Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
22 September 2018
RAMOUN APTA
Rahasia dari Perut Dapur
Setelah dipanggang, caluk mekar
Bagai rengkah mawar.
Kugerus ia
Garpu demi garpu.
Kutabur ia ke dalam gelimang cabai, bawang
Dan tomat yang digoreng dengan minyak kelapa.
Lalu kumasukkan potongan-potongan daun kangkung,
Kusiram dengan sedikit air dari perut sumur.
Setelah matang, caluk kangkung
Kulemparkan ke lidahku.
Di lidahku, kurasakan serbuk itu pecah
Lumer ke seluruh lidah, membentur gusi,
Mengoyak langit-langit,
Mendedah anak lidah,
Bagai gelepar udang
Yang berlarian mengejar ombak.
Belut Hijau dari Perut Rawa
Kau adalah raja ikan dalam daftar menu makanan sungai.
Kau dihidang bersama cabai hijau yang digiling setengah enggan.
Kusantap kau di hari hujan, deruk tulangmu menawarkan asin lautan.
Juru Masak Orang Melayu
Akan datang seseorang
Berkopiah hitam
Mengaku juru masak
Datang mengetuk pintu rumah.
Dan kepada orang itu
Kelak burung ruak-ruak
Akan berhamburan bahagia
Mengepak-ngepakkan sayap mereka.
Burung ruak-ruak itu
Akan menawarkan daging
Keong emas yang mati
Terinjak kaki orang dusun di sawah.
Dan bila masa itu tiba
Akan banyak orang suci
Mengaku guru memasak dari dataran tinggi
Datang meminta induk bumbu padanya.
Memintanya membeberkan rahasia
Cara mengolah
Amis ikan keli
Dan belut muda dari perut rawa.
Dan juru selamat itu akan berkata sedia.
Ya, ia akan bersedia
Mengabulkannya.
Tentu saja,
Apabila mereka mau menyerahkan
Anak rusa perawan
Jadi menu makan malam
Tuan guru halus dalam dirinya.
Rumpun Padi dan Daun Mangkuk Basah
Rumpun padi dan daun mangkuk basah,
Cermai jatuh berderai mengisi ceruknya.
Rumpun padi dan daun mangkuk basah,
Kita bercinta di bawah desir anginnya.
Monyet betina menenggak madu
Terbayang cembung basahnya,
Monyet jantan menelan arak
Terkenang lengkung hijaunya.
Keong emas mati muda
Terhidu lekat getahnya.
Sambal Caluk
Kau telah tumpah dalam perut
Rasuk ke lambung.
Bersama potongan cabai rawit
Kau godam ginjal.
Ginjal memuntahkan cairan
Buih kristal.
Kepada urat kau bertukar salam,
Ia lantas membuka pintu gerbang.
Kau pun masuk,
Mendedah segmen darah,
Menyalip O2
Menggempur ujung napas.
Kau menyelinap ke dalam jantung.
Melalui jantung kau bergerak
Melesat menaiki tangga leher
Bagai menaiki lift
Menuju ruang atas
Pada gedung bertingkat.
Kini kau telah sampai
Di pucuk kepala.
Kepada rambut kau berkata,
”Matahari itu, tunggu saja,
Kelak akan kutepis panasnya.”
Kau pun menuju sendawa
Lepas bersama CO2
Menguap di udara.
Tiba-tiba, ada bau udang yang tiba
Sesaat kau lepas sirna.
Batu Giling Sungai Binjai
Caluk ini sudah hambar, manisku. Tidak terasa lagi udang.
Telah tergerus ia bersama angin dingin yang bersilat di hidungmu.
Napasmu telah sebeku semen, terlindung oleh lumut-lumut hijau
Yang tumbuh dan mengakar pada pintu lemari es batas waktu
Dan tak akan ada lagi pagi
Bersama goreng ikan asin, kerupuk kemplang,
Tahu mentah, tempe kecap, terung bakar,
Serta sayur pucuk ubi yang direbus setengah layu.
Kenapa kau lebih dulu pergi bersama sejuta kembang,
Bercerek-cerek air hujan, dan aroma minyak wangi
Milik orang sembahyang di masjid? Tidakkah kau mengerti
Betapa kita masih memiliki janji mendaki
Gunungan cabai hijau dengan berbungkah tomat muda bersama?
Kini aku sendiri, di sudut malam minggu, menunggu blender
Tunai menggiling bawang merah, bawang putih dan cabai.
Caluk ini akan kugerus dengan garpu.
Semoga kenangan pada gemulai tubuhmu yang lincah
Bersilat di badan batu itu membangkitkan seleraku.
