Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
19 Mei 2018
Warih Wisatsana
Kemolekan Landak
kepada Muriel Barbery
Sungguh tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Bukankah kita lalat tak ingin putus asa
berkali membenturkan diri ke kaca
berulang terbangun dini hari
mencari padanan arti
menimang bunyi
Menemukan goa tersembunyi dalam kata
dengan remang cahaya di ujungnya
Jalan berliku ke masa lalu
di mana kau dan aku meragu
bertanya selalu
Pada diri siapakah cermin ini terpahami?
Tapi semalaman tak kunjung kita temukan kiasan
bagi ular yang semusim melingkar di belukar
Atau buah apel dalam ingatan
yang membusuk perlahan
di mana seekor ulat merelakan rumah raganya
sebelum terbang jadi lebah kasmaran
bercumbu sekali lalu mati sendiri
Semalaman tak juga kita temukan
pengandaian sempurna bagi sang juru jaga
Landak molek
yang menyimpan duri dalam diri
menahun di batin tak tersembuhkan
Berulang kita menimbang
meluluhkan arti dan bunyi
agar kisah ini direnungi berkali
mengalir dari kamar ke kamar
bagai tulisan pesan orang mati
Mengalir seturut kelana kucing tua
yang tidur di sembarang taman
mengikuti dari kejauhan
dua perempuan paruh baya
terdiam
menyeberangi malam
Sungguhkah setiap hari menunggu
seseorang mengetuk pintu
sambil menghapal derik jengkrik
dalam haiku
yang tak kunjung
sehening petang
Seraya minum teh
meresapi kehampaan
Tapi tak ada yang menyadari
di lantai tertinggi gedung menjulang ini
seorang bocah melankolia
jemu pada ibu
Membayangkan bunuh diri setahun lagi
Tak kuasa ia melupakan bunga violet muda
hiasan aneka pakaian dalam
selembut jaring laba-laba
yang mengelabui mata
Sederas ingatan cemas
seharian menghanyutkan ibu ke dalam cermin
Ya, tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Semua ini bermula dari lelaki tua
berharap terlihat selalu bijaksana
dengan segala mungkin
ingin putri terkasihnya
menjelma si jelita panggung semalaman
Kiasan sempurna bagi landak molek
yang menyembunyikan duri dalam dirinya
2018
Mesatya
(1)
Ini tarian terakhirmu yang indah
atau tubuh pasrah yang sedih
Penulis lakon itu mengelabuimu
membujukmu jadi sita yang setia
berserah diri
terjun ke unggun api
padahal aku bukan titisan rama
bukan pula samaran rahwana
Ia menjanjikanmu kisah abadi
tersurat prasasti di kaki candi
sebagai putri terpilih tak terganti
Seakan hari terlunasi dan tergenapi
Padahal semalaman
kita telah mengubah akhir cerita
pangeran itu mereguk secawan racun
menolak kutuk langit
yakin dirinya suci
tak akan mati hari ini
Adapun raja tua durjana tewas di pembaringan
dengan sebilah pisau tipis menembus jantung
Ia sempat memuji wangi tubuhmu
kemudian napasnya tersengal
menyadari ajal sejengkal dari sesal
(2)
Tapi semalaman di atas panggung
penulis lakon itu berulang membujukmu
meyakinkanku
bahwa wanita sempurna
sebagaimana sita setia tak ternoda
Tersurat segalanya pada cerita kitab lama
seturut riwayat dan hikayat
yang tak tercatat
Bahwa unggun api ini kekal dalam diri
terus menyala menguji hati sungguhkah suci
Bahwa tubuh perempuan yang bersalah
hanya akan menyisakan puing
hidup padam
segelap arang
(3)
Bukankah kita sepakat
mengelabui penulis lakon itu
di atas panggung pada akhir cerita
unggun api padam sebelum kau terjun
Tubuhmu seketika menderas hujan
luluh meremang
lalu payung payung
melayang turun perlahan
Kita sehening dinding
memandang ranjang
berangsur hilang
Tapi ini tubuh pasrah yang indah
atau tarian terakhirmu yang sedih?
