangtu menunggu untuk dipeluk teguh
Tubuh tangguh yang ampuh


Toni Lesmana
tinggal di Ciamis, Jawa Barat. Tamasya Cikaracak (2016) adalah buku kumpulan puisinya dan Tamasya Kota Pernia (kumpulan cerpen, 2018) adalah buku terbarunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi