Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
5 Mei 2018
Joko Pinurbo
Kamar Kecil
Pada suatu kangen
aku dijenguk oleh bahasa Indonesia
yang baik hati dan tidak sombong
serta rajin tertawa.
Kusilakan ia duduk
di atas kamus besar
di meja yang penuh buku dan kamu.
Matanya bingung
melihat kamarku lebih kecil
dari kamar mandi teman-temanku.
Ia turun dari kamus
dan bertanya,
“Mana kamar besarmu?”
“Kamar besarku ada dalam rinduku.”
(Jokpin, 2017)
Rumah Tangga
Bertandang ke rumahmu,
aku mendaki jalan berundak-undak
serupa tangga. Jalan berundak-undak
yang tersusun dari batu bata
merah hati. Hatimu.
Masuk ke ruang tamu, aku lanjut
menapaki tangga menuju kopimu.
Tangga kayu yang membuat kakiku
gemetar karena rindu.
Begitu kuucapkan halosu
di depan pintu, sebutir sepi
menggelinding menuruni tangga
menuju insomniamu. Seekor kucing
meluncur menyusuri tangga
menuju aduhmu.
“Aku ingin sembuh dalam sajakmu.”
Bertandang ke dalam sajakku,
kau akan melewati
tangga kata berliku-liku
dan disambut hangat sepasang asu.
(Jokpin, 2017)
Joko Pinurbo
Kamar Kecil
Pada suatu kangen
aku dijenguk oleh bahasa Indonesia
yang baik hati dan tidak sombong
serta rajin tertawa.
Kusilakan ia duduk
di atas kamus besar
di meja yang penuh buku dan kamu.
Matanya bingung
melihat kamarku lebih kecil
dari kamar mandi teman-temanku.
Ia turun dari kamus
dan bertanya,
“Mana kamar besarmu?”
“Kamar besarku ada dalam rinduku.”
(Jokpin, 2017)
Rumah Tangga
Bertandang ke rumahmu,
aku mendaki jalan berundak-undak
serupa tangga. Jalan berundak-undak
yang tersusun dari batu bata
merah hati. Hatimu.
Masuk ke ruang tamu, aku lanjut
menapaki tangga menuju kopimu.
Tangga kayu yang membuat kakiku
gemetar karena rindu.
Begitu kuucapkan halosu
di depan pintu, sebutir sepi
menggelinding menuruni tangga
menuju insomniamu. Seekor kucing
meluncur menyusuri tangga
menuju aduhmu.
“Aku ingin sembuh dalam sajakmu.”
Bertandang ke dalam sajakku,
kau akan melewati
tangga kata berliku-liku
dan disambut hangat sepasang asu.
(Jokpin, 2017)
Masuk Angin
Angin malam
memasuki tubuhku.
Angin dan malam
merasuki aku.
Sehelai celana
mengambang di kolam.
Sebuah ponsel tertegun
memandang bulan.
Sebutir obat
menunggu ditelan.
Aku ingin duduk
membaca buku
di atas kursi
yang sandarannya
dadamu
dan kakinya kakimu.
(Jokpin, 2017)
Buah Bibir
Buah bibir adalah cium:
manis yang tak mau habis,
segar yang takut hambar,
hangat yang ingin lekat,
sesap yang menyisakan senyap,
utuh yang berangsur luruh.
Buah cium adalah aduh.
(Jokpin, 2017)
Buah Hati
Langit memberkati kita
dengan hujan
yang istikamah.
Hatimu bersemi kembali,
tambah sabar,
tumbuh subur
dan berbuah.
Kau di dalam selimut,
aku di dalam kau,
merekah di malam basah.
Ingin kupetik
buah hatimu
yang merah
dan kau berkata, “Lekaslah.”
(Jokpin, 2017)
Anak Buah
Anak buah
yang hijau muda
gemetar
dibelai anak angin
di tangkai tua.
Anak air
di bawah pohon
berdebar
menunggu
anak daun
terlepas
dari anak cabang
dan kembali
menjadi anak bumi.
Aku mau
jadi anak susu
bagi buah kopi
yang meranum
di batang
tubuhmu.
(Jokpin, 2018)
Kabar Burung
Burung memberi kabar kepada pak tua
yang pergi ke ladang selepas subuh
bahwa benih yang ia tanam di tanah
yang dicangkulnya akan tumbuh dalam doanya.
Kicau adalah mazmur yang lebih merdu
dari rindu dan pak tua itu tahu,
encok yang menggigit pinggangnya
adalah amin yang tak perlu diucapkannya.
(Jokpin, 2017)
Kopi Tubruk
Dilarang ngopi sambil bersedih.
Itulah yang diucapkan
bibir cangkir kepada bibirku
sesaat sebelum aku menyerahkan diri
kepada kopi.
Mataku tabah
dan hatiku tak goyah
ketika ada yang tiba-tiba menubrukku
dari belakang.
Di cangkir cantik ini
kubunuh dan kuhabiskan
kau, kesedihan,
sambil kuingat sebuah firman:
pahit sehari cukuplah buat sehari.
(Jokpin, 2017)
Datang Bulan
Bulan datang
mengobati matamu
yang merah:
mata yang banyak lembur
dan kurang tidur.
Mata merahmu:
mata jelata
yang menyala
pada lampu-lampu jelita.
(Jokpin, 2017)
Mimpi Basah
Dalam mimpinya
ia diajak ayahnya mancing di sungai.
Ia dan ayahnya duduk
bercangkung dan membisu
hanya untuk bermenung dan menunggu.
Ia senang melihat bulan
bergoyang-goyang di air.
Saat matanya tersengat kantuk,
bulan tiba-tiba tersangkut
dan menggelepar di ujung kail.
Ia terperanjat dan tercebur ke sungai.
Ayahnya cepat-cepat melompat
dan mengangkat tubuhnya yang kecil.
Lalu ia terjaga.
Matanya berair.
Ia dengar suara sayup
mendiang ayahnya
di antara azan dan hujan.
Komputernya masih menyala
dan ia ingin mencangkung mengail kata.
(Oktober 2017)
Cuci Mata
Ia mencuci matanya dengan embun
yang berkilau di atas daun.
Embun yang dilahirkan hujan semalam.
Hujan yang dikirim ibunya
dari belahan waktu yang jauh.
Ibu yang dulu menanam huruf s
di celah bibirnya di remang subuh.
Bibir yang haus susu.
Susu yang mengandung vitamin C. Candu.
(Jokpin, 2017)
Ninabobok
Nina bobok
dalam pelukan agama.
Kalau tidak bobok
dalam pelukan agama,
nanti digigit
negara neraka.
Terbuai
iklan masuk surga,
Nina lupa memeluk
gulingnya.
Tak ada yang bisa
membangunkan Nina
yang sedang
mabok bobok
dalam pelukan
negara agama
selain ponselnya
yang tak beragama.
(Jokpin, 2018)
Putri Malu
Seorang putri
tersipu malu
ketika burung-burung
di rindang cemara
memanggil namanya.
Seorang putri
mondar-mandir
di seberang istana
menunggu negara
tak kunjung tiba.
Ketika bulan turun
mencium matanya,
sepi yang berkibar
di tiang bendera
memanggil namanya.
Seorang putri
bagi yang hilang
dan binasa
dan masih ada.
(Jokpin, 2018)
Joko Pinurbo lahir di Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962; bermukim di Yogyakarta. Buku puisi terbarunya: Buku Latihan Tidur (2017). Ia telah menerima berbagai penghargaan, antara lain Southeast Asian (SEA) Write Award 2014 untuk buku puisi Baju Bulan.
Komentar
Posting Komentar