Kesaksian Caluk Kangkung
Di langit fana, rasi bintang
Membungkuk udang.
Bulan daun kangkung
Melambai di tengahnya.
Di meja malam, roti tinggal suara balam.
Angin gunung yang turun
Menguarkan aroma perkawinan
Antara selai srikaya dan jeruk yang masam.
Di lambung waktu
Amerika dan China berperang
Mengeluarkan kebijakan kenaikan pajak
Bagi daging babi yang masuk ke dalam
Perut negara.
Aku berada di perut kota.
Di bibir jalan aku berdiri
Mataku melihat mati
Ke arah langit tertinggi.
Aku melihat anak-anak dengan tulang dengkul menyembul
Duduk diam di atas sisa pembongkaran rumah tua.
Mata mereka bagai redup lampu
Memandang ke arah restoran mahal.
Suara mereka sedalam ombak yang membentur karang.
Keluh kesah mereka bagai menggugah rasa lapar
Burung-burung bangkai yang bercinta
Di balik rimbun alang-alang.
Sekelompok pria paruh baya datang.
Berteriak-teriak sembari memukul-mukul panci.
Kuterka, barangkali mereka hendak menyampaikan
Bahasa bimbang dalam perutnya.
Ketika seorang koki tiba-tiba ikut menyumbang suara,
Aku bertanya, ”Kenapa kau terlihat begitu bergairah?”
Dan ia menjawab,
”Restoran itu telah mendatangkan orang asing
Sebagai juru masaknya!”
Orang Dusun di Tanah Pilih
Kami adalah orang datang. Memasuki kampung orang mati berdarah ini
Kami mengendap-endap di balik kegelapan hutan burung gagak.
Kami diburu dengan runcing kulim dan giam
Lantaran dituduh hendak memberontak dari sultan.
Padahal kami hanya minta sedikit tanah
Untuk menanam benih padi yang telah menelurkan tunasnya.
Kami menjadi iba. Di mata mereka,
Perjuangan kami selama ini dihargai sebatas rumput gajah.
Kami menjadi iba. Kematian saudara-saudara kami ternyata
Dibalas dengan sumpah serapah.
Ramoun Apta lahir di Muara Bungo, Jambi. Ia bergiat di Komunitas Seniman Bungo (KSB). Buku puisinya berjudul Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya (2018).
RAMOUN APTA
Rahasia dari Perut Dapur
Setelah dipanggang, caluk mekar
Bagai rengkah mawar.
Kugerus ia
Garpu demi garpu.
Kutabur ia ke dalam gelimang cabai, bawang
Dan tomat yang digoreng dengan minyak kelapa.
Lalu kumasukkan potongan-potongan daun kangkung,
Kusiram dengan sedikit air dari perut sumur.
Setelah matang, caluk kangkung
Kulemparkan ke lidahku.
Di lidahku, kurasakan serbuk itu pecah
Lumer ke seluruh lidah, membentur gusi,
Mengoyak langit-langit,
Mendedah anak lidah,
Bagai gelepar udang
Yang berlarian mengejar ombak.
Belut Hijau dari Perut Rawa
Kau adalah raja ikan dalam daftar menu makanan sungai.
Kau dihidang bersama cabai hijau yang digiling setengah enggan.
Kusantap kau di hari hujan, deruk tulangmu menawarkan asin lautan.
Juru Masak Orang Melayu
Akan datang seseorang
Berkopiah hitam
Mengaku juru masak
Datang mengetuk pintu rumah.
Dan kepada orang itu
Kelak burung ruak-ruak
Akan berhamburan bahagia
Mengepak-ngepakkan sayap mereka.
Burung ruak-ruak itu
Akan menawarkan daging
Keong emas yang mati
Terinjak kaki orang dusun di sawah.
Dan bila masa itu tiba
Akan banyak orang suci
Mengaku guru memasak dari dataran tinggi
Datang meminta induk bumbu padanya.
Memintanya membeberkan rahasia
Cara mengolah
Amis ikan keli
Dan belut muda dari perut rawa.
Dan juru selamat itu akan berkata sedia.
Ya, ia akan bersedia
Mengabulkannya.
Tentu saja,
Apabila mereka mau menyerahkan
Anak rusa perawan
Jadi menu makan malam
Tuan guru halus dalam dirinya.
Rumpun Padi dan Daun Mangkuk Basah
Rumpun padi dan daun mangkuk basah,
Cermai jatuh berderai mengisi ceruknya.
Rumpun padi dan daun mangkuk basah,
Kita bercinta di bawah desir anginnya.
Monyet betina menenggak madu
Terbayang cembung basahnya,
Monyet jantan menelan arak
Terkenang lengkung hijaunya.
