Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
26 Mei 2018
Mashuri
Malam Berkumur Ombak
Bila rembulan ditikam bayang ilalang
Di mana langit berbintang kusimpan
Jalan-jalan penuh lolong dan gonggongan
Cahaya karam di ujung sabit karatan
Aku berdoa dengan pelepah pisang
Segala mayang lelah sembahyang
Malam tak juga jinak
Terus berkumur ombak
Kelak ketika kutub-kutub melebur
Segala warna menghablurku debur
Cahaya mancur dari gelap kubur
2018
Pesta Pesisir
Di gigir tambak lele, kuingat kembali
Jumat Wage – penuh kelesik
Angin bertiup dari langit rendah, berbisik
Mantra dunia ketiga
: Amis, berderit, dan luka
Kutukan tujuh trah
Burung-burung berkaok di tapal cakrawala
Berkabar ihwal danyang pemangsa
Bersiap dengan seribu tentara dunia bawah tanah
Memburu kepala pengkhianat
Sabda
: “Keramat sirrullah!”
Bibirku menggelepar
Ruh gelap kubaptis sebagai tampar
Cemeti bumi berhulu sengat
Kalajengking purba menggelepar
O, penguasa kala
Inilah anak cucu pewaris darah
Bila kau tak bergerak mengangkat kerak
Kerak kutukan
Aku akan melebur tuah tanah!
Tak ada jawab
Tapi angin mulai terkendali
Kutepuk batas tambak
Lele-lele beterbangan
Seperti hujan mata tombak
Menuju wajan pemberkatan
Raksasa
Menu curian pun terhidang
Dalam pesta
Tanpa doa pembuka
2018
Wirid Karburator
dalam kobar takbir bensin,
motor meraung di jejalan berbatu
: bersekutulah debu, asap, dan rindu!
kuungsikan oksigen ke haribaan
tabung logam
– dalam diam
sambil memintal harapan
dengan wirid karburator
dan zikir pendingin
– mengingatmu sambil nungging
tapi mesin hati masih hingar
detaknya berderak-derak dan barbar
oli ‘lah hilang daya lumasnya
seperti mimpi raib tuah jelajahnya
“apakah tarekatmu luka, Sepia”
bumi ‘lah goncang dalam pacuan liar
di arena balap tanpa ijazah
pedal gas berdoa sebagai akar rumput
: injaklah daku, jangan dicabut!
speedometer bergunjing ihwal daging dan najis
tak ada suluk rem angin
bila nanti bodi mulusmu kalis dari sintuh tanah
dan parut kerikil
itulah bukti, kau malaikat cinta!
kuhirup berkahmu – meski jalur terus menanjak
kulafadkan namamu dalam riuh.
2018
Munajat Kupu-kupu
aku memandang malam
dari tanggul siang
netraku hanya menangkap
sungai-sungai kecil, gelap
diapit semak belukar
penuh buaya dan ular
demi jubah pawang
aku pun memasuki malam
dengan mantram-mantram
karbitan
bentang kolam bening menyambutku
dengan kedalaman
aku lalu menyelam
di dasar hanya kutemu penyu
aku berenang
kupilih gaya kupu-kupu
– satwa pujaanku
melintasi batas dari pal ke pal
berwarna kental biru
begitu sepertiga malam menjelang
aku bermunajat:
o pemilin jagat
bila siang nanti naik derajat dari pagi
tutuplah mata matahari
agar tidak mengenaliku
sebagai perenang
yang cinta gaya kupu-kupu
malam
dan gandrung menikung
dalam palung sepimu
2018
Raja Cenayang
bila waktu menjadi mahkotamu
akulah ular utara yang merayap ke hulu takhta
sisikku bersekutu kalajengking, kalabang, juga kenangan
taringku menghentikan kalacakra di perempatan
bisaku meneriakkan mantram-mantram malam
o raja pandita, di mana gerbang kaliyuga
pintu kala yang kau timang di keropak tua
di mana luka sayatan yang memanjang di lambung sejarah
kini, aku berdiri di pusaramu
menggali tanah makammu yang gaib
2018
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya antara lain Pengantin Lumpur (2005), Munajat Buaya Darat (2013), dan Dangdut Makrifat (2018). Ia bekerja sebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Adimas Immanuel
Sekolah Minggu
Tubuhmu disesaki penat
dari Senin hingga Jumat
maka kau memesan sebuah hari
yang terus memberi: Sabtu.
Namun tubuhmu jadi kelu
Sebab Sabtu begitu singkat
dan jiwamu masih mencari hari
yang rentan dicuri: Minggu.
Jauh ke dalam Minggu pagi
adalah alunan musik dan nyanyi
jiwa yang tak lagi sembunyi.
Jauh ke dalam Minggu pagi
adalah irama detik dan sunyi
hujan bagi ladang-ladang puisi.
Pada Sebuah Minggu Pagi
Pada sebuah Minggu pagi
Kalender menggulung diri
Siapa mau diberkati
bisa segera mulai
sebelum waktu
mengunci
Pada sebuah Minggu pagi
Lonceng tak dibunyikan
Paduan suara ditiadakan
Tak ada nyanyi puja-puji
Hanya sunyi
Isak sonder bunyi
Dan tubuh-tubuh
yang menjelma puisi
Saudara Seamin
Evan & Nathan
“Hari ini firman apa
yang ingin kalian dengar?”
Tanya Guru Sekolah Minggu
yang tidak digubris oleh kami.
Kami tetaplah anak-anak
yang suka bermain-main
dengan nasib kami sendiri
abai pada saudara senegeri.
Guru Sekolah Minggu tersenyum
dan kembali mengulang tanya:
“Hari ini firman apa
yang ingin kalian dengar?”
Kami tetap tak menjawab.
Kami tetaplah anak-anak yang
berlomba mengeja masa depan
menolak didikte ekonomi
guyon politik sepanjang hari
pamer iman baru sesekali
sambil sebar hoax tak peduli.
Guru Sekolah Minggu mendekat
dan lembut berujar kepada kami:
“Jika begitu, kali ini biarlah kita
kedatangan murid baru yang rindu
mendengar firmanKu. Jangan
halangi dua saudara seamin itu
datang kepadaKu. Sebab merekalah
empunya kerajaan Surga.”
Hari ini sepasang kakak-beradik
telah menjadi firman (juga teguran)
yang dengan pedih mesti kami dengar.
Adimas Immanuel lahir di Solo, Jawa Tengah, 8 Juli 1991. Kumpulan puisinya adalah Pelesir Mimpi (2013), Di Hadapan Rahasia (2016), dan Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali (2016).
Mashuri
Malam Berkumur Ombak
Bila rembulan ditikam bayang ilalang
Di mana langit berbintang kusimpan
Jalan-jalan penuh lolong dan gonggongan
Cahaya karam di ujung sabit karatan
Aku berdoa dengan pelepah pisang
Segala mayang lelah sembahyang
Malam tak juga jinak
Terus berkumur ombak
Kelak ketika kutub-kutub melebur
Segala warna menghablurku debur
Cahaya mancur dari gelap kubur
2018
Pesta Pesisir
Di gigir tambak lele, kuingat kembali
Jumat Wage – penuh kelesik
Angin bertiup dari langit rendah, berbisik
Mantra dunia ketiga
: Amis, berderit, dan luka
Kutukan tujuh trah
Burung-burung berkaok di tapal cakrawala
Berkabar ihwal danyang pemangsa
Bersiap dengan seribu tentara dunia bawah tanah
Memburu kepala pengkhianat
Sabda
: “Keramat sirrullah!”
Bibirku menggelepar
Ruh gelap kubaptis sebagai tampar
Cemeti bumi berhulu sengat
Kalajengking purba menggelepar
O, penguasa kala
Inilah anak cucu pewaris darah
Bila kau tak bergerak mengangkat kerak
Kerak kutukan
Aku akan melebur tuah tanah!
Tak ada jawab
Tapi angin mulai terkendali
Kutepuk batas tambak
Lele-lele beterbangan
Seperti hujan mata tombak
Menuju wajan pemberkatan
Raksasa
Menu curian pun terhidang
Dalam pesta
Tanpa doa pembuka
2018
Wirid Karburator
dalam kobar takbir bensin,
motor meraung di jejalan berbatu
: bersekutulah debu, asap, dan rindu!
kuungsikan oksigen ke haribaan
tabung logam
– dalam diam
sambil memintal harapan
dengan wirid karburator
dan zikir pendingin
– mengingatmu sambil nungging
tapi mesin hati masih hingar
detaknya berderak-derak dan barbar
oli ‘lah hilang daya lumasnya
seperti mimpi raib tuah jelajahnya
“apakah tarekatmu luka, Sepia”
bumi ‘lah goncang dalam pacuan liar
di arena balap tanpa ijazah
pedal gas berdoa sebagai akar rumput
: injaklah daku, jangan dicabut!
speedometer bergunjing ihwal daging dan najis
tak ada suluk rem angin
bila nanti bodi mulusmu kalis dari sintuh tanah
dan parut kerikil
itulah bukti, kau malaikat cinta!
kuhirup berkahmu – meski jalur terus menanjak
kulafadkan namamu dalam riuh.
