Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
15 September 2018
Esha Tegar Putra
Pada Tilam Bergabuk
Pada tilam bergabuk
selimut lama sulam bulu domba
telah aku sematkan lagu suci itu.
Di luar, hujan menjadi
berulang kali menjadi
dingin benar tak tertanggungkan
derik kulit serangga tersengat listrik
dan suara anjing mengibaskan tubuh basah
dalam bergelung kurapalkan sekstet tua
dari panel batu kuburan lama:
“kavaleri berkuda merundung kota
mengupak pintu mengumban jendela
memukul-mukul pangkal menara
langit adalah tiga ribu mambang terbang dengan jubah hitam menjuntai
dingin mempertegas karat pada cawan tembaga
adakah yang menggigil-runtuh selain isi dada kita?”
Pada tilam bergabuk
selimut lama sulam bulu domba
kusematkan lagu kurapalkan sekstet tua itu
dingin mendesak terus ke liang dada.
Di luar, air turun hitam
rumah kelam
menara kelam
pohon dan segala seakan tenggelam.
Sarajevo, Juli 2018
Di Ketinggian Alifakovac
Dan aku melihat kota lama dari ketinggian, Fadila
cerek tua, talam tua, cangkir tembaga tua
bau kopi hangus dihalau dentang lonceng gereja
buih perasan anggur kering
pada meja.
Kulihat kau melulu duduk dekat jendela
menaik-turunkan gorden, berulang
mengintip langit
memperkirakan bila hujan curah
memastikan hari tua tidak serupa pokok stroberi
baru disiang
digali-korek anjing tetangga.
Kota lama dari ketinggian Alifakovac
jalur kuburan asing
deretan nisan putih ganih
membikin ingatanku turut jerih.
Dan pada jalur ini barangkali pernah tertabur juga ros sirah
pada rengkah batu-batu jalan
pada dinding ruko serta rumah
pada punggung lelaki tua tiap hari kulihat tersadai
di tubir kuburan sama.
Ros Sarajevo, Fadila
sirah bertahun silam
ketika biji mortir berulang dan berulang
diumbankan dari selingkar bukit
dan kau mengendap dari kolong ke kolong
membekap kuat telinga Nadini kecil.
Di ketinggian ini
kupikir musim bakal bikin gerah
tapi nyatanya dingin
tak sudah-sudah.
Sarajevo, Juli 2018
Pagi Gipsi
Di atas timbunan Tašlihan
kau tepuk rebana
kau dendangkan Djelem Djelem.
Pagi dengan dingin tertahan
angin lamban membentur dinding batu lama
memutar debu sisa berabad pembakaran tulang kuda.
Tapi di atas timbunan Tašlihan
kecuali pelancong dengan rambut tertabur bau rakija
mulut berisi baklava dan terkagum pada pandai bejana
tak ada lagi rombongan karavan tiba.
Djelem Djelem terus kau dendangkan
tepuk rebana dari kulit domba mengimbau masa lampau
mengimbau hantu legiun hitam penggorok kabilah berdarah harimau
mengimbau segala derau, biar ngendap dalam perasan daging anggur
biar lesap bersama asap dari bumbung dapur.
Dan pagi
gipsi,
jalanan
niscaya memberi,
dendang
membikinnya lapang.
Sarajevo, Agustus 2018
Kartu Pos dari Potočari
Yang pergi biarkan pergi
mabuk tangis biarkan kami.
Tapi pada sebuntal roti hambar, kau akan terus teringat
sebagaimana doa haus lapar pernah dilambungkan dari kamar.
Kau akan terus teringat, keranda berisi tulang berjangat
kupagut erat, seperti kupagut engkau sesaat sebelum sekarat.
Sarajevo, Agustus 2018
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Ia bermukim di Padang, mengelola Ruang Kerja Budaya.
