Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Melawat 1258 Saka oleh Marsten L Tarigan

12 Mei 2018
Marsten L Tarigan

Melawat 1258 Saka

Sumpah Palapa, tahun 1258 Saka; nama
kami telah disebutkan untuk segera ditaklukkan.
Tapi tanduk kerbau telah kami letakkan di ujung
atap-atap rumah kami, sebagai tanda rendah diri,
sekaligus tanda bahwa kami tak akan tunduk
pada sesiapa yang menganggap kami sebagai
musuh atau bidak.

/1/
Keserasian lembah-lembah perbukitan dan
hutan, telah menjadi pagar bagi negeri kami.
Pengrengret, cicak bertubuh wajik dan berkepala
dua telah diturunkan di tanah kami oleh Dibata Si
Mada Tenuang. Sejak berabad-abad lampau, ia
pelindung purba bagi kami, penunjuk arah dalam
hitam pelukan hutan. Haru Karo, mungkin adalah
ingatan yang paling tipis, yang mungkin akan kau
lewatkan dalam lipatan-lipatan sejarah. Tapi
kami tegak menjajak bumi lewat tabas dan
hikayat leluhur kami, berdiri di atas tiap kata
kata melepas gurit yang selalu kami tembangkan.

/2/
Kami telah terkumpul sebagai himpun Merga Si
Lima, seikat ilalang yang terus membiang, yang
membuat anak panah musuh malu untuk melesat
membahang. Kami belajar memanggil seseorang
untuk bersekutu, juga cara memanggil piaraan
dan menghalau burung-burung untuk menyikapi
sebuah perang. Litani dan kata-kata arkais telah
menggurui kami tentang waktu, dan juga lapis
tabas penolak bala lewat arus alir sungai terbelah
dua. Maka kami tak inginkan perang datang
pada kami, tak inginkan parang berdarah dalam
genggaman kami.

/3/
Perang itu milik siapa? Sejarah ini milik siapa?
Kami telah melawan Majapahit, Sriwijaya,
Malaka, Johor dan Aceh. Seperti samar, atau
barangkali bagimu adalah memar pada warna-
warna megah di hamparan carik kertas.
Mengendap sebagai lorek, berjalur-jalur kulit
ular, atau alamat yang memberi peringatan untuk
segera kau hiraukan. Tulang daun sirih, riak arus
sungai terbelah dua, segalanya tersembunyi
sebagai rahasia. Menyimpan diri, tenggelam
dalam hari di balik segala pembacaan yang telah
ada.

/4/
Tiap kali sejarah itu berkelebat, kami hanya sepah
kertas-kertas yang terlepas dari likat tulang buku.
Lipatan sejarah, barangkali telah sembunyikan kami
dari pukau orang-orang yang mengerti bahasa.

/5/
Kami dalam lipatan, pada sejarah jadi variasi.
Orang dulu hingga sekarang masih menerka,
kami pernah ada di Deli, Belawan, muara Sungai
Panai, muara Sungai Barumun, juga muara Sungai
Wampu. Di manakah kiranya jangkauan luas satu
kerajaan besar dapat bertumpu pada hitungan?
Hampar hutan yang telah jinak, sejangkau gema
suara burung Piso Surit, sejauh alir arus dari hulu
sungai yang terbelah hingga muaranya, sekuat
langkah kaki menyusur cahaya yang berhenti
karena bias biru laut.

/6/
Kata-kata tak pernah ingin menggali pusaranya.
Pohon hikayat menjaga jarak dengan tanah,
meski telah rakuk tubuhnya, sedikit lagi
menyentuh daratan bertuah. Tapi kami masih
menemukan diri kami sendiri lewat tamsil Piso
Tumbuk Lada, ukir Gerga, kembayat Uis Megara,
pertalian hidup Rakut Si Telu dan Tutur Si Waluh.

(Kandang Singa, 2017)

Marsten L Tarigan lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 23 Februari 1991. Mengupak Api yang Hampir Padam (2016) adalah buku kumpulan puisinya.



May Moon Nasution

Begu-begu dalam Kepalaku*

6.
begu ganjang, ia pekat mengginjang,
pada mulanya sulur-sulur asap hitam,
seperti bayang-bayang di hari petang
#
lebat serupa serabut-serabut janggut,
kau mesti waspadai pekat kelamnya,
#
bisikannya melesat seperti bayang-bayang,
yang ingin mencengkram batang merihmu.
7.
begu datu, persekongkolan agung,
dengan persyaratan tumbal darah
#
mengirimimu penyakit mara dan bahaya,
di setiap gelagatmu dalam mata batin,
yang tanpa kau ketahui letak perkara.
8.
begu babiat, belang yang terus mengintaimu,
aroma darahnya sama dengan darahmu,
ia akan mengaum bila darah burukmu tua,
maka kau mesti waswas atas terkamannya
#
di hutan-hutan yang rimbun,
di tepi sungai, kau akan diintai,
di jurang dan jorong bukit,
aumannya menggetarkan penghuni kampung.
9.
begu buaya, ia sangat mafhum bahasa sungai,
suara-suara sambaran ikan-ikan di seberang,
memanggil-manggil namamu di bibir tebing
#
bersihkanlah dirimu dari amis dan anyir,
seperti rayuan sunyi ricik air yang mengalir,
kudukmu kau jaga, batang leher bisa diincar