(4)
Penulis lakon itu berkali meyakinkanmu
sita bahagia karena sungguh tak ternoda
Padahal ia sendiri mungkin tak percaya
2018
Sehari Saja Bebas di Jalan Bypass
Pertapa bisu. Serangga lemah
yang berumah di celah tanah
Lengkingkan lagi lagu riangmu
Gamang melaju di jalanan remang masa depan
jalan lurus bebas hambatan
Ayo, kita mabuk. Lupakan sejenak
apakah engkau segera akan tiba di tujuan
atau ringsek ditubruk nasib buruk
Ayo, kita mabuk. Siulkan lagi lagu riang
Pesta cahaya bulan di alang-alang
Musim kawin katak hijau. Atau nyanyi peri
hutan lindung masa kanak
Karena jagat raya ini tak bersebab
Sehari saja bebaskan diri dari tanya
Tak penting, apa kelak kita akan menitis
jadi makhluk mulia
atau cuma segumpal tanah liat
Sehari saja bebas
dari sebab dan jawab
Jangan tanya apakah
hanya dalam sebaris sajak
Sorga menjelma nyata di bumi
Ayo, kita mabuk. Bergegas di jalan lurus
Menjadi binatang usiran
yang dihinakan dan dilupakan
Pasrah berumah di celah dingin tanah
2017
Mythomania
Yang paling jenaka adalah diriku
setiap petang mengunjungi semua orang
membayangkan mereka sebagai dinding
atau selembar cermin berbagi murung
Mereka merasa pangeran budiman
samaran rubah gunung yang lembut hati
Seakan sungguh dalam diriku
tersembunyi boneka kikuk terkasih
sepenuh hari ingin dilindungi dan dicintai
Berkali kukisahkan tupai sebatang kara
tertidur bahagia di pohon tua tepi belantara
dalam naungan rasi bintang cemerlang
yang tak pernah ingkar janji
mengelilingi bumi seratus tahun sekali
Bila mereka mulai sangsi akan ceritaku
seketika kutanyakan teka teki ini
Mengapa di segala cermin sekalian dinding
selalu berlapis bayang
tak dapat diterka wujud rupa sebenarnya?
Sungguhkah rubah yang sesat di pedusunan
akan jinak oleh belas kasih dan uluran kebaikan
seturut dongeng ibu yang dulu berkali dituturkan?
Mungkin mereka ragu atau bahkan haru
terkenang masa kanak berlimpah sukacita
melamunkan hari tua tak bahagia
Berpura memahami betapa setiap wajah
menyimpan wajah lain, muslihat atau siasat
tak lebih permainan jerat
tali temali nasib dan peruntungan
yang datang berulang
Tapi sungguhkah kita tak menyadari
kawan sepenanggungan setiap hari
mengandaikan diri
seekor ikan kecil
dalam botol kecil
hanya kuasa mengibaskan ekor sesekali
Yang paling jenaka adalah aku
setiap petang mendatangi cermin dan dinding
merasa bahwa wajah semua orang
tak lebih si culas nan cerdas
Ataukah si cerdik tak hendak licik, berlapis tipis
dalam remang pandang dalam samar bayang
Serupa tupai dan rubah yang bersembunyi dalam diri
2018
Warih Wisatsana tinggal di Denpasar, Bali. Kumpulan puisinya yang terbaru adalah Pualam Malam (segera terbit).
Warih Wisatsana
Kemolekan Landak
kepada Muriel Barbery
Sungguh tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Bukankah kita lalat tak ingin putus asa
berkali membenturkan diri ke kaca
berulang terbangun dini hari
mencari padanan arti
menimang bunyi
Menemukan goa tersembunyi dalam kata
dengan remang cahaya di ujungnya
Jalan berliku ke masa lalu
di mana kau dan aku meragu
bertanya selalu
Pada diri siapakah cermin ini terpahami?
Tapi semalaman tak kunjung kita temukan kiasan
bagi ular yang semusim melingkar di belukar
Atau buah apel dalam ingatan
yang membusuk perlahan
di mana seekor ulat merelakan rumah raganya
sebelum terbang jadi lebah kasmaran
bercumbu sekali lalu mati sendiri
Semalaman tak juga kita temukan
pengandaian sempurna bagi sang juru jaga
Landak molek
yang menyimpan duri dalam diri
menahun di batin tak tersembuhkan
Berulang kita menimbang
meluluhkan arti dan bunyi
agar kisah ini direnungi berkali
mengalir dari kamar ke kamar
bagai tulisan pesan orang mati
Mengalir seturut kelana kucing tua
yang tidur di sembarang taman
mengikuti dari kejauhan
dua perempuan paruh baya
terdiam
menyeberangi malam
Sungguhkah setiap hari menunggu
seseorang mengetuk pintu
sambil menghapal derik jengkrik
dalam haiku
yang tak kunjung
sehening petang
Seraya minum teh
meresapi kehampaan
Tapi tak ada yang menyadari
di lantai tertinggi gedung menjulang ini
seorang bocah melankolia
jemu pada ibu
Membayangkan bunuh diri setahun lagi
Tak kuasa ia melupakan bunga violet muda
hiasan aneka pakaian dalam
selembut jaring laba-laba
yang mengelabui mata
Sederas ingatan cemas
seharian menghanyutkan ibu ke dalam cermin
Ya, tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Semua ini bermula dari lelaki tua