Fitra Yanti
bunga-bunga ramallah
bunga-bunga mekar di tepi barat
tempat kau kini menggumamkan lagu atouna el-toufoule
dahulu, anak lelakimu
yang matanya setabah penyanyi dari tanah syam itu
kerap bersenandung keras-keras di dekat telingamu
kini gemanya saja yang kau dengar
kau gumam-gumamkan
tangan ringkih perempuanmu menyiramkan air
yang keluar dari kulit dan mata
ke setiap kelopak rindu
tanah
dan lengking orang terakhir
dalam cangkang sekepalan itu,
anemon mekar setangkai
sedang akar bunga badam merambat pelan
membonsai
takkan memekarkan banyak bunga
berhentilah mengemasi cangkang granat,
ranjau darat, bekas tabung gas air mata, untuk ditanam
jika kau memang gemar bertanam, datanglah ke sini
ke rumah besar yang kini kuhuni sendiri
melekatlah pada suku jambak yang diturunkan ibuku
selaci surat pegang gadai akan bisa jadi milikmu
tebuslah sawah bertumpak
ladang di gurun bermintalak
mari sama bersimpuh di dapur berpacu dekak batu giling
berkelakar dalam senyap senja rumah gadang
bawa saja rahim
bawa saja benih bunga-bunga dari ramallah
ulayatku yang liat akan harum
lupakan gandum tanamlah padi
kebun bunga piladang
rumahku yang dingin barangkali akan hangat
oleh nafas dan rentak kekanak berlarian
tapi katamu
“aku akan melihat matahari di sini
meski gelap terasa lama
aku akan berkubur di sini
di tanahku
di antara kuntum anemon”
kau sebut-sebut saladin akan datang lagi
iyakah?
hingga kau kulihat meraung di balik kemah
wajahmu ragu
doa ibrahim
tentang baladan aminan
belum sampai ke tanahmu
2018
Fitra Yanti lahir di Alahan Panjang, Solok, 17 Februari 1987. Bergiat di komunitas musikalisasi puisi Mantagi Akustik.
Galeh Pramudianto
Asteroid Blues
serangan nuklir dan asap jamur
bukanlah entitasku
aku hanya zantara
menyebabkan lamur
di tiap kujur
aku meninggalkanmu
di dalam kawah
yang dikelilingi
puing-puing
kehancuranmu sendiri
karenanya
kita seperti asteroid bertabrakan
hingga menjadi pecahan
satu sama lain tak peduli
planet mana yang kita tuju.
2018
Asteroid, 1
kala pungguk masih merindukan bulan
aku telah menambang di bulan dan asteroid
merindukan alam riang berdendang
menyuling mineral dan logam
pungguk itu memandang kami dengan heran
hewan-hewan terus melata dalam lingkaran
dan manusia jumawa memandangnya dalam sangkar.
2018
Galeh Pramudianto lahir di Tangerang Selatan, Banten, 20 Juni 1993. Buku puisinya adalah Skenario Menyusun Antena (2015).
Esha Tegar Putra
Pada Tilam Bergabuk
Pada tilam bergabuk
selimut lama sulam bulu domba
telah aku sematkan lagu suci itu.
Di luar, hujan menjadi
berulang kali menjadi
dingin benar tak tertanggungkan
derik kulit serangga tersengat listrik
dan suara anjing mengibaskan tubuh basah
dalam bergelung kurapalkan sekstet tua
dari panel batu kuburan lama:
“kavaleri berkuda merundung kota
mengupak pintu mengumban jendela
memukul-mukul pangkal menara
langit adalah tiga ribu mambang terbang dengan jubah hitam menjuntai
dingin mempertegas karat pada cawan tembaga
adakah yang menggigil-runtuh selain isi dada kita?”
Pada tilam bergabuk
selimut lama sulam bulu domba
kusematkan lagu kurapalkan sekstet tua itu
dingin mendesak terus ke liang dada.
Di luar, air turun hitam
rumah kelam
menara kelam
pohon dan segala seakan tenggelam.
Sarajevo, Juli 2018
Di Ketinggian Alifakovac
Dan aku melihat kota lama dari ketinggian, Fadila
cerek tua, talam tua, cangkir tembaga tua
bau kopi hangus dihalau dentang lonceng gereja
buih perasan anggur kering
pada meja.
Kulihat kau melulu duduk dekat jendela
menaik-turunkan gorden, berulang
mengintip langit
memperkirakan bila hujan curah
memastikan hari tua tidak serupa pokok stroberi
baru disiang
digali-korek anjing tetangga.
Kota lama dari ketinggian Alifakovac
jalur kuburan asing
deretan nisan putih ganih
membikin ingatanku turut jerih.
Dan pada jalur ini barangkali pernah tertabur juga ros sirah
pada rengkah batu-batu jalan
pada dinding ruko serta rumah
pada punggung lelaki tua tiap hari kulihat tersadai
di tubir kuburan sama.
Ros Sarajevo, Fadila
sirah bertahun silam
ketika biji mortir berulang dan berulang
diumbankan dari selingkar bukit
dan kau mengendap dari kolong ke kolong
membekap kuat telinga Nadini kecil.
Di ketinggian ini
kupikir musim bakal bikin gerah
tapi nyatanya dingin
tak sudah-sudah.
Sarajevo, Juli 2018
Pagi Gipsi
Di atas timbunan Tašlihan
kau tepuk rebana
kau dendangkan Djelem Djelem.
Pagi dengan dingin tertahan
angin lamban membentur dinding batu lama
memutar debu sisa berabad pembakaran tulang kuda.
Tapi di atas timbunan Tašlihan
kecuali pelancong dengan rambut tertabur bau rakija
mulut berisi baklava dan terkagum pada pandai bejana
tak ada lagi rombongan karavan tiba.
Djelem Djelem terus kau dendangkan
tepuk rebana dari kulit domba mengimbau masa lampau
mengimbau hantu legiun hitam penggorok kabilah berdarah harimau
mengimbau segala derau, biar ngendap dalam perasan daging anggur
biar lesap bersama asap dari bumbung dapur.
Dan pagi
gipsi,
jalanan
niscaya memberi,
dendang
membikinnya lapang.
Sarajevo, Agustus 2018
Kartu Pos dari Potočari
Yang pergi biarkan pergi
mabuk tangis biarkan kami.
Tapi pada sebuntal roti hambar, kau akan terus teringat
sebagaimana doa haus lapar pernah dilambungkan dari kamar.
Kau akan terus teringat, keranda berisi tulang berjangat
kupagut erat, seperti kupagut engkau sesaat sebelum sekarat.
Sarajevo, Agustus 2018
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Ia bermukim di Padang, mengelola Ruang Kerja Budaya.
Fitra Yanti
bunga-bunga ramallah
bunga-bunga mekar di tepi barat
tempat kau kini menggumamkan lagu atouna el-toufoule
dahulu, anak lelakimu
yang matanya setabah penyanyi dari tanah syam itu
kerap bersenandung keras-keras di dekat telingamu
kini gemanya saja yang kau dengar
kau gumam-gumamkan
tangan ringkih perempuanmu menyiramkan air
yang keluar dari kulit dan mata
ke setiap kelopak rindu
tanah
dan lengking orang terakhir
dalam cangkang sekepalan itu,
anemon mekar setangkai
sedang akar bunga badam merambat pelan
membonsai
takkan memekarkan banyak bunga
berhentilah mengemasi cangkang granat,
ranjau darat, bekas tabung gas air mata, untuk ditanam
jika kau memang gemar bertanam, datanglah ke sini
ke rumah besar yang kini kuhuni sendiri
melekatlah pada suku jambak yang diturunkan ibuku
selaci surat pegang gadai akan bisa jadi milikmu
tebuslah sawah bertumpak
ladang di gurun bermintalak
mari sama bersimpuh di dapur berpacu dekak batu giling
berkelakar dalam senyap senja rumah gadang
bawa saja rahim
bawa saja benih bunga-bunga dari ramallah
ulayatku yang liat akan harum
lupakan gandum tanamlah padi
kebun bunga piladang
rumahku yang dingin barangkali akan hangat
oleh nafas dan rentak kekanak berlarian
tapi katamu
“aku akan melihat matahari di sini
meski gelap terasa lama
aku akan berkubur di sini
di tanahku
di antara kuntum anemon”
kau sebut-sebut saladin akan datang lagi
iyakah?
hingga kau kulihat meraung di balik kemah
wajahmu ragu
doa ibrahim
tentang baladan aminan
belum sampai ke tanahmu
2018
Fitra Yanti lahir di Alahan Panjang, Solok, 17 Februari 1987. Bergiat di komunitas musikalisasi puisi Mantagi Akustik.
Galeh Pramudianto
Asteroid Blues
serangan nuklir dan asap jamur
bukanlah entitasku
aku hanya zantara
menyebabkan lamur
di tiap kujur
aku meninggalkanmu
di dalam kawah
yang dikelilingi
puing-puing
kehancuranmu sendiri
karenanya
kita seperti asteroid bertabrakan
hingga menjadi pecahan
satu sama lain tak peduli
planet mana yang kita tuju.
2018
Asteroid, 1
kala pungguk masih merindukan bulan
aku telah menambang di bulan dan asteroid
merindukan alam riang berdendang
menyuling mineral dan logam
pungguk itu memandang kami dengan heran
hewan-hewan terus melata dalam lingkaran
dan manusia jumawa memandangnya dalam sangkar.
2018
Galeh Pramudianto lahir di Tangerang Selatan, Banten, 20 Juni 1993. Buku puisinya adalah Skenario Menyusun Antena (2015).
Komentar
Posting Komentar