Keong emas mati muda
Terhidu lekat getahnya.
Sambal Caluk
Kau telah tumpah dalam perut
Rasuk ke lambung.
Bersama potongan cabai rawit
Kau godam ginjal.
Ginjal memuntahkan cairan
Buih kristal.
Kepada urat kau bertukar salam,
Ia lantas membuka pintu gerbang.
Kau pun masuk,
Mendedah segmen darah,
Menyalip O2
Menggempur ujung napas.
Kau menyelinap ke dalam jantung.
Melalui jantung kau bergerak
Melesat menaiki tangga leher
Bagai menaiki lift
Menuju ruang atas
Pada gedung bertingkat.
Kini kau telah sampai
Di pucuk kepala.
Kepada rambut kau berkata,
”Matahari itu, tunggu saja,
Kelak akan kutepis panasnya.”
Kau pun menuju sendawa
Lepas bersama CO2
Menguap di udara.
Tiba-tiba, ada bau udang yang tiba
Sesaat kau lepas sirna.
Batu Giling Sungai Binjai
Caluk ini sudah hambar, manisku. Tidak terasa lagi udang.
Telah tergerus ia bersama angin dingin yang bersilat di hidungmu.
Napasmu telah sebeku semen, terlindung oleh lumut-lumut hijau
Yang tumbuh dan mengakar pada pintu lemari es batas waktu
Dan tak akan ada lagi pagi
Bersama goreng ikan asin, kerupuk kemplang,
Tahu mentah, tempe kecap, terung bakar,
Serta sayur pucuk ubi yang direbus setengah layu.
Kenapa kau lebih dulu pergi bersama sejuta kembang,
Bercerek-cerek air hujan, dan aroma minyak wangi
Milik orang sembahyang di masjid? Tidakkah kau mengerti
Betapa kita masih memiliki janji mendaki
Gunungan cabai hijau dengan berbungkah tomat muda bersama?
Kini aku sendiri, di sudut malam minggu, menunggu blender
Tunai menggiling bawang merah, bawang putih dan cabai.
Caluk ini akan kugerus dengan garpu.
Semoga kenangan pada gemulai tubuhmu yang lincah
Bersilat di badan batu itu membangkitkan seleraku.
Kesaksian Caluk Kangkung
Di langit fana, rasi bintang
Membungkuk udang.
Bulan daun kangkung
Melambai di tengahnya.
Di meja malam, roti tinggal suara balam.
Angin gunung yang turun
Menguarkan aroma perkawinan
Antara selai srikaya dan jeruk yang masam.
Di lambung waktu
Amerika dan China berperang
Mengeluarkan kebijakan kenaikan pajak
Bagi daging babi yang masuk ke dalam
Perut negara.
Aku berada di perut kota.
Di bibir jalan aku berdiri
Mataku melihat mati
Ke arah langit tertinggi.
Aku melihat anak-anak dengan tulang dengkul menyembul
Duduk diam di atas sisa pembongkaran rumah tua.
Mata mereka bagai redup lampu
Memandang ke arah restoran mahal.
Suara mereka sedalam ombak yang membentur karang.
Keluh kesah mereka bagai menggugah rasa lapar
Burung-burung bangkai yang bercinta
Di balik rimbun alang-alang.
Sekelompok pria paruh baya datang.
Berteriak-teriak sembari memukul-mukul panci.
Kuterka, barangkali mereka hendak menyampaikan
Bahasa bimbang dalam perutnya.
Ketika seorang koki tiba-tiba ikut menyumbang suara,
Aku bertanya, ”Kenapa kau terlihat begitu bergairah?”
Dan ia menjawab,
”Restoran itu telah mendatangkan orang asing
Sebagai juru masaknya!”
Orang Dusun di Tanah Pilih
Kami adalah orang datang. Memasuki kampung orang mati berdarah ini
Kami mengendap-endap di balik kegelapan hutan burung gagak.
Kami diburu dengan runcing kulim dan giam
Lantaran dituduh hendak memberontak dari sultan.
Padahal kami hanya minta sedikit tanah
Untuk menanam benih padi yang telah menelurkan tunasnya.
Kami menjadi iba. Di mata mereka,
Perjuangan kami selama ini dihargai sebatas rumput gajah.
Kami menjadi iba. Kematian saudara-saudara kami ternyata
Dibalas dengan sumpah serapah.
Ramoun Apta lahir di Muara Bungo, Jambi. Ia bergiat di Komunitas Seniman Bungo (KSB). Buku puisinya berjudul Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya (2018).
Komentar
Posting Komentar