2018
Munajat Kupu-kupu
aku memandang malam
dari tanggul siang
netraku hanya menangkap
sungai-sungai kecil, gelap
diapit semak belukar
penuh buaya dan ular
demi jubah pawang
aku pun memasuki malam
dengan mantram-mantram
karbitan
bentang kolam bening menyambutku
dengan kedalaman
aku lalu menyelam
di dasar hanya kutemu penyu
aku berenang
kupilih gaya kupu-kupu
– satwa pujaanku
melintasi batas dari pal ke pal
berwarna kental biru
begitu sepertiga malam menjelang
aku bermunajat:
o pemilin jagat
bila siang nanti naik derajat dari pagi
tutuplah mata matahari
agar tidak mengenaliku
sebagai perenang
yang cinta gaya kupu-kupu
malam
dan gandrung menikung
dalam palung sepimu
2018
Raja Cenayang
bila waktu menjadi mahkotamu
akulah ular utara yang merayap ke hulu takhta
sisikku bersekutu kalajengking, kalabang, juga kenangan
taringku menghentikan kalacakra di perempatan
bisaku meneriakkan mantram-mantram malam
o raja pandita, di mana gerbang kaliyuga
pintu kala yang kau timang di keropak tua
di mana luka sayatan yang memanjang di lambung sejarah
kini, aku berdiri di pusaramu
menggali tanah makammu yang gaib
2018
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya antara lain Pengantin Lumpur (2005), Munajat Buaya Darat (2013), dan Dangdut Makrifat (2018). Ia bekerja sebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Adimas Immanuel
Sekolah Minggu
Tubuhmu disesaki penat
dari Senin hingga Jumat
maka kau memesan sebuah hari
yang terus memberi: Sabtu.
Namun tubuhmu jadi kelu
Sebab Sabtu begitu singkat
dan jiwamu masih mencari hari
yang rentan dicuri: Minggu.
Jauh ke dalam Minggu pagi
adalah alunan musik dan nyanyi
jiwa yang tak lagi sembunyi.
Jauh ke dalam Minggu pagi
adalah irama detik dan sunyi
hujan bagi ladang-ladang puisi.
Pada Sebuah Minggu Pagi
Pada sebuah Minggu pagi
Kalender menggulung diri
Siapa mau diberkati
bisa segera mulai
sebelum waktu
mengunci
Pada sebuah Minggu pagi
Lonceng tak dibunyikan
Paduan suara ditiadakan
Tak ada nyanyi puja-puji
Hanya sunyi
Isak sonder bunyi
Dan tubuh-tubuh
yang menjelma puisi
Saudara Seamin
Evan & Nathan
“Hari ini firman apa
yang ingin kalian dengar?”
Tanya Guru Sekolah Minggu
yang tidak digubris oleh kami.
Kami tetaplah anak-anak
yang suka bermain-main
dengan nasib kami sendiri
abai pada saudara senegeri.
Guru Sekolah Minggu tersenyum
dan kembali mengulang tanya:
“Hari ini firman apa
yang ingin kalian dengar?”
Kami tetap tak menjawab.
Kami tetaplah anak-anak yang
berlomba mengeja masa depan
menolak didikte ekonomi
guyon politik sepanjang hari
pamer iman baru sesekali
sambil sebar hoax tak peduli.
Guru Sekolah Minggu mendekat
dan lembut berujar kepada kami:
“Jika begitu, kali ini biarlah kita
kedatangan murid baru yang rindu
mendengar firmanKu. Jangan
halangi dua saudara seamin itu
datang kepadaKu. Sebab merekalah
empunya kerajaan Surga.”
Hari ini sepasang kakak-beradik
telah menjadi firman (juga teguran)
yang dengan pedih mesti kami dengar.
Adimas Immanuel lahir di Solo, Jawa Tengah, 8 Juli 1991. Kumpulan puisinya adalah Pelesir Mimpi (2013), Di Hadapan Rahasia (2016), dan Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali (2016).
Komentar
Posting Komentar