berharap terlihat selalu bijaksana
dengan segala mungkin
ingin putri terkasihnya
menjelma si jelita panggung semalaman
Kiasan sempurna bagi landak molek
yang menyembunyikan duri dalam dirinya
2018
Mesatya
(1)
Ini tarian terakhirmu yang indah
atau tubuh pasrah yang sedih
Penulis lakon itu mengelabuimu
membujukmu jadi sita yang setia
berserah diri
terjun ke unggun api
padahal aku bukan titisan rama
bukan pula samaran rahwana
Ia menjanjikanmu kisah abadi
tersurat prasasti di kaki candi
sebagai putri terpilih tak terganti
Seakan hari terlunasi dan tergenapi
Padahal semalaman
kita telah mengubah akhir cerita
pangeran itu mereguk secawan racun
menolak kutuk langit
yakin dirinya suci
tak akan mati hari ini
Adapun raja tua durjana tewas di pembaringan
dengan sebilah pisau tipis menembus jantung
Ia sempat memuji wangi tubuhmu
kemudian napasnya tersengal
menyadari ajal sejengkal dari sesal
(2)
Tapi semalaman di atas panggung
penulis lakon itu berulang membujukmu
meyakinkanku
bahwa wanita sempurna
sebagaimana sita setia tak ternoda
Tersurat segalanya pada cerita kitab lama
seturut riwayat dan hikayat
yang tak tercatat
Bahwa unggun api ini kekal dalam diri
terus menyala menguji hati sungguhkah suci
Bahwa tubuh perempuan yang bersalah
hanya akan menyisakan puing
hidup padam
segelap arang
(3)
Bukankah kita sepakat
mengelabui penulis lakon itu
di atas panggung pada akhir cerita
unggun api padam sebelum kau terjun
Tubuhmu seketika menderas hujan
luluh meremang
lalu payung payung
melayang turun perlahan
Kita sehening dinding
memandang ranjang
berangsur hilang
Tapi ini tubuh pasrah yang indah
atau tarian terakhirmu yang sedih?
(4)
Penulis lakon itu berkali meyakinkanmu
sita bahagia karena sungguh tak ternoda
Padahal ia sendiri mungkin tak percaya
2018
Sehari Saja Bebas di Jalan Bypass
Pertapa bisu. Serangga lemah
yang berumah di celah tanah
Lengkingkan lagi lagu riangmu
Gamang melaju di jalanan remang masa depan
jalan lurus bebas hambatan
Ayo, kita mabuk. Lupakan sejenak
apakah engkau segera akan tiba di tujuan
atau ringsek ditubruk nasib buruk
Ayo, kita mabuk. Siulkan lagi lagu riang
Pesta cahaya bulan di alang-alang
Musim kawin katak hijau. Atau nyanyi peri
hutan lindung masa kanak
Karena jagat raya ini tak bersebab
Sehari saja bebaskan diri dari tanya
Tak penting, apa kelak kita akan menitis
jadi makhluk mulia
atau cuma segumpal tanah liat
Sehari saja bebas
dari sebab dan jawab
Jangan tanya apakah
hanya dalam sebaris sajak
Sorga menjelma nyata di bumi
Ayo, kita mabuk. Bergegas di jalan lurus
Menjadi binatang usiran
yang dihinakan dan dilupakan
Pasrah berumah di celah dingin tanah
2017
Mythomania
Yang paling jenaka adalah diriku
setiap petang mengunjungi semua orang
membayangkan mereka sebagai dinding
atau selembar cermin berbagi murung
Mereka merasa pangeran budiman
samaran rubah gunung yang lembut hati
Seakan sungguh dalam diriku
tersembunyi boneka kikuk terkasih
sepenuh hari ingin dilindungi dan dicintai
Berkali kukisahkan tupai sebatang kara
tertidur bahagia di pohon tua tepi belantara
dalam naungan rasi bintang cemerlang
yang tak pernah ingkar janji
mengelilingi bumi seratus tahun sekali
Bila mereka mulai sangsi akan ceritaku
seketika kutanyakan teka teki ini
Mengapa di segala cermin sekalian dinding
selalu berlapis bayang
tak dapat diterka wujud rupa sebenarnya?
Sungguhkah rubah yang sesat di pedusunan
akan jinak oleh belas kasih dan uluran kebaikan
seturut dongeng ibu yang dulu berkali dituturkan?
Mungkin mereka ragu atau bahkan haru
terkenang masa kanak berlimpah sukacita
melamunkan hari tua tak bahagia
Berpura memahami betapa setiap wajah
menyimpan wajah lain, muslihat atau siasat
tak lebih permainan jerat
tali temali nasib dan peruntungan
yang datang berulang
Tapi sungguhkah kita tak menyadari
kawan sepenanggungan setiap hari
mengandaikan diri
seekor ikan kecil
dalam botol kecil
hanya kuasa mengibaskan ekor sesekali
Yang paling jenaka adalah aku
setiap petang mendatangi cermin dan dinding
merasa bahwa wajah semua orang
tak lebih si culas nan cerdas
Ataukah si cerdik tak hendak licik, berlapis tipis
dalam remang pandang dalam samar bayang
Serupa tupai dan rubah yang bersembunyi dalam diri
2018
Warih Wisatsana tinggal di Denpasar, Bali. Kumpulan puisinya yang terbaru adalah Pualam Malam (segera terbit).
Komentar
Posting Komentar