darah buruk jua itu nama, atau datukah yang,
mengirim penyakit itu ke badan si sakit,
atas amis darahmu yang bikin menggoda.
10.
begu kayu, menghimpitmu di hutan rimbun,
maka berhati-hatilah bila senja hari tiba,
dan hujan di tengah rimba tiba-tiba reda
#
tanda-tandailah akar, buah, dan rotan,
sebelum merambah hutan, menebang,
kayu-kayan pilihan, jerat akar beracun,
dan jangan pernah terpikat oleh warna daun
11.
ritual datu, yang mengelabui mata batinmu,
yang hakikatnya, harimau tetaplah harimau,
buaya juga buaya, dikecekkan saja bahaya
#
tertipu, dari godaan-godaan sekutu datu,
jika batang tubuhmu dikerubungi penyakit itu,
kelak, kau akan ikut ritual pengambilan darah
#
seperti yang pernah kujalani,
tepat di malam jumat,
dengan syarat, ayam disembelih

kepeng, sakin, sikek, cermin,
piring putih tempat darah dari belikatku

yang ditusuk dengan sembilu,
yang tak pernah kalian tahu.

Singkuang-Pekanbaru, 2016-2018
*Bagian 1-5 dimuat di Kompas, Sabtu (14/10/2017)


May Moon Nasution lahir 2 Maret 1988 di Singkuang, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Buku puisinya adalah Pedang dan Cinta yang Mengasahnya (2016).



Aslan Abidin

Buku Harian

sebuah buku harian selalu
terbuka lebar dalam dirimu.
lembar demi lembar terus kau
tulisi aksara dan gambar.

tulisan tanganmu, meliuk
serupa bilur jalan berkelok
yang telah kau lalui. perihal
hidup mendaki tertatih, ihwal
nasib menurun tersaruk.

rencana serta janji, urung
dan ingkar, impian-impian yang
tergesa kau hapus. juga cinta,
kau tulis terputus-putus serta
hati terpatah-patah.

ada nama kau coret gusar
dan peristiwa disobek kasar,
seperti kau tarik paksa agar
lepas dari untai kenangan.

goresan tanganmu, di sudut
kanan bawah, sebuah pinyet:

– bunga bakung
dan rembulan mengapung
di permukaan kolam. di tepinya,
duduk sendiri seorang dara
berambut panjang tergerai
menerawang jauh menanti.

suratan tanganmu, takdir tidak
tersedia serupa daftar menu: tak
bisa kau pilih sesuka hati. sungguh
berderai tawa berlalu. alangkah
tersedu tangis membelenggu.

silih hari dan siklus bulan
hanya melingkar menjadi tahun,
memutar gasing usia hingga lusuh
dan rapuh.

sudah mulai juga kau suka
terkenang gelak tawa ketika
berlari ke arah suara kelenong
lonceng penjaja es lilin di gerbang
depan rumah masa kanak dulu.

semakin sering pula kau
merasa mendengar suara ibu
memanggil-manggil nama kecilmu.

dan di bawah rintik hujan
sore bulan mei, di bangku dingin
taman sepi, kau tersipu gamang
menatap air mata di punggung
tanganmu: brengsek!

makassar, 2017


Seekor Ular Betina

– aku bukan adam dan
tak bersama hawa. tiada pohon
khuldi serta tidak berada
di surga.

namun di jalan suram berliku
itu, aku dicegat seekor ular. aku
gemetar terpaku, tidak mampu
teriak tak sanggup angkat kaki.

sorot mata kuning jalang,
meliuk sagang menghadang,
menjulur lidah sirah bercabang,
mendesis siaga pagutkan bisa.

di jalan kelam berkelok itu,
aku disergap seekor ular. menderu
membelit erat. kulitnya suam lekat
di tubuh. aku rubuh menggeliat,
terlilit hendak meledak.

di nafas sesak dan pandang
mengabur, selintas terbayang
lambai anak-istri, lamat terngiang
tegah ayah-ibu.

tetapi di jalan muram berliku
itu, ia mendengus menelanku
perlahan. mulai dari bagian
tengah badanku. terasa licin
kenyal kulum mulutnya.

aku tersengal mendesis,
samar terhidu aroma manis
lipstiknya.

makassar, 2017


Aslan Abidin mengelola Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar dan bekerja sebagai dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Buku puisinya bertajuk Bahaya Laten Malam Pengantin (